Adu
Kuat Trump dan Indonesia
Agus Herta Sumarto ; Peneliti Indef; Dosen FEB Universitas Mercu
Buana
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2017
PASCAKEGADUHAN global yang
ditimbulkan sikap Trump terkait dengan Jerusalem beberapa waktu lalu, sikap
dan kebijakan Trump yang lain diyakini akan kembali menimbulkan eskalasi
kegaduhan ekonomi dan politik global termasuk Indonesia. Kebijakan Trump
dalam sektor ekonomi diperkirakan akan memiliki efek dan magnitude yang jauh
lebih besar terutama untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kebijakan pengetatan moneter dan reformasi perpajakan yang dibuat Trump jika
tidak direspons dengan baik dan tepat akan dapat menimbulkan guncangan serta
bencana bagi perekonomian Indonesia.
Sepanjang 2017, Bank
Sentral Amerika Serikat (The Fed) telah melakukan tiga kali penaikan suku
bunga acuan Fed Found Rate (FFR) ke kisaran 1,25%-1,50%. Pada 2018 dan 2019,
The Fed memproyeksikan akan kembali melakukan tiga kali kenaikan suku bunga
acuan FFR untuk setiap tahun sampai tercapai target FFR jangka panjang
sebesar 2,8%. Hal itu dilakukan untuk menjaga stabilitas inflasi dalam negeri
AS serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi angka
pengangguran yang dalam beberapa tahun terakhir sempat mengalami peningkatan.
Selain melakukan
pengetatan moneter, Trump melakukan reformasi perpajakan. Bahkan reformasi
perpajakan ini menjadi reformasi pajak terbesar di AS sejak era 1980-an.
Trump telah memangkas pajak korporat dari yang sebelumnya 35% menjadi 21%.
Selain itu, Trump menjanjikan akan mengurangi pajak untuk individu.
Pengurangan pajak ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat
sehingga dapat mendorong konsumsi masyarakat Amerika secara keseluruhan yang
pada akhirnya akan menggairahkan kembali perekonomian AS pascaresesi 2008
silam.
Dua kebijakan ekonomi
Trump ini tentu akan sangat memengaruhi kondisi keseimbangan ekonomi dalam
negeri negara-negara berkembang termasuk RI. Kebijakan Trump ini dikhawatirkan
akan mengurangi likuiditas di negara Indonesia dan memicu capital reversal.
Capital reversal ini akan semakin besar jika investor global memberikan
respons positif terhadap kebijakan pengetatan moneter dan pemotongan pajak
ini.
Namun, bagi investor
global yang berinvestasi di Indonesia, kebijakan Trump ini masih menimbulkan
spekulasi. Kondisi ekonomi Indonesia yang cenderung stabil dan terus
memperlihatkan tren pertumbuhan positif merupakan sinyalemen positif adanya
imbal hasil investasi yang prospektif. Kondisi ini menjadikan investor global
cenderung untuk melakukan tindakan ‘wait and see’. Mereka cenderung menunggu
sampai ada indikator kuat yang memberikan gambaran investasi mana yang akan
memberikan keuntungan yang maksimal.
Oleh karena itu, cukup
dipahami jika sampai akhir 2017 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat tetap stabil bertengger di angka Rp13.300–Rp13.500 per dolar.
Stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menjadi pertanda
bahwa gelombang capital reversal belum terjadi di Indonesia.
Namun, bagi Indonesia,
kebijakan Trump ini menjadi faktor penghambat bagi pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, neraca
pembayaran Indonesia bernilai positif yang menandakan kinerja ekspor dan
industri Indonesia mulai membaik. Pasar modal Indonesia juga mencatatkan
prestasi yang sangat memuaskan. Menjelang akhir 2017, indeks harga saham
gabungan (IHSG) menembus angka 6.000 poin dan menjadi rekor sepanjang sejarah
pasar modal Indonesia. Selain itu, kapitalisasi pasar modal Indonesia
mencatatkan rekor baru dengan menembus angka Rp6.600 triliun. Tingginya
kapitalisasi pasar modal tersebut menandakan telah terjadi capital inflow
yang cukup besar ke dalam pasar modal RI.
Dengan kinerja
perekonomian yang cukup ciamik itu, seharusnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS mengalami penguatan. Penawaran dolar Amerika di pasar keuangan
Indonesia seharusnya mengalami peningkatan seiring dengan positifnya neraca
perdagangan dan pembayaran Indonesia dan adanya capital inflow yang terjadi
di pasar modal. Kedua kondisi itu seharusnya semakin menguatkan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika secara signifikan.
Namun, bertambahnya
pasokan dolar Amerika di pasar keuangan Indonesia tidak serta-merta
menguatkan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika. Kondisi ini menjadi bukti
kuat adanya Trump effect dari kebijakan pengetatan moneter dan pemangkasan
pajak yang telah dijelaskan sebelumnya. Peningkatan pasokan dolar Amerika di
pasar keuangan Indonesia sepertinya diimbangi capital outflow sebagai respons
positif investor terhadap kebijakan ekonomi yang telah diambil Trump. Pada
satu sisi Indonesia mengalami capital inflow akibat kinerja ekonomi yang
mulai membaik, tetapi di sisi lain terjadi capital inflow sebagai akibat
adanya Trump effect.
Fenomena persistennya
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di tengah membaiknya perekonomian
Indonesia merupakan pertanda adanya adu kekuatan antara Trump effect dan
prospek profitabilitas investasi Indonesia. Untuk sementara bandul kemenangan
di antara adu kekuatan itu masih berada di tengah ketika arus modal yang
masuk dengan arus modal yang keluar relatif sama. Namun, posisi sama kuat ini
tidak akan berlangsung lama. Sebagai orang yang sangat rasional, para
investor akan cepat sekali berpaling ke pihak yang menawarkan keuntungan
investasi yang maksimal. Para investor akan memilih negara yang akan
menghasilkan tingkat profitabilitas paling tinggi.
Jika Indonesia bisa
menawarkan apa yang diharapkan para investor global, bandul kemenangan akan
berada di pihak Indonesia. Sebaliknya, jika tidak bisa menawarkan apa yang
diharapkan investor, Indonesia akan mengalami capital outflow dan capital
reversal yang sangat besar.
Dengan kata lain, jika
tidak bisa menawarkan apa yang diharapkan investor, pada 2018 Indonesia akan
mendapatkan kado tahun baru yang pahit, yaitu kehilangan sebagian besar
modalnya baik di sektor riil maupun di sektor keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar