Blok
Mahakam: Perjuangan Belum Usai!
Marwan Batubara ; Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)
|
KORAN
SINDO, 06 Januari 2018
Tanggal 1 Januari 2018
merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi Pertamina karena secara resmi
menjadi pengelola atau operator Blok Mahakam setelah setengah abad blok ini
dikelola PT Total E&P Indonesia (TEPI).
De ngan status sebagai
pengelola Mahakam, predikat Pertami na pun akan meningkat men ja di penghasil
migas terbesar di Ta nah Air dengan share sekitar 40% dari produksi migas
nasional. Setelah meraih status ter sebut, Pertamina pun dapat di katakan
akan menjadi tuan di negeri sendiri. Namun predikat itu tidaklah dapat diraih
dengan mudah.
Agar Pertamina menjadi
tuan di negeri sendiri, di samping sikap tegas Karen Agustiawan (Dirut
Pertamina 2010- 2015) serta sejumlah dirut dan direk tur lain, upaya atau
“perjuangan” panjang stakeholders Pertamina justru sangat berperan guna me
mastikan Blok Mahakam dikelola Pertamina. Stakeholders tersebut meliputi
tokoh-tokoh na sional, anggota DPR, para akti vis, serikat pekerja Pertamina,
migas dan BUMN, badan-badan eksekutif mahasiswa seluruh Indonesia, pengurus
partai, or mas, LSM, dll.
Mereka berjuang sejak 2012
melalui berbagai lang kah advo kasi berupa semi nar, pernyataan sikap, demon
strasi, penggalangan Petisi Ma ha kam, RDPU ke DPR, penyam paian tuntutan ke
Istana Pre si den, pelaporan potensi korupsi ke KPK, dll. Ternyata para
stakeholders “terpaksa” melakukan advokasi dalam rangka menghadapi sikap
bangsa sendiri: para pejabat negara yang lebih memihak asing daripada membela
kepentingan BUMN.
Dua pejabat utama yang
menginginkan asing tetap bercokol di Mahakam adalah J Wacik dan R Rubiandini.
Di samping itu ada pula dukungan dari pejabat di SKK Migas dan beberapa
anggota DPR dari sejumlah partai. Guna mendukung Total dan Inpex, mereka
nekat dan tidak malu mengungkap berbagai alasan tak logis dan kebohongan
publik.
Untunglah gerakan advokasi
semakin besar dan terus berlanjut sehingga kedua pejabat eksekutif tersebut
urung menjalankan niat dan belakangan justru masuk penjara. Ironisnya saat
ini perjuangan panjang tersebut belum juga berakhir. Blok Mahakam belum
seutuhnya dikuasai Pertamina.
Seandainya harus melepas
sebagian saham (share down), biaya yang harus dibayar kePertamina pun belum
jelas jumlahnya serta sangat rawan untuk dikorupsi. Sebaliknya pihak-pihak
asing belum rela melepas kenik matan Mahakam. Disamping itu, tanpa rasa malu,
ma sih ada saja oknum pribumi yang men dukung asing, ber bu ru rente dan/atau
“membonceng” un tuk dapat memiliki “sa ham” Blok Mahakam.
Lebih ironis, ternyata
sikap sejumlah pejabat yang berkuasa saat ini mirip dengan sikap pejabat
sebelumnya. Hal ini terindikasi dari pernyataan-pernyataan berikut. Pertama,
Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah mempersilakan Total mengelola kembali Blok
Mahakam pasca-2017. Ke men te rian ESDM mengatakan asal kan Perta mina
menjadi pe me gang saham mayoritas, mengenai masalah operator tidak akan
diper soalkan.
Pemerintah hanya
menekankan agar pro duksi Blok Maha kam tetap sta bil dan tidak mengalami
penurunan. Ba gaimana bisa masalah operatorship dianggap tidak penting?
Kedua, Menteri ESDM pernah mengatakan akan memberikan kesempatan kepada asing
memiliki 39% saham pasca- 2017. Hal ini kembali dinyatakan Wamen ESDM
Arcandra Tahar di Jakarta pada Agustus 2017 (Bisnis, 25/8).
Arcandra juga pernah
mengatakan: Menteri ESDM akan menerbitkan surat keputusan guna memenuhi
tuntutan TEPI dan Inpex untuk memperbesar saham Blok Mahakam menjadi 39%.
Kata Ar candra, ruang bagi kontraktor Blok Mahakam setelah kontrak berakhir
masih mengacu pada keinginan Menteri ESDM Igna sius Jonan dengan porsi
maksimum 39%.
Total di persilakan untuk
mendis ku si kan hal ini dengan Pertamina dan SKK Migas. Padahal Menteri ESDM
sebe lumnya, Sudirman Said, telah menetapkan share down mak simum yang
diperkenankan peme rintah adalah 30%! Me kanis me yang diatur dalam Permen
ESDM Nomor 15/2015 ini ada lah pemerintah menetapkan Per tamina sebagai opera
tor de ngan hak 100%.
Setelah itu Per tamina
dapat melakukan pe ngu rangan interes (share down) ke pada pihak lain yang
secara bisnis memberikan manfaat mak si mal. Kementrian ESDM mem fa si litasi
proses pengambilan ke pu tusan berkaitan dengan pem bagian interes di antara
para pi hak. Setelah melalui se rang kai an pembahasan, Kementerian ESDM
memutuskan pihak In do nesia mengontrol saham 70%, sedangkan Total dan Inpex
mem per - oleh saham 30%.
Sejalan dengan sikap
Sudirman Said pada 2015 tersebut, direksi Pertamina berulang kali mengatakan
tidak berminat meningkatkan share down menjadi 39%. Dirut Pertamina Elia
Massa Manik mengatakan, “Jika di atas itu (30%), ranahnya bukan lagi ada di
kami. Sewaktu saya join (diangkat menjadi dirut), kebetulan ini sudah di
bicarakan dengan Pak Menteri.
Instruksi ini pun sampai
sekarang masih 30%. Jadi naik atau tidaknya share down menjadi urusan ESDM,”
kata Manik di Ruang Rapat Komisi VII, Jakarta, Selasa (6/6/2017). Direktur
Hulu Pertamina Syamsu Alam juga bersikap sama. “Untuk share down belum ada
pembicaraan lebih lanjut dengan Total/Inpex,” kata nya. Bulan berikutnya,
Syamsu ber ka ta, “Mahakam ini man dat yang kita terima, masih sama. Kita
diberi kewenangan untuk melakukan share down ke BUMD 10%.
Status itu tidak berubah,
angka 30% atau 39%, yang kita kenal itu ya 30%. Karena itu yang ada di kita.”
Hingga 26 Desember 2017 Syam su meng aku belum mengetahui surat pemerintah ke
Pertamina ter kait dengan per ubahan share down. Di sisi lain, Kementrian
ESDM menyatakan telah mengeluarkan surat yang memper bolehkan Pertamina
melepas hak partisipasi di Blok Mahakam sebesar 39% ke TEPI & Inpex.
Wamen ESDM Arcandra menga
ta kan, Kementrian ESDM sudah menerbitkan surat perubahan mengenai porsi
pembagian hak partisipasi Pertamina dalam mengelola Blok Mahakam yang
sebelumnya hanya 30% menjadi 39%. “Kan sudah ada suratnya. Boleh up to 39%,”
kata Arcandra di Kantor Kementrian ESDM, Jakarta, Jumat (22/12/2017).
Kita miris melihat sikap
pejabat-pejabat Kementerian ESDM (juga di “kementrian lain”) di atas. Mereka
bukannya melindungi BUMN bangsa sen diri, tetapi justru sangat antu sias
mendukung asing untuk memiliki saham 39%. Padahal dengan semakin besar saham
yang dimiliki BUMN, semakin besar pula potensi keuntungan yang di peroleh
guna dinikmati rakyat! Apalagi Blok Mahakam ini
merupakanblokmigasyangtelahber produksi dan tingkat risiko bisnisnya pun
menjadi rendah.
Dengan begitu memberikan
kesempatan share down 30% saja kepada asing, bagi kami (IRESS), sudah meru
pakan kebijakan yang merugikan. Apalagi jika ha rus naik menjadi 39% seperti
yang “diper juangkan” Jonan dkk. Seperti disinggung di atas, umumnya motif
oknum pejabat justru memihak asing dari pada BUMN bangsa sendiri adalah
perburuan rente dan dukungan politik.
Namun IRESS juga
memperoleh informasi dari seorang sahabat, mantan pejabat teras satu
kementerian, bahwa ada beberapa oknum pejabat yang sangat berminat untuk ikut
memiliki saham Blok Mahakam. Beliau menyebutkan, oknum-oknum ini ingin meraih
untung besar melalui “kerja sama” dengan perusahaan asing tersebut.
Itulah sebabnya mengapa
ada yang berjuang habis-habisan agar share down saham Mahakam untuk asing
justru perlu dialokasikan lebih besar. Bagi para sahabat, tokoh, akti vis,
dan mahasiswa yang selama ini ikut mengadvokasi Blok Mahakam, termasuk
puluhan ribu penanda-tangan “Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat”, IRESS
mengimbau untuk tetap mengawal dan memperjuangkan penguasaan Blok Mahakam
secara optimal dan bebas dari KKN bagi Pertamina.
Perjuangan belum usai.
Untuk itu mari kita lanjutkan advokasi dan pastikan bahwa share down maksimal
hanya 30%, penunjukan langsung TEPI & Inpex harus dibatalkan, metode
pemilihan partner melalui tender terbuka, serta harga yang diterima Pertamina
untuk share down tersebut adalah yang terbaik dan bebas dari korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar