Catatan
Daya Saing dan Inovasi
Ronny P Sasmita ; Direktur Eksekutif
Economic Action Indonesia/EconAct
|
DETIKNEWS,
23 Januari
2018
Global Competitiveness Report 2017-2018
dirilis belum lama ini. Laporan tersebut mengukur posisi daya saing 137
negara dari hasil survei opini eksekutif dan data statistik yang dikumpulkan.
Dari data mutakhir, prestasi Indonesia cukup menggembirakan karena naik lima
tingkat, dari urutan ke-41 pada 2016 menjadi 36 pada 2017. Namun, di antara
negara ASEAN posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura (3), Malaysia
(23) dan Thailand (32).
Dalam kelompok negara G-20, Indonesia
berada pada urutan ke-11, di bawah Arab Saudi (30), dan di atas Rusia (38),
India (40), Italia (43), dan lima negara berkembang lain. Walaupun masih di
bawah peringkat tahun 2014 (posisi 34), namun kenaikan peringkat daya saing
Indonesia kali ini cukup menggembirakan karena didukung 10 dari 12 pilar daya
saing. Pilar pendidikan tinggi dan pelatihan menurun satu tingkat (ke-64),
dan pilar inovasi tetap pada posisi ke-31.
Lonjakan daya saing Indonesia tahun ini
berkat kinerja yang cukup baik di bidang ekonomi makro, kecanggihan berusaha,
dan infrastruktur. Pilar ekonomi makro naik empat tingkat ke posisi 26. Hal
tersebut terjadi berkat dukungan tingkat tabungan nasional yang relatif
tinggi (32,5% PDB, posisi 19), dan utang pemerintah yang relatif rendah
(27,85% PDB, posisi 21).
Sementara itu, pilar kecanggihan berusaha
(business sophistication) juga naik tujuh tingkat menjadi posisi ke-32.
Penyebabnya antara lain karena kualitas pemasok lokal yang semakin baik.
Lantas proses produksi yang semakin canggih, jangkauan rantai nilai yang
semakin luas serta persaingan usaha yang membaik.
Daya saing Indonesia juga meningkat karena
pembangunan infrastruktur yang masif, baik di bidang transportasi maupun di
bidang listrik dan telekomunikasi. Infrastruktur transportasi naik enam
tingkat, menempati posisi 30, terutama disebabkan perbaikan kualitas
prasarana jalan, bandara, dan kereta api. Kualitas infrastruktur pelabuhan
juga meningkat walaupun kecil. Selain itu, jumlah kursi pesawat terbang dan
jumlah telepon genggam per 100.000 penduduk menempati posisi ke-14 dan 18
dunia.
Di sisi lain, kenaikan peringkat daya saing
Indonesia juga disebabkan perbaikan kinerja lembaga pemerintah setahun
terakhir ini. Indikator akuntabilitas belanja pemerintah dan manfaat
peraturan pemerintah berada pada posisi ke-25 dan ke-27, masing-masing naik 5
dan 10 tingkat. Aspek etika dan korupsi serta efisiensi sektor publik juga
menunjukkan perbaikan yang signifikan, walaupun posisinya masih di 30-40. Tak
cuma itu, lembaga swasta juga mengalami kenaikan tingkat daya saing, yang
ditunjukkan dengan perbaikan akuntabilitas perusahaan (naik 12 tingkat ke
posisi 45).
Pertanyaannya, apakah hasil tersebut
benar-benar murni kerja pemerintah atau memang sudah seharusnya didapat
Indonesia? Untuk itu, pertama, saya kira perlu dibedah dari sisi ukuran
pasar. Secara teoritik, Adam Smith (1776) mengenalkan ukuran pasar sebagai
aspek daya saing yang menyebut spesialisasi bisa membuat ukuran pasar menjadi
lebih efisien. Artinya, ukuran pasar yang besar akan menguntungkan dari segi
skala ekonomi, terutama produksi barang dan jasa.
Dari sisi pemerintah, barang publik akan
semakin murah karena semakin banyak wajib pajak yang dapat membiayainya. Dari
sisi perusahaan, ukuran pasar bisa membuat output produksi jadi lebih banyak
yang bisa menekan faktor biaya. Ukuran pasar juga bisa membuat eksternalitas
positif dalam akumulasi modal manusia (Jones, 1999).
Nah, dari segi ukuran pasar, Indonesia
menempati peringkat 9 dunia, tidak berbeda dengan tahun lalu. Adapun ukuran
pasar yang menjadi pilar ke-10 dari 12 pilar pembentuk indeks daya saing terdiri
dari indeks ukuran pasar domestik, indeks ukuran pasar luar (foreign market
size index), PDB dan rasio ekspor terhadap PDB. Namun kenyataannya, Indonesia
hanya unggul dalam aspek indeks ukuran pasar domestik dan PDB. Aspek indeks
ukuran pasar domestik merupakan penjumlahan dari PDB dan nilai impor
dikurangi ekspor. Aspek ini justru meningkat, dan sebaliknya indeks ukuran
pasar luar yang menggambarkan nilai ekspor barang dan jasa serta nilai rasio
ekspor terhadap PDB semakin turun.
Hal tersebut menggambarkan bahwa sebetulnya
keunggulan pilar ukuran pasar disumbang jumlah penduduk dan semakin pesatnya
pertumbuhan porsi kelas menengah serta konsumen kaya yang semakin rajin
mengonsumsi produk impor. Sangat jelas bahwa Indonesia memang lebih
kompetitif dalam mengonsumsi barang dan jasa impor. Namun, hal itu tentu
bukanlah sesuatu yang baik dan patut dibanggakan.
Faktor makroekonomi yang dipandang baik
didasari pada aspek semakin meningkatnya rating kredit yang pada tahun lalu
telah dikeluarkan oleh beberapa lembaga pemeringkat kredit dunia. Inflasi
yang relatif stabil juga berperan meningkatkan porsi nilai faktor
makroekonomi Indonesia menjadi lebih baik daripada negara Asia Timur dan
Pasifik. Aspek lain yang tidak kalah penting seperti anggaran pemerintah
terhadap PDB yang minus dan utang pemerintah yang justru semakin meningkat
menggambarkan bahwa Indonesia tidak cukup unggul dalam konteks ini.
Mungkin dua pilar seperti kecanggihan
bisnis dan inovasi yang mulai merangkak naik perlu diapresiasi. Beberapa
start up kategori unicorn yang sudah kadung terkenal dan mendapatkan
pendanaan besar menjadi salah satu indikator. Namun, pilar lain yang
berhubungan seperti pilar kesiapan teknologi masih menjadi pekerjaan rumah.
Pilar inilah yang menjadi syarat inklusivitas teknologi bisa terwujud atau
tidak di masa depan.
Catatan lainnya, dari segi metodologi,
pengambilan sampel negara untuk mewakili dunia menurun dari tahun lalu yaitu
dari 140 negara menjadi 138 negara sehingga memberikan peluang bagi negara
lain untuk naik peringkat. Peringkat beberapa negara Asia mengalami kenaikan
akibat kondisi global yang membaik dan beberapa negara maju masih stagnan,
bahkan cenderung turun peringkat, sehingga menjadi modal bagi Indonesia untuk
bangkit.
Sekalipun demikian, toh Indonesia masih di
bawah negara Asia seperti Thailand dan Malaysia yang sama-sama naik dua
peringkat. Dua negara tersebut merajai seluruh pilar indeks daya saing. Tidak
hanya merajai Asia Timur dan Pasifik, Malaysia bahkan unggul dalam
pengendalian inflasi, kekuatan proteksi investor dan produktivitas tenaga
kerja. Sehingga saya kira, Indonesia sepantasnya tidak perlu jemawa atas
prestasi yang belum terlalu signifikan ini. Apalagi menjadi terlena dan
melupakan aspek lain yang perlu ditingkatkan bersama. Indonesia patut melihat
ke atas karena negara tetangga ternyata sudah lebih kompetitif dan berlari
lebih cepat meninggalkan kita.
Untuk itu, pemerintah dan dunia usaha perlu
bersama-sama mengupayakan agar daya saing Indonesia naik kelas, setidaknya
mendekati Malaysia. Tujuannya bukan untuk memperoleh pujian dari dalam atau
luar negeri, melainkan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan nasional
agar bisa bersaing dengan perusahaan negara lain. Setidaknya, tindakan
minimal pemerintah yang dibutuhkan adalah menjaga stabilitas lingkungan
ekonomi makro, meningkatkan efisiensi pemerintahan, menghapus peraturan
penghambat usaha, dan membuat aturan untuk menjaga transformasi ekonomi
berlangsung tanpa korban seperti di sektor angkutan publik, misalnya.
Di samping membenahi bidang yang posisinya
masih terbelakang, pemerintah perlu mendorong inovasi di berbagai sektor
usaha. Pemerintah juga dituntut bisa menggairahkan aplikasi paten yang
peringkatnya sangat rendah (97). Penemuan dan pendaftaran paten adalah salah
satu langkah penting untuk membawa Indonesia meningkat ke kelas yang lebih
tinggi, yaitu menjadi negara yang ekonominya didorong oleh inovasi seperti
yang dilakukan negara maju saat ini. Lihat saja daftar Global Innovation
Index 2017, Indonesia hanya mampu berada di urutan ke-87 dan mengantongi skor
30,1 alias tidak sampai separuh dari skor tertinggi yang disandang oleh Swiss
sebesar 67,7.
Di bawah Indonesia adalah Kamboja di
peringkat ke-101. Dulu Indonesia sempat berada jauh di atas Vietnam, tapi
beberapa tahun ke belakang Vietnam bersama negara-negara seperti Malaysia,
Singapura dan Thailand selalu di atas Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
memang perlu menunjukkan keberpihakan kepada inovasi. Pemerintah wajib
memperbanyak infrastruktur riset, memberikan insentif finansial dan
non-finansial agar inovasi dalam desain, proses produksi, pengiriman,
pengelolaan, dan pembiayaan berbasis inovasi bisa berlangsung secara luas di
banyak perusahaan besar dan kecil. Kerja sama antara pemerintah, dunia usaha,
dan perguruan tinggi secara sistematis, konsisten, dan terukur perlu
dilakukan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar