Milenial,
Politik, dan Media Sosial
Tsamara Amany ; Ketua DPP Partai
Solidaritas Indonesia (PSI)
|
DETIKNEWS,
05 Desember
2017
Pembicaraan mengenai
generasi milenial di Indonesia kian hangat. Padahal kisaran usia milenial
sendiri masih menjadi perdebatan. Menurut Majalah Newsweek, milenial adalah
generasi yang lahir di kisaran tahun 1977-1994. PEW Research Center
menyatakan lahir di atas tahun 1980. Sementara itu, Majalah TIME menilai
milenial lahir pada tahun 1980 - 2000.
Meski kisaran soal usia
masih menjadi perdebatan, tak bisa dipungkiri bahwa milenial menjadi kelompok
yang paling didekati saat ini. Dalam panggung politik Indonesia, kita bisa
melihat banyak tokoh beramai-ramai mengklaim dirinya paling milenial. Mulai
dari gaya berpakaian, gaya bicara, hingga gaya bermedia sosial pun
disesuaikan dengan selera milenial.
Ini wajar saja. Sebab
faktanya, menurut Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), pemilih
berusia 17-38 tahun mencapai 55% pada 2019 nanti. Pemilih dengan rentang usia
ini bisa dikatakan sesuai dengan kisaran usia milenial yang disebutkan
berbagai media di atas.
Mendekati generasi
milenial bukan tanpa tantangan. Majalah TIME pada 2013 memberikan label
kepada generasi milenial sebagai "The Me Me Me Generation".
Milenial, menurut TIME, dinilai sebagai generasi yang individualistik, sangat
bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik.
Di Indonesia sendiri,
utamanya terkait apatisme politik, hal ini terkonfirmasi dengan survei yang
dirilis oleh CSIS dan Litbang Kompas. Survei CSIS yang dirilis pada awal
November lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang
tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati
oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari
generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik.
Di tengah pandangan bahwa
generasi milenial adalah generasi yang apatis terhadap politik, dunia justru
sedang mengalami naik daunnya politik anak muda atau politik milenial
terlepas dari apapun pandangan politik yang mereka yakini.
Kita bisa melihat Macron
(39) menjadi Presiden termuda Prancis dalam sejarah, atau Sebastian Kurtz
(31) yang disebut sebagai pemimpin dunia termuda, atau mungkin Nathan Law
(23) pada usianya yang begitu muda mampu mengantongi 50 ribu suara dan
menjadi anggota parlemen Hong Kong.
Kehadiran Partai
Solidaritas Indonesia (PSI) juga bisa diartikan naik daunnya politik milenial
di negeri ini. 70% dari pengurus PSI berusia di bawah 33 tahun sehingga tak
salah jika PSI dilihat sebagai partainya milenial.
Tren politik milenial di
dunia sebenarnya bisa diartikan membaiknya kesadaran politik milenial. Tapi
tentu saja, ini masih jauh dari cukup. Hasil-hasil survei dengan gamblang
menunjukkan bahwa kesadaran politik milenial harus menjadi perhatian bersama.
Di Indonesia, saya melihat
apatisme milenial terhadap politik tak lepas dari persepsi bahwa politik itu
kotor. Laporan tahunan KPK sejak 2004 hingga 2016 menunjukkan bahwa sebanyak
32% dari mereka yang ditangkap KPK adalah kader partai politik. Belum lagi, setiap
hari mereka disuguhi pemberitaan tentang pejabat publik yang menggunakan
rompi oranye.
Tentu saja pernyataan di
atas harus dijustifikasi oleh survei mengenai alasan milenial apatis
berpolitik. Namun dari pertemuan dengan beberapa kawan mahasiswa, saya
mendengar jawaban yang sama. "Politik itu kotor," katanya.
Ada pula penjelasan lain
yang mungkin bisa menjadi alasan milenial apatis berpolitik. Daniel
Wittenberg pada 2013 menulis artikel di The Guardian mengenai anak muda dan
politik. Wittenberg menceritakan bagaimana ia dan anak muda lainnya tertarik
dengan isu-isu yang berkaitan dengan masa depannya seperti akses pendidikan,
pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan rumah murah. Bahkan Wittenberg
dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya anak muda tertarik dengan politik,
tapi tak pernah diberi kesempatan dalam politik.
Media
Sosial
Dengan segala
perdebatannya, mendekati milenial adalah sebuah keharusan. Karena itu,
mendekati media sosial pun menjadi sebuah keniscayaan. Menurut survei CSIS,
sebanyak 81,7% milenial memiliki Facebook, 70,3% memiliki Whatsapp, 54,7%
memiliki Instagram. Twitter sudah mulai ditinggalkan milenial, hanya 23,7%
yang masih sering mengaksesnya.
Kendati demikian, media
sosial bukan tanpa tantangan. Faktanya media sosial, wadah generasi milenial
"berkumpul", menjadi tantangan tersendiri. Tren vlogger di Youtube
atau yang biasa dikenal dengan Youtuber merupakan sisi positif media sosial
yang menggali kreativitas generasi milenial melalui video-video yang mereka
unggah.
Di sisi lain, media sosial
bisa menjadi malapetaka. Apalagi jika dikaitan dengan politik. Ini terjadi di
beberapa negara. Revolusi Tunisia dimulai dari media sosial ketika seorang
lelaki melakukan protes atas pemerintahan Tunisa dengan membakar dirinya kemudian
video tersebut menjadi viral di Twitter dan Facebook sehingga memicu
gerakan-gerakan selanjutnya.
Akhirnya, revolusi yang
dipengaruhi kekuatan media sosial ini memicu perubahan politik di
wilayah-wilayah negara Arab yang dikenal sebagai The Arab Spring.
Di Amerika, peneliti media
sosial Ohio University, Laeq Khan melihat kemampuan Donald Trump mendekatkan
diri dengan pemilihnya di media sosial lebih dari Hillary Clinton
mengantarkan dirinya menjadi Presiden Amerika Serikat. Apalagi di Amerika kepercayaan
kepada media massa sedang menurun drastis. Survei UCLA & Stanford
University menunjukkan bahwa 42% penonton televisi sudah tidak menonton iklan
kampanye di channel-channel televisi tersebut.
Bukan hanya itu, di
Amerika, muncul akun-akun palsu untuk menyebarkan berita hoax terhadap
Hillary Clinton selama masa kampanye Pemilu Presiden. Akun-akun tersebut oleh
beberapa media Amerika diduga berasal dari negeri pimpinan Vladimir Putin.
Penggunaan media sosial
untuk kegiatan politik di Indonesia pun mengalami pasang surut. Media sosial
mampu mengorbitkan tokoh seperti Jokowi yang pada Pilkada 2012 dan Pilpres
2014 juga begitu memanfaatkan kampanye via Twitter. Basuki Tjahaja Purnama
memanfaatkan media sosial, Youtube utamanya, sebagai sarana transparansi
pemerintahan daerah.
Secara bersamaan, media
sosial juga memunculkan sindikat penebar hoax seperti Saracen atau orang
seperti Jonru. Pada Pilkada Jakarta 2017 lalu, kita bisa melihat bagaimana
linimasa media sosial dipenuhi oleh hoax yang begitu provokatif dan berniat
memecah belah kita sebagai bangsa. Salah satu hoax yang paling terkenal
adalah bagaimana pulau reklamasi nantinya akan diisi oleh orang-orang dari
Tiongkok.
Mendekati Pilpres 2019,
isu hoax PKI juga mulai digaungkan lagi untuk memberi label kepada Presiden
Jokowi yang selalu difitnah berafiliasi dengan PKI.
Media sosial membuka akses
yang begitu luas. Siapapun bisa menjadi content writer di media sosial sehingga
tidak mengherankan ketika media sosial benar-benar menjadi media bebas yang
diisi konten positif maupun negatif. Tentu saja, media sosial tidak salah.
Tak boleh ada batasan pula terhadap akses media sosial. Karena itulah, media
sosial tantangan tersendiri. Ini perang mengenai siapa yang paling mampu
mengisi konten tersebut.
Penggunaan media sosial
untuk kampanye politik tidak bisa dihindarkan. Tidak ada pula yang salah
terkait itu. Para politisi tentu juga sudah sadar bahwa media sosial sudah
menjadi arus utama informasi generasi milenial. Karena itu, mendekati
milenial melalui media sosial juga harus dengan cara-cara yang bijak. Bukan
dengan menjejali mereka dengan informasi yang tak bermutu hanya untuk meraup
suara mereka semata.
Politisi punya tanggung
jawab untuk memberikan edukasi politik, atau konten yang positif kepada
generasi milenial melalui media sosial sehingga kesadaran politik yang
terbangun adalah kesadaran politik yang positif. Catatan lain yang juga
penting, politisi atau utamanya elite politik tak boleh mendekatkan diri
kepada milenial semata untuk mendapatkan suara ketika kampanye saja.
Kesadaran politik milenial
harus dibarengi dengan memberikan mereka panggung di politik Indonesia. Sudah
waktunya elite politik memberikan generasi milenial tempat di panggung
politik Indonesia. Jangan sampai apa yang dikatakan Daniel Wittenberg pada
2013 lalu menjadi kenyataan di Indonesia. Milenial mulai suka dengan isu
politik, tapi mereka tersingkirkan karena tidak diberi tempat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar