Urgensi
Penguatan Guru dan Sekolah Berkelanjutan
Edi Subkhan ; Pengajar pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan
Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
|
KOMPAS,
20 Desember
2017
Ulasan Syamsul Rizal
(Kompas, 8/12/2017) bahwa pembangunan pendidikan harus dimulai dari pinggiran
cukup menarik. Namun, ganjil jika solusinya justru fokus pada merevitalisasi
pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris karena keduanya sekadar subbagian
dari diskursus kurikulum di sekolah. Sementara unsur-unsur lain dalam sistem
pendidikan nasional tidak kalah problematik.
Membangun pendidikan harus
terlebih dulu melihatnya secara makro sebagai satu sistem yang saling, di
mana ujung tombaknya—dalam pendidikan formal—adalah guru di sekolah.
Karena itu, membangun
pendidikan hendaknya, selain dimulai dengan merevitalisasi perguruan tinggi
kependidikan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK), juga harus
menguatkan guru dan lembaga sekolah. Agaknya pemerintah menyadari ini. Karena
peningkatan kualitas guru tidak bisa hanya menunggu perbaikan kualitas LPTK,
didesain satu sistem setelah para guru masuk dalam sistem pendidikan
nasional. Desain itu diberi nama Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
sejak 2010.
Namun, program ini
tampaknya belum berhasil secara signifikan mendongkrak kualitas guru. Di
lapangan, guru masih bingung dengan berbagai program yang terkait. Misalnya,
guru pembelajar, gerakan literasi sekolah, Kurikulum 2013, dan ujian nasional
(UN) 2018.
Program PKB di lapangan
juga tampak sekadar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat. Problem PKB
terletak pada tiadanya sistem pendukung dan seakan menimpakan semua pekerjaan
kepada guru. Padahal, guru sudah sejak mula beban tanggung jawabnya
bertumpuk. Riilnya, di sekolah guru tak hanya mengajar. Banyak yang merangkap
sebagai penginput data pokok pendidikan, mengurus lab, tim penjaminan mutu,
koordinator musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), pimpinan sekolah, tim
sukses UN, dan lainnya.
Pada kebijakan PKB, tiap
awal tahun guru wajib melakukan evaluasi diri, melakukan penilaian kinerja
formatif, mengonsultasikannya dengan kepala sekolah dan pihak terkait hingga
akhirnya ditetapkan program-program peningkatan kualitas untuk mereka. Selain
itu, upaya peningkatan kualitas guru bertumpu pada guru pendamping/mentor.
Merekalah yang diarahkan melatih dan mendampingi guru yang diikutkan program
PKB.
Dengan demikian, bertambah
lagi beban guru. Terlebih jika di sebuah sekolah tak ada guru yang memenuhi
kualifikasi sebagai guru pendamping. Maka, satu guru pendamping harus
keliling beberapa sekolah untuk mendampingi guru. Karena itu, ia tak hanya
akan keteteran mendampingi guru-guru lain, tetapi juga tak akan optimal
melaksanakan tanggung jawab utama mendampingi siswa di kelas. Hal sama
menimpa guru yang berperan sebagai koordinator PKB level sekolah, kecamatan,
ataupun kabupaten/kota.
Melihat desain program
PKB, patut kita bertanya: mengapa tak menempatkan tenaga di luar guru sebagai
tumpuan? Mengapa justru menimpakan bebannya juga kepada para guru yang sudah
banyak beban dan tanggung jawab di sekolah?
Tak
efektif
Pada dasarnya memang betul
bahwa para guru adalah pihak yang paling tahu soal seluk-beluk kondisi dan
upaya peningkatan kualitas dirinya. Namun, tugas mendampingi sesama guru di
tengah kesibukan yang lain tampak akan menjadikan program PKB tak berhasil
optimal. Sejak 2010 hingga sekarang tampak sekolah tetap berjalan seperti
biasa. Beberapa pelatihan dilakukan. Begitu selesai, seakan apa yang
dipelajari tak berbekas karena guru kembali pada kebiasaan lama.
Hal ini menjadi tiada beda
jika dibandingkan dengan ketika para guru mengikuti banyak ragam program
pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan. Begitu selesai dan kembali ke sekolah, sebagian besar guru
kembali pada kebiasaan semula. Di sisi lain, pada program PKB, praktik
pendampingan juga tak intensif karena keterbatasan waktu guru pendamping.
Sebenarnya di sekolah ada
eks-guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang tugas pokok dan
fungsinya salah satu mendampingi guru dalam peningkatan kemampuan di bidang
TIK untuk pembelajaran. Dengan demikian, peran pendampingan oleh guru
pendamping agak tumpang tindih dengan eks-guru TIK di sekolah. Mestinya ini
bisa dihindari.
Prinsipnya: beban tugas
dan tanggung jawab guru jangan ditambah dan bagilah peran pendampingan guru
kepada unsur lain di sekolah, yakni eks-guru TIK. Dengan kata lain, eks-guru
TIK dijadikan sebagai pendamping/mentor para guru dalam desain kebijakan PKB
ini.
Para eks guru TIK yang
diangkat jadi guru TIK sebelum Kurikulum 2013 menghilangkan mata pelajaran
TIK sebagian berasal dari lulusan jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
(KTP). Dengan demikian, mereka kompeten dalam bidang kurikulum, teknologi
pendidikan, manajemen sekolah, dan kebijakan pendidikan. Di semua jurusan KTP
yang tersebar di banyak LPTK di Indonesia, mahasiswa memang dididik untuk
mendampingi guru di sekolah dengan menyelenggarakan program pendampingan,
diklat, pengembangan sistem informasi, dan sejenisnya.
Karena itu, cocok jika
program PKB memberdayakan mereka dan tak menambah beban guru lagi. Pembagian
kerja di sekolah memang salah satu cara mengoptimalkan kinerja guru dan
tenaga kependidikan lain. Jika tumpang tindih peran, kewenangan, tugas pokok,
fungsi, dan bebannya bisa dipastikan kinerja guru tidak optimal (Sagala,
2009; Baedowi dkk, 2015).
Arah program PKB agar
pendampingan guru dilaksanakan di sekolah memang akan lebih efektif jika
dikoordinasikan di level sekolah, tetapi oleh non-guru kelas atau mata
pelajaran. Bukan oleh guru kelas yang sudah banyak beban dan tanggung
jawabnya. Program pendampingan dan pelatihan di sekolah akan lebih berbekas
karena ketika dilakukan akan didampingi secara intensif dan berkelanjutan
oleh tenaga khusus non-guru kelas atau mata pelajaran ini.
Sudah saatnya program
penguatan kualitas guru tidak lagi bertumpu pada program yang tidak
berkelanjutan secara riil di sekolah. Sejak lama, sekian banyak guru mengikuti
diklat di LPMP tidak berbekas karena tidak ”dikawal” hingga dilembagakan dan
dibiasakan di sekolah. Sekolah secara riil juga perlu pendamping di lingkup
sekolah yang tak disibukkan dengan beban dan tanggung jawab mengajar.
Tujuannya agar lebih fokus, terencana, dan terkoordinasikan secara lebih baik
dan hasilnya optimal. Jika gagasan ini dapat dilaksanakan, persoalan
pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, pendidikan karakter, gerakan
literasi sekolah, bahkan paradigma membangun pendidikan dari pinggiran dapat
dijalankan secara lebih baik dan profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar