Mewaspadai
Merkuri
Rosi Ketrin ; Pusat Penelitian Metrologi,
Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia Kawasan Puspitek, Serpong
|
KOMPAS,
16 Desember
2017
Merkuri kembali menjadi pokok bahasan
beberapa bulan terakhir ketika media massa memberitakan tentang penambangan
emas tanpa izin. Merkuri atau air raksa adalah logam yang sangat unik karena
berbentuk cair dan dapat berubah menjadi bentuk gas yang tidak terlihat.
Larutan garam merkuri yang tidak stabil
dapat bereaksi dengan udara dan menghasilkan uap merkuri. Uap ini dapat
menembus pori-pori dari botol plastik dan gelas. Oleh karena itu, merkuri
harus disimpan di dalam botol gelas yang terbuat dari borosilikat atau botol
plastik yang terbuat dari polikarbonat atau high density poly ethylene
(HDPE), dengan pH kurang dari 2.
Merkuri dapat terjadi alami, misalnya dari
tanah, batuan, tambang, aktivitas gunung berapi, fosil, batubara, dan minyak
bumi, maupun karena berbagai aktivitas manusia. Kelimpahan merkuri alami
sangat kecil, rata-rata 0,08 part per million mass, sebagai bijih tambang
cinnabar, corderoite, livingstonite atau bergabung dengan mineral lain.
Pencemaran merkuri timbul lebih karena aktivitas manusia seperti penambangan
emas, industri, dan pemakaian minyak bumi.
Dulu
untuk industri
Dulu, merkuri banyak digunakan di berbagai
industri. Misal, dalam industri kosmetik untuk membuat kulit menjadi putih
dan terlihat bercahaya, industri batu baterai untuk mencegah kebocoran
baterai, pengisi termometer dan manometer, elektroda, lampu UV dan
fluorescence, hingga bidang kesehatan sebagai antiseptik (obat merah) dan
amalgam penambal gigi berlubang. Namun, fakta bahwa merkuri berbahaya bagi
manusia membuat beberapa negara membatasi penggunaan merkuri.
Sebagai logam bebas, merkuri tidak larut
dalam air, tetapi mudah menguap dan mencemari udara. Uap merkuri tidak
berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa sehingga dapat terhirup masuk ke
dalam tubuh tanpa diketahui. Sebagai garam anorganik, merkuri klorida dapat
larut di air, sedangkan merkuri sulfat tidak larut. Bahaya akibat pencemaran
merkuri anorganik adalah kerusakan hati dan ginjal. Namun, garam merkuri
organik lebih berbahaya dibandingkan dengan garam merkuri anorganik.
Metil merkuri merupakan garam yang paling
berbahaya karena dapat langsung berpengaruh pada saraf dan otak. Selain itu,
metil merkuri yang terserap tubuh akan terakumulasi karena proses
pengeluarannya sangat lambat. Gejala klinis keracunan merkuri akut meliputi
sakit perut, mual dan muntah, diare disertai darah, dan shock. Gejala ini
mirip dengan gejala keracunan pada umumnya sehingga sulit dibedakan, apakah
disebabkan oleh merkuri atau penyakit lain.
Pada keracunan merkuri, gejala ini akan
berlangsung secara terus-menerus, hingga terjadi pembengkakan kelenjar ludah,
stomatitis, gigi yang menjadi longgar, hepatitis, hingga kematian. Pada ibu
hamil, keracunan merkuri dapat menyebabkan janin tidak berkembang, sedangkan
pada bayi, keracunan merkuri bisa menyebabkan cacat dan keterbelakangan
mental.
Pencemaran
merkuri
Berdasarkan program lingkungan United
Nations, sekitar 1960 ton merkuri dilepaskan ke udara tahun 2010. Dari jumlah
itu, 80 persen berasal dari negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin. Porsi terbanyak, 37 persen, berkaitan dengan penambangan skala kecil
yang menggunakan merkuri untuk menambang emas dan melepaskan kembali merkuri
ke udara saat emasnya diekstraksi.
Penambang biasanya menggunakan cinnabar
sebagai sumber merkuri. Saat cinnabar dipanaskan, merkuri akan dilepaskan
sebagai uap merkuri. Uap ini didinginkan untuk mengumpulkan merkurinya.
Merkuri kemudian dicampur dengan lumpur yang diduga mengandung emas. Reaksi
emas dalam lumpur dengan merkuri membentuk amalgam.
Amalgam mudah dikenali karena warnanya
berkilau seperti campuran emas dan perak sehingga mudah dipisahkan dari tanah
atau lumpur. Untuk mendapatkan emas, campuran amalgam dipanaskan kembali.
Merkuri akan menguap, sedangkan emasnya tidak. Uap merkuri dapat digunakan
kembali, tetapi tetap saja akan ada banyak merkuri yang hilang ke udara.
Merkuri di udara dapat masuk ke tanah dan
air melalui hujan. Adanya mikroorganisme di tanah dan air akan mengubah
merkuri menjadi metil merkuri, yaitu garam merkuri yang paling berbahaya.
Organisme air seperti ikan dan kerang juga dapat mengubah merkuri anorganik
menjadi metil merkuri. Merkuri dari air yang tercemar dapat juga masuk ke
tumbuh-tumbuhan.
Padi sebagai salah satu tanaman yang perlu
banyak air untuk pertumbuhan menjadi salah satu pangan yang patut diwaspadai,
apalagi beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Dalam padi, merkuri anorganik menetap di
akar padi, sedangkan merkuri organik, seperti metil merkuri, akan bermigrasi
hingga ke bulir beras. Selain menghirup uap merkuri, merkuri masuk ke tubuh
manusia melalui makanan dan minuman.
Perjanjian
Minamata
Pada Oktober 2013, 1.000 delegasi dari 140
negara mengikuti konferensi internasional di Minamata, Jepang. Pada
konferensi ini, United Nations mengusulkan Perjanjian Minamata untuk mengatur
penggunaan dan perdagangan merkuri sebagai upaya mencegah bahaya kesehatan
dan gangguan lingkungan akibat pelepasan logam dan senyawa logam tersebut.
Dalam perjanjian dinyatakan bahwa produksi,
ekspor, dan impor sembilan produk, termasuk baterai, kosmetik, dan lampu
fluoresen yang mengandung merkuri dalam jumlah nyata, akan dilarang tahun
2020. Sementara penggunaan merkuri dalam proses produksi asetaldehida akan
dilarang tahun 2018. Ini mengingat tragedi Minamata, yaitu peristiwa pencemaran
merkuri yang menyebabkan ribuan orang rusak sistem sarafnya.
Perjanjian itu ditandatangani oleh 128
perwakilan dari setiap negara, dan bersyukur Indonesia merupakan salah
satunya. Namun, penerapan hal ini patut menjadi perhatian kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar