Banjir
Jakarta, Siapa yang Salah?
Nyoto Santoso ; Dosen Fakultas Kehutanan;
Kepala Pusat Kajian
Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika, IPB, Bogor
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2017
Banjir yang melanda
Jakarta (11-12/12/2017) ternyata tak hanya menyisakan lumpur, tapi juga
menyisakan cercaan pada Gubernur Anies Baswedan yang belum seumur jagung
duduk di Balai Kota.
Hampir semua warga net di
Medsos menyatakan ketidak puasan terhadap rezim Anies. Sebuah blog
membandingkan kinerja Ahok dan Anies dalam mengatasi banjir. Ahok, tulisnya,
pada 2016 berhasil menurunkan titik banjir dari 486 menjadi 185. Lebih dari
separuh titik banjir dihilangkan Ahok.
Anies? Sekarang
mengembalikan lagi titik banjir ke jumlah semula. Warganet juga mengolokolok
Anies yang menyatakan bahwa banjir 11-12 Desember yang merata di Jakarta itu
akibat gangguan pembangunan infrastruktur tol Becakayu, LRT, dan busway. Dua
terowongan yang “dipenuhi air” seperti Dukuh Atas dan Stasiun Senen, menurut
Anies, terjadi aki bat arus air terhambat material dan alat berat dari
pembangunan infrastruktur tersebut.
Pernyataan Anies langsung
dijadikan guyon dan meme oleh netizen. Menurut warganet di medsos, Anies Cuma
cari-cari kesalahan. Padahal, banjir tersebut akibat ketidak becusannya
bekerja sebagai gubernur. Benarkan tuduhan bahwa Anies gagal mengatasi banjir
Jakarta? Bisakah kasus banjir kemarin dijadikan perbandingan kesuksesan Ahok
dan kegagalan Anies? Jawabnya tidak semudah kicauan para netizen di medsos.
Karena persoalan banjir
Jakarta itu sejak zaman Belanda pun sudah ada. Artinya ketika penduduk DKI
tidak sebanyak sekarang, banjir pun sudah sering melanda Jakarta. Memang
diakui, Ahok sangat keras dalam memacu “pekerja” DKI untuk mengatasi ban jir.
Pasukan oranye yang ber tugas membersihkan sungai dari sampah dan
mengantisipasi hambatan arus sungai bekerja keras karena “takut” pada
kegalakan Ahok.
Sekarang, mereka bisa jadi
kualitas kerjanya menurun karena tak ada lagi orang yang bisa mengontrol
ketat (sambil marah-marah) kepada pasukan oranye tersebut seperti halnya
Ahok. Tapi, itu tidak berarti pasukan oranye kehilangan semangat kerja
setelah tidak ada Ahok.
Anies pun dengan gaya
“Yogya”-nya bisa menyadarkan pasukan oranye agar bekerja lebih baik. So,
siapa yang salah dengan banjir Jakarta? Apakah kesalahan itu harus ditimpakan
kepada siklon Dahlia yang menyebabkan hujan curah tinggi di Jakarta? Persoalannya
tidak sesederhana itu. Sangat kom pleks.
Banjir baru lalu,
penyebabnya jelas sangat banyak. Kita tidak bisa menyalahkan Anies maupun
Ahok. Katakan Anies gagal kare na terlambat mengantisipasian caman banjir
Jakarta akibat siklon Dahlia. Atau Ahok gagal menghentikan reklamasi sehingga
pantai utara Jakarta tak mampu meredam arus air dari daratan.
Tapi kalau dirunut lebih
jauh, bukankah proyek rekla masi itu sudah ada blue print-nya se belum Ahok
jadi gubernur? Bukankah pe rencanaan proyek rekla masi itu sudah ada sejak
zaman Soeharto? Begitu juga Anies.
Bukankah hujan dan banjir
itu sulit di prediksi sehingga gubernur-gubernur yang dulu pun tak bisa
mengantisipasi? Ingat, banjir ta hun 2000 yang nyaris menenggelamkan Jakarta?
Bahkan tahun 1918, ketika Batavia masih di bawah administrasi Belanda yang
notabene ahli irigasi, Jakarta pun pernah digulung banjir dahsyat akibat
hujan besar selama 22 hari.
Saat itu, puluhan orang
tewas dan hilang terseret air. Apa arti semua ini? Anies dan Ahok pun tak
akan mampu mengatasi banjir Jakarta bila solusinya tidak menyeluruh dan
komprehensif.
Geografi
banjir?
Kenapa Jakarta rawan
banjir? Karena secara geografis Jakarta memang mudah terkena banjir. Melihat
geografi Jakarta, misalnya, limpahan air dari “atas” yang menyebabkan banjir
adalah keniscayaan. Sebuah kota pesisir di dataran rendah yang menjadi muara 13
sungai yang mengalir dari sebuah pegunungan di daerah (atas Jakarta) yang
curah hujannya tinggi, maka sudah sepantasnya Jakarta adalah kota air.
Enam abad lalu, ketika
Pangeran Jayakarta memilih Jakarta sebagai pusat kerajaan, dia sudah tahu
konsekuensinya berdasarkan geografi tadi. Maka, Pangeran Jayakarta pun
sengaja memelihara rawa, situ, mangrove, dan vegetasi air payau untuk
“menghiasi” sekaligus “meminimalkan” banjir.
Banyaknya sungai, rawa,
dan danau membuat orang Portugis, Belanda, dan Inggris, yang saat itu
menguasai dunia, tertarik dengan Jakarta karena mengingatkan mereka akan
keindahan kota-kota di Skan dinavia, tempat wisata favorit orang-orang Eropa
Barat. Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur Batavia, dia sebetulnya
tak berminat menjadikan Batavia sebagai “ibu kota Hindia Belanda”.
Pieter lebih suka
menjadikan Batavia sebagai kota wisata. Saat itu, orang-orang Belanda
menjuluki Batavia sebagai “Venesia van Java”. Venesia adalah kota air di
Italia yang sangat terkenal karena gedung-gedungnya dibangun di sela-sela
air. Kota wisata, jelas berbeda kepentingannya dengan ibu kota.
Kota wisata harus dijaga
keindahannya dan dijauhkan dari kepadatan lalu lintas dan penduduk yang bisa
menimbulkan pemandangan buruk! Tapi dalam perkembangannya, Jakarta akhirnya
ditetapkan jadi ibu kota. Dan sebagai ibu kota, Jakarta terus mengalami
perkembangan baik dalam jumlah penduduk, perumahan, perkantoran, industri,
perdagangan, dan lain-lain.
Sedikit demi sedikit
“Venesia van Java” itu berubah menjadi “kota Beton” di Jawa. Rawamangun,
Rawabokor, Rawajati, Rawabuaya, Rawasari, dan rawa-rawa lain yang jumlahnya
ra tusan—kini telah ber ubah menjadi hamparan beton— bukan hamparan air lagi.
Di atas rawa-rawa tersebut kini telah berdiri hotel, perkantoran, pusat
perdagangan, perumahan, dan lain-lain yang semuanya “antitesa” dari air.
Maka, jadilah kota yang
dulu terkenal sebagai kota air, sekarang terkenal sebagai kota beton. Bahkan,
penguasa dan pengusaha sekarang, kalau melihat rawa di Jakarta pikirannya
“gemes”—ingin segera menguruknya dan membangun pusat perkantoran terpadu,
apartemen, perkantoran, dan lain-lain.
Apa yang terjadi kemudian?
Air tetaplah air. Ia punya hukumnya sendiri. Ia mengalir sampai jauh, kata
Gesang dalam lagu Bengawan Solo. Air yang seharusnya mengalir sampai jauh itu
kini tertahan “betonbeton raksasa”. Akibatnya, perjalanan air pun terhadang.
Dan sesuai hukum alam, air mencari jalannya sendiri.
Air pasti mengalir ke
tempat yang lebih rendah. Jika jumlah air yang mengalir ke tempat lebih
rendah itu besar sekali, maka itulah banjir. Jika kemudian banjir itu
menenggelamkan ja lan, ru mah, kantor, dan lainlain— itulah hukum alam yang
mau tidak mau harus terjadi.
Persoalannya: mampu kah
kita menjinakkan air? Sebagai makhluk paling cerdas di muka bumi, manusia
seharusnya bisa menjinakkan air yang tumpah dari langit dalam skala gigantis
ini. Caranya: ikuti hukum alam dari air. Jika kita melihat geomorfologi
Jakarta, maka jangan menjadikan tempat yang rendah untuk perumahan atau
perkantoran.
Kenapa Kampung Melayu,
Cililitan Kecil, Kampung Pulo, dan Ra wabuaya tiap tahun selalu tenggelam?
Karena wilayah tersebut berada di dataran rendah. Jika di Bopuncur (Bogor,
Pun cak, Cianjur) hujan dan ketinggian air di pintu air Katulampa naik
mencapai titik tertentu, semua dataran rendah di Jakarta tersebut niscaya
tenggelam.
Tahu kondisi seperti itu
dari dulu, mestinya Pemda DKI melarang keras adanya pembangunan rumah di
situ. Waktu jadi gubernur DKI, Jokowi pernah menggagas pembangunan “deep
tunnel“ atau terowongan bawah tanah untuk mengatasi banjir di Jakarta dengan
biaya Rp16,4 triliun.
Itu bagus, tapi harganya
mahal sekali. Daripada mahal, kenapa tidak mencari solusi yang murah saja
asal hasilnya sama? Yaitu merevitalisasi situ dan rawa, membuat rawa baru,
membuat sejuta sumur resapan, membuat semiliar biopori, dan menormalkan
(mengeruk lumpur) sungai.
Di Thailand contohnya.
Untuk mengatasi banjir, pemerintah membuat banyak sekali rawa-rawa baru.
Rawa-rawa baru difungsikan ganda, untuk mengatasi banjir di kala musim hujan,
untuk membudidayakan ikan, dan untuk rekreasi. Seandainya Kampung Pulo
dijadikan rawa atau danau kecil, lalu jadi tempat wisata, niscaya lokasi
wisata tersebut akan mengurangi banjir.
Pemda DKI sebetulnya sudah
punya perda tentang sumur resapan. Pada Perda Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 7/2010 tentang Bangunan Gedung disebutkan: su mur resapan air
hujan adalah sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan akibat dari
adanya penutupan permukaan oleh bangunan gedung dan prasarananya yang
disalurkan melalui atap, pipa talang, maupun saluran dapat berbentuk sumur,
kolam dengan resapan, saluran porous dan sejenisnya (Bab I Pasal 1, Poin 39).
Lalu pada Pasal 2 Perda
tersebut dinyatakan bahwa “Penyelenggaraan bangunan gedung harus dilaksanakan
berdasar kan asas kemanfaatan, keselamatan, kenyamanan, kese im-bangan, dan
keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.” Dari perda tersebut jelas
sekali adanya keharusan untuk membangun penampungan air hujan sesuai dengan
tutupan areal gedung tersebut.
Tak hanya itu, perda itu
mengatur juga aspek keseimbangan dan keserasian bangunan gedung dengan
lingkungan sekitarnya. Perda itu bagus sekali untuk mengatasi banjir.
Persoalannya, bagaimana
eksekusi perda tersebut? Mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama pernah
menyatakan banjir di Jakarta terjadi karena dinas-di nas terkait dan BPN meng
izin kan pembangunan gedung-gedung perkantoran, pusat perdagangan, dan
perumahan di tempat yang tidak semestinya dan melanggar perda. Itulah
masalahnya.
Sekarang persoalannya
terletak pada Pemda dan kita (stake holder) di Jakarta. Apakah akan
membiarkan Jakarta dari tahun ke tahun tenggelam? Jika tidak, marilah kita
menata kembali Jakarta sesuai dengan hukum air. Mari kita normalisasi rawa,
situ, danau yang ada di Jabodetabek, lalu kita buat juga sumur resapan di
setiap rumah dan membuat biopori sebanyak mungkin di setiap jengkal tanah.
Bila itu dilakukan,
niscaya banjir di Jakarta akan berkurang jauh. So, jangan salahkan gubernur
saja. Masyarakat yang tak patuh pada perda untuk mencegah banjir pun ikut
bersalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar