Mendikbud
dan Cara Melihat Pendidikan di NTT
Benny K Harman ; Politisi Senior Partai Demokrat
|
KOMPAS.COM,
13 Desember
2017
LAPORAN Program
for International Students Assesement (PISA) menempatkan kualitas
pendidikan di Indonesia pada ranking yang rendah.
Menanggapi hal ini, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhadjir Effendy berkomentar, jangan-jangan sampel dari survei ini
adalah siswa-siswi asal Nusa Tenggara Timur ( NTT).
Pernyataan Mendikbud itu menyinggung
perasan sejumlah orang yang berasal dari NTT. Seolah-olah kualitas pendidikan
di provinsi ini rendah hingga dianggap sebagai “biang kerok” rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia.
Pernyataan ini juga mengesankan Mendikbud
melepaskan tanggungjawabnya sebagai pejabat tinggi pemerintah yang berwenang,
bertugas, dan berfungsi mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan secara
nasional.
Di balik itu, kita juga harus menyadari
kondisi pendidikan formal di NTT yang buruk. Banyak anak usia sekolah yang
terpaksa putus melanjutkan pendidikannya karena kesulitan biaya. Tercatat,
ada 11 persen sekolah tidak layak atau rusak, serta kekurangan tenaga guru.
Kondisi inilah yang harus dipulihkan oleh
segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk bahu-membahu agar setiap
anak mendapatkan hak atas pendidikan dan keluarga-keluarga di NTT bisa keluar
dari impitan kesulitan mereka.
Peringkat
rendah
Tidak sepantasnya Mendikbud mengesankan
pendidikan di NTT sebagai “kambing hitam” dari rendahnya peringkat mutu
pendidikan di Indonesia yang ironisnya justru menjadi tugas dan tanggung
jawabnya.
Mendikbud seharusnya mengevaluasi, mengapa
mutu pendididikan di Indonesia rendah? Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya? Bagaimana menemukan solusi dalam meningkatkan mutu
pendidikan?
Berdasarkan laporan PISA tahun 2015, ada
540.000 siswa sekolah berusia 15 tahun yang mengikuti survei di 72 negeri.
Tidak ada negeri-negeri seperti Kuba,
Malaysia, Thailand, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos, Brunei Darussalam, dan
Timor Leste dalam survei tersebut. Negeri-negeri yang tergabung dalam ASEAN,
hanya Indonesia, Singapura, dan Vietnam.
Banyak kategori yang menjadi obyek survei,
tetapi ada tiga kategori yang dijadikan patokan penting, yaitu matematika
(maths), ilmu pengetahuan (science), dan bacaan (reading). Dari ketiga
kategori ini Singapura menyapu bersih semua peringkat dari 72 negeri yang
disurvei.
Untuk matematika, Vietnam ada di peringkat
ke-22, dan Indonesia peringkat ke-65. Dalam ilmu pengetahuan, Vietnam berada
di ranking ke-8, Indonesia di posisi ke-64.
Sementara untuk kategori membaca, Vietnam
menduduki peringkat ke-32 dan Indonesia ke-66. Indonesia masih lebih baik
dibandingkan Brazil untuk matematika (ke-67) dan ilmu pengetahuan (ke-65),
tetapi disalip dalam kategori bacaan (ke-61).
Cara
melihat
Mungkin cara pandang Mendikbud dalam
melihat pendidikan dan kebudayaan tidak mendasarkan atas sejumlah faktor yang
melilit masyarakat Indonesia dan secara khusus NTT.
Pertama, salah satu faktor yang menyulitkan
Indonesia adalah demografis, yaitu jumlah penduduk yang besar dan negeri
kepulauan yang paling luas.
NTT juga provinsi kepulauan dengan
infrastruktur dan konektivitas yang jauh dari memadai. Malah, sebanyak 11
persen sekolah atau ruang kelas rusak dan tidak layak.
Kedua, meski alokasi APBN minimal 20 persen
untuk pendidikan, tetapi alokasinya berbeda-beda setiap provinsi, selain
kemampuan pemerintah daerah masing-masing.
Dari Rp 416,1 triliun dalam APBN 2017,
sebagian besar dialokasi ke daerah melalui transfer daerah. Sudah jadi
pengetahuan umum, alokasi anggaran masih didominasi dan terkonsentrasi di
Jawa.
Tahun lalu, Kemendikbud mengalokasi dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp1,3 triliun ke NTT. Tahun ini ada
bantuan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan lebih dari Rp 156 miliar,
serta Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pengalihan sekolah Rp 122 miliar kepada
NTT. Sementara, dari APBD NTT hanya 2,7 persen untuk pendidikan.
Ketiga, selain banyak sekolah dan ruang
kelas yang rusak, masalah yang juga tidak kalah memprihatinkan kita adalah
gaji guru, terlebih lagi yang masih berstatus honorer yang hanya diimbali Rp
200 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan. Ini memang sangat tidak layak dan
menyedihkan.
Keempat, masalah-masalah yang juga tidak
kalah pentingnya yang ikut mempengaruhi warga NTT atas pendidikan adalah
kemiskinan dan ketertinggalan.
Sebagian warga yang tidak beruntung ini
malah harus menderita rawan pangan atau kurang gizi, didera kasus perdagangan
orang (human trafficking), dan kesulitan lainnya.
Meski banyak faktor yang mempengaruhi
kondisi pendidikan di NTT, tetapi tidak berarti tidak ada lembaga pendidikan
yang berkualitas.
Dalam kasus khusus, bisa dilihat dari
pencapaian Grandprix Thomryes Marth Kadja yang lulus SMA di usia 16 tahun. Ia
menyelesaikan kuliah di jurusan Kimia Universitas Indonesia (UI) dalam tempo
tiga tahun. Dan puncaknya, ia menggondol gelar doktor termuda di Institut
Teknologi Bandung (ITB) dalam usia 24 tahun.
Pendidikan
dan ekonomi
Arah program dan kebijakan pendidikan di
NTT sebaiknya dikaitkan dengan potensi sumber daya dan perkembangan ekonomi.
Dengan potensi dan perkembangan ekonomi ini pula program dan kebijakan
pendidikan akan lebih spesifik dan efektif.
Banyak lembaga pendidikan di NTT sudah
memiliki fondasi yang kuat, seperti filosofi dan pemikiran, pengembangan
kurikulum, serta metode belajar-mengajar yang terus berkembang. Dari
pendidikan ini pula lahir sejumlah orang yang berprestasi dalam bidang
masing-masing.
Namun, dengan impitan ekonomi dan politik
yang kurang mendukung, adanya angka putus sekolah dan keengganan melanjutkan
pendidikan, bahkan banyak pula sarjana yang menganggur, menambah masalah NTT.
Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana
ekonomi dan politik mendukung pendidikan?
Potensi besar NTT di bidang pangan, mulai
dari kelautan dan perikanan, pertanian dan peternakan, haruslah dibangun
pondasi ekonomi yang kuat dan saling terkait.
Seandainya NTT bangkit dan bergerak menuju
revolusi pangan – transformasi ke industrialisasi pengolahan pangan – niscaya
program pendidikan yang mendukung proses ekonomi ini bakal mengurangi angka
putus sekolah, keengganan melanjutkan sekolah, dan para sarjana pun ikut
dalam transformasi tersebut.
Dengan solusi ini NTT tidak perlu khawatir
lagi mengenai masalah mutu pendidikan dan masalah lainnya yang melilit kita,
seiring perubahan penting yang digerakkan menuju industrialisasi pengolahan
pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar