Antara
Kekuatan Bahasa Politik dan Bahasa Agama
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Desember 2017
PERGANTIAN tahun baru sebentar lagi.
Sejumlah isu hangat yang terjadi di pada 2017 diprediksi masih akan
berlanjut. Isu itu di antaranya tarik-menarik antara kekuatan bahasa politik
dan bahasa agama. Isu itu diprediksi akan semakin meningkat pada 2018 seiring
dengan terjadinya pilkada serentak tahun depan.
Bahasa politik lebih sering digunakan
kelompok politikus nonagama, termasuk pemerintah, sedangkan bahasa agama
lebih sering digunakan kelompok politikus agama ditambah dengan sejumlah
aktivis ormas. Para politikus yang berbasis keagamaan sering kali menggunakan
bahasa agama bukan hanya sebagai motivasi, melainkan juga untuk menyerang
lawan-lawan politik mereka yang mengusung isu yang dianggap sekuler.
Namun, kelompok politikus sekuler juga
sering menggunakan dalil-dalil agama di dalam melegitimasi gagasan dan
program mereka sehingga sering terjadi ‘perang dalil’ satu sama lain.
Sebaliknya, politisi keagamaan tidak kalah mahir juga menggunakan dasar-dasar
hukum positif sebagaimana sering didengungkan lawan-lawan politik mereka.
Semakin dekat pemilu semakin kuat
pertarungan antara bahasa politik dan bahasa agama. Para tokoh agama seperti
para ulama berikut institusi keagamaan seperti pondok pesantren dan
ormas-ormas Islam akan semakin ramai didekati politisi dan pejabat
pemerintah. Tujuan mereka, selain
untuk mengamankan kepentingan, juga untuk memperoleh dukungan dari pengaruh
para elite agama di dalam masyarakat. Selain pondok pesantren, ormas-ormas
Islam dan kampus-kampus perguruan tinggi akan semakin banyak dikunjungi
politisi dengan tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh dukungan aktif dari
mereka untuk memenangi pertarungan politik yang sudah mulai memanas.
Seiring dengan semakin memanasnya suhu
politik, masyarakat juga semakin bertambah pintar dan dewasa di dalam
menyikapi berbagai ajakan dan provokasi. Masyarakat sering kali menerima
semua pihak yang berkepentingan agar pada saatnya juga bisa memperoleh
manfaat dari kelompok siapa pun yang tampil sebagai pemenang.
Para tokoh agama dan adat sering
menunjukkan sikap netral dalam upaya menjadikan diri mereka sebagai ‘gula’.
Di mana ada gula di situ pasti akan dikerumuni semut. Tidak mengherankan bila
menjelang pemilihan, banyak bangunan baru berdiri di lingkungan pondok-pondok
pesantren, bantuan dari para pihak yang memerebutkan pengaruh.
Para tim sukses jauh-jauh hari sudah mulai
aktif mengidentifikasi sasaran-sasaran yang efektif bisa memberikan pengaruh
positif kelompok mereka. Menjelang hari H, biasanya sudah terbentuk
jurkam-jurkam yang terlatih. Setiap jurkam memperlihatkan kebolehannya di
dalam memikat massa pendukung yang akan mendukungnya di dalam pemilihan
anggota legislatif.
Berbagai model dan cara dilakukan para
kandidat. Banyak calon berusaha memancing emosi umat dengan menggunakan
bahasa agama, baik bahasa lisan, tulisan, maupun bahasa tubuh. Ayat-ayat
dalam kitab suci digunakan untuk mendukung diri dan partai mereka.
Seolah-olah para caleg tiba-tiba menjadi fasih di dalam melantunkan ayat-ayat
kitab suci meskipun sebelumnya mereka jarang terdengar menggunakan bahasa
agama di dalam keseharian. Bukan hanya mahir menggunakan bahasa agama,
melainkan juga dengan lincah menggunakan atribut-atribut keagamaan meskipun
masyarakat tahu sebagian di antara mereka setelah terpilih bagaikan ‘lupa
kacang akan kulitnya’.
Bahasa tulisan juga semakin canggih di
dalam memilih dan mengutarakan ayat dan hadis. Banyak artikel muncul di dalam
media-media publik termasuk media sosial dengan terampil memaknai sejumlah
ayat atau hadis sebagai kekuatan untuk memengaruhi publik. Demikian pula
dalam bahasa tubuh, banyak caleg tiba-tiba dengan terampil menggunakan peci
atau surban seolah mereka ingin menyaingi para habib. Padahal, apa yang
dilakukan tidak lain hanya untuk menyosialisasikan diri dengan komunitas
agama yang ditarget sebagai calon konstituen.
Perang
dalil
Jika politik aliran semakin menguat, di
situlah awal terjadinya perang dalil-dalil agama karena setiap kelompok sudah
memiliki tokoh pendamping yang mumpuni. Ketika Ibu Megawati di dalam
pemilihan umum periode lalu dicekal sejumlah lawan politiknya yang
memanfaatkan kaum agamawan untuk mengatakan perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin, hal itu ternyata sangat efektif merepotkan Ibu Megawati.
Untung saja ada kelompok yang lebih netral
memberikan klarifikasi bahwa ayat yang mengatakan, ‘Laki-laki adalah pemimpin
kaum perempuan…’, adalah ayat yang berhubungan dengan urusan rumah tangga,
bukan ayat yang berhubungan dengan dunia publik. Demikian pula hadis yang
mengatakan, ‘Barangsiapa yang memberikan kekuasaan kepemimpinan pada diri
seorang perempuan maka tunggulah kehancurannya’, adalah sebuah hadis yang
berlaku secara khusus, yaitu reaksi spontanitas Nabi menanggapi diangkatnya
Raja Kisru (Persia) sebagai pemimpin pengganti ayahnya yang wafat.
Pengerahan partisipasi massa dengan
menggunakan bahasa agama juga sangat efektif. Belum tentu pemerintah mampu
mengerahkan partisipasi masyarakat ke dalam sebuah pertemuan akbar,
sungguhpun disediakan kendaraan. Namun, jika yang mengundang adalah pemimpin
spiritual, massa akan berjubel datang walaupun dengan biaya sendiri. Banyak
pengalaman di berbagai tempat membuktikan hal ini. Wajar jika saat-saat
seperti sekarang ini pemimpin spiritual sedang jual mahal karena memang
taruhannya juga tidak kecil. Jika pemimpin spiritual terlalu jauh turun ke
gelanggang politik praktis, serta-merta ummatnya akan meninggalkannya.
Dalam dunia birokrasi, bahasa agama
sebaiknya lebih banyak dilibatkan untuk mendukung rencana pembangunan untuk
kemaslahatan umat dan bangsa, yang biasanya dilakukan pemerintah yang
terpilih. Pengalaman menunjukkan, sebagus apa pun sebuah program pemerintah
tanpa didukung para pemimpin agama, akan terancam krisis partisipasi
masyarakat.
Masih ingat kita ketika program Keluarga
Berencana (KB) pada 1970-an semula mengalami krisis partisipasi masyarakat
karena sama sekali tidak melibatkan para ulama dan pemimpin agama. Sebagian
di antara mereka mengharamkan KB. Akan tetapi, pemerintah mengubah strategi,
mendahulukan pemuka agama dalam kampanye program KB, maka hasilnya luar
biasa, kita berkali-kali mendapatkan International Award dari PBB terhadap
keberhasilan KB di Indonesia.
Desakralisasi
ajaran agama
Kekhawatiran yang muncul ialah terjadinya
desakralisasi ajaran agama karena agama menjadi tumpangan bagi berbagai
kepentingan di luar agama itu sendiri. Upaya untuk melakukan desakralisasi
ajaran agama dilatarbelakangi beberapa faktor. Ada desakralisasi ajaran
karena kepentingan politik seperti penafsian simbol-simbol agama untuk
melindungi calon pemimpin di luar garis mainstream agama (Islam). Contohnya
upaya sekelompok orang untuk memisahkan secara total antara urusan agama dan
negara yang dalam Islam merupakan satu kesatuan atau sistem yang sulit
dipisahkan dengan keseluruhan nilai-nilai Islam.
Ada juga dengan kepentingan ekonomi,
misalnya keenganan untuk membicarakan soal riba di dalam sebuah sistem
perekonomian hanya lantaran ingin menyedot keuntungan lebih banyak. Ada
kepentingan etnik, misalnya lebih mengedepankan kriteria etnik kedaerahan
ketimbang nilai-nilai universal keagamaan hanya karena ingin mengunggulkan
etinisitasnya. Yang lainnya karena demi kepentingan sains, kloning manusia
nekat dilakukan sementara urusan bodi manusia itu tabu dalam Islam.
Pada sisi yang berbeda, terdapat sekelompok
orang yang melakukan sakralisasi nilai-nilai profan. Sebuah nilai yang
diperjuangkan, sesungguhnya, bukan nilai sakral melainkan diupayakan untuk
disakralkan dengan menggunakan bahasa agama lantaran ada kepentingan
tertentu. Sakralisasi semacam ini berpotensi mengaburkan batas antara nilai
yang bersumber dari agama dan nilai yang datang dari luar agama. Tegasnya,
sakralisasi nilai-nilai nonsakral sama bahayanya dengan desakralisasi
nilai-nilai sakral.
Sosok
teladan Nabi
Kita perlu memahamkan kepada mereka dan
mungkin untuk diri kita sendiri bahwa hakikat agama, khususnya Islam yang
dengan namanya sendiri berarti ‘damai, selamat, tenteram’. Aksi yang merobek
rasa kemanusiaan universal dilakukan dengan menggunakan bahasa agama inilah
yang perlu diluruskan kembali. Jangan sampai sejarah kelam agama, seperti yang
terjadi pada masa kegelapan (The Dark Age) di Eropa, terulang kembali karena
agama hanya menjadi alat legitimisasi kepentingan politik dan golongan.
Kini sudah saatnya umat Islam berpikir
kritis dan harus hati-hati terhadap setiap ajakan untuk melakukan tindakan
kekerasan atas nama agama. Jangan sampai itu bukan murni bersumber dari
agama, melainkan hanya penafsiran dari agama yang dilakukan sekelompok orang
yang punya kepentingan tertentu. Pemahaman secara kritis terhadap
orisinalitas agama perlu pencerahan baru (new purification) untuk mengajak
generasi baru Islam yang sudah terkontaminasi hal negatif terhadap opini
publik tentang kekerasan yang dilakukan segelintir orang yang mengatasnamakan
agama, padahal sesungguhnya hanya pemahaman subjektivitasnya terhadap agama
itu sendiri.
Dalam menghadapi hiruk-pikuk politik tahun
depan, ada baiknya kita mengenang pribadi sosok teladan Nabi Muhammad SAW. Ia
memiliki beberapa kapasitas dan menampilkan kapasitas-kapasitas itu secara
ideal. Ketika tampil sebagai Nabi atau pemimpin agama, ketika itu ia tampil
sangat mengesankan. Seluruh perkataan, perbuatan, dan pengakuan (taqrir)-nya
oleh para ulama ushul disepakati menjadi hujjah (mengikat bagi umatnya).
Ketika ia tampil sebagai kepala negara, panglima angkatan perang, hakim yang
memutuskan perkara umatnya, seorang pengamat politik, dan seorang pribadi
suami di depan istri-istrinya, seorang ayah di depan anak-anaknya, ia juga
tampil dengan penuh kepercayaan diri seolah tanpa cela.
Diperlukan kecerdasan dan kematangan bagi
politisi di dalam memperjuangkan gagasan dan cita-cita mereka. Jangan sampai
hanya kepentingan sesaat tetapi kita merelakan kearifan lokal yang sudah
terbangun selama berabad-abad dibiarkan hancur. Generasi baru masyarakat
bangsa Indonesia masih sangat membutuhkan orisinalitas kepribadian bangsanya
yang santun dan beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar