Agama,
Kesalehan Ritual, dan Korupsi
Burhanuddin Muhtadi dan Hendro
Prasetyo ; Peneliti Lembaga Survei
Indonesia, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Desember 2017
LEMBAGA Survei Indonesia (LSI) baru-baru
ini merilis survei nasional mengenai korupsi, religiositas, dan intoleransi
(15 November 2017). Studi tentang korupsi telah lama menemukan bahwa faktor
ekonomi, politik, dan budaya berhubungan erat dengan korupsi. Para sarjana
umumnya sepakat bahwa kemiskinan dan disparitas pendapatan merupakan
pendorong perilaku korup. Bagaimana dengan hubungan agama dan korupsi? Apakah
agama berperan menurunkan atau menaikkan korupsi?
Pada tataran normatif, semua agama tentu
mengajarkan pemeluknya agar tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan
pribadi. Agama juga menitahkan agar kita tak mengambil hak orang lain. Namun,
realitas menunjukkan negara dengan mayoritas umat beragama tidak ada yang
lepas dari praktik korupsi. Bahkan, kasus-kasus korupsi akut banyak ditemukan
di negara yang memiliki identitas agama kuat, apa pun agama itu (Corruption
Perception Index, 2011).
Untuk itu, kalangan ilmuwan sosial tidak
melihat agama secara normatif. Yang mereka lihat bukan agama saja, melainkan
pemahaman atau budaya keagamaan yang dikembangkan komunitas pemeluk agama.
Melalui pendekatan itu, para ilmuwan menemukan agama sebagai faktor yang bisa
jadi berkontribusi positif, negatif, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali
dengan korupsi (Ghaniy & Hastiadi, 2017; Shabbir & Anwar, 2007).
Bagaimana
di Indonesia?
Sebelum memaparkan lebih jauh hubungan
antara agama dan korupsi, perlu dijelaskan dulu pengertian korupsi dan agama
dalam survei ini. Mengikuti Transparency International (2011) korupsi
dimaknai sebagai 'penyalahgunaan wewenang yang diberikan publik untuk
kepentingan pribadi (the abuse of entrusted power for private gain)'.
Salah satu bentuk korupsi yang umum terjadi
ialah menerima imbalan dari masyarakat atas jasa yang diberikan di luar
aturan yang sah. Kasus korupsi seperti ini bisa ditemukan di instansi
pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat, seperti catatan
sipil, pendidikan, kesehatan, dan keamanan (ICW, 2014).
LSI membahas korupsi dari dua dimensi,
sikap dan perilaku. Sikap merupakan pandangan dan penilaian responden
terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Perilaku mencakup pengalaman
dan tindakan korup yang pernah dilakukan responden, terpaksa maupun sukarela.
Survei itu dilakukan dengan mewawancarai
secara tatap muka terhadap 1.540 responden yang dipilih dengan metode
multi-stage random sampling. Berdasar jumlah sampel itu, diperkirakan margin
of error sebesar 2,6% pada tingkat kepercayaan 95%. Pertama-tama, survei itu
menanyakan pengalaman warga berinteraksi dengan instansi pemerintah,
pengalaman dimintai uang atau hadiah untuk mendapat pelayanan, dan pengalaman
warga memberi uang atau hadiah tanpa diminta untuk mendapat pelayanan.
Interaksi antara warga dan pegawai
pemerintah paling banyak terjadi dalam hal mengurus kelengkapan administrasi
publik (50,3%), selanjutnya dalam pelayanan kesehatan (46,6%), berurusan
dengan pihak sekolah negeri (30,3%), dan polisi (14,9%).
Probabilitas adanya tindakan korupsi oleh
pegawai pemerintah paling besar terjadi ketika warga berurusan dengan polisi,
yakni dari 14,9% warga yang pernah berurusan dengan polisi, 46,1% di
antaranya pernah diminta memberi hadiah/uang di luar biaya resmi. Demikian
pula probabilitas melakukan gratifikasi juga paling besar terjadi ketika
mereka berurusan dengan polisi, yakni dari 14,9% warga yang pernah berurusan
dengan polisi, 40,4% di antaranya pernah secara aktif (tanpa diminta) memberi
hadiah/uang agar mendapat pelayanan yang dibutuhkan.
Analisis korelasi antara pengalaman
masyarakat diminta memberikan uang/hadiah di luar biaya resmi dan pengalaman
mereka memberi uang/hadiah di luar biaya resmi sangat kuat (0,706). Artinya,
semakin sering warga mengalami kejadian dimintai uang/hadiah oleh pegawai
pemerintah, semakin sering warga bersangkutan--di kesempatan lain--secara
aktif memberikan uang/hadiah (melakukan gratifikasi) tanpa diminta.
Selain aspek perilaku, survei LSI juga
menanyakan sikap warga terhadap praktik korupsi. Sebanyak 30,4% berpendapat
bahwa pemberian uang/hadiah untuk memperlancar urusan ketika berhubungan
dengan instansi pemerintah (gratifikasi) merupakan hal yang wajar. Angka yang
hampir sama (35,2%) juga ditemukan dalam sikap pemakluman masyarakat terhadap
tindakan kolusi.
Analisis bivariat menunjukkan hubungan kuat
antara perilaku dan sikap masyarakat terhadap korupsi. Terdapat hubungan
positif dan signifikan di antara keduanya. Semakin warga bersikap memaklumi
praktik korupsi, semakin korup juga perilaku mereka.
Agama
dan korupsi
Masyarakat Indonesia pada umumnya tergolong
religius. Sebanyak 74,9% umat Islam di Indonesia merasa saleh. Sebanyak 82,9%
dari mereka sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting.
Kesalehan masyarakat juga tecermin pada praktik ritual yang dilakukan.
Sebanyak 55,9% rutin melakukan salat wajib
lima waktu dan 28,4% cukup sering melakukannya. Sementara itu, yang rutin
puasa Ramadan sebanyak 67,5% dan sering puasa 24,6%. Mereka yang selalu
menjalankan salat sunah 14,4% dan yang sering sebanyak 30,3%.
Meskipun demikian, analisis bivariat dan
multivariat menunjukkan makna agama dan perilaku ritual yang dijalani hanya
berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap korupsi. Tidak ada
hubungannya dengan perilaku korupsi. Semakin religius hanya semakin bersikap
antikorupsi. Perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan
masalah agama.
Religiositas warga ternyata bukan faktor
yang menentukan perilaku korupsi. Perilaku korup dan tidak korup tidak dapat
dijelaskan tingkat religiositas atau kesalehan. Secara sederhana, perilaku
korup dapat dijumpai pada mereka yang religius maupun yang tidak. Kesalehan
warga baru tampak berpengaruh membentuk sikap mereka terhadap korupsi.
Semakin religius semakin bersikap antikorupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan
kata lain, tingkat religiositas warga baru berdampak pada level normatif,
belum berefek pada tingkat perilaku.
Studi LSI juga ingin menguji sejauh mana
keterlibatan warga dalam ormas-ormas Islam berhubungan dengan sikap dan
perilaku korupsi. Lebih dari separuh umat Islam di Indonesia (55,6%) merasa
jadi bagian dari ormas Islam tertentu. Hal itu menunjukkan partisipasi umat
dalam ormas Islam cukup tinggi.
Namun, survei itu menemukan bahwa menjadi
bagian dari ormas Islam tidak berhubungan secara signifikan dengan sikap dan
perilaku korup. Artinya, menjadi bagian dari ormas Islam merupakan urusan
yang terpisah dari persoalan korupsi. Keduanya sama sekali tidak terkait.
Temuan itu menjadi masukan kepada
ormas-ormas Islam agar menjadikan isu korupsi sebagai musuh bersama dalam
dakwah-dakwah mereka. Sudah seharusnya ormas Islam lebih mampu mendidik
jemaah mereka untuk menolak korupsi. Sejauh ini fungsi tersebut tampak belum
dijalankan sehingga belum berdampak terhadap anggota mereka.
Faktor yang secara signifikan menjadi
determinan perilaku korup warga ialah pengalaman dimintai uang/hadiah di luar
biaya resmi ketika berhubungan dengan aparat negara, kemudian tingkat
pendidikan. Pengalaman dimintai uang/hadiah oleh aparat akan meningkatkan
intensitas warga perilaku korup, sebaliknya tingkat pendidikan akan
menurunkan perilaku korup.
Sementara itu, pada level sikap, sikap
terhadap korupsi juga dipengaruhi kondisi demografi, yakni desa-kota, umur,
dan pendidikan. Mereka yang tinggal di perdesaan dan berusia lebih tua
cenderung lebih pro terhadap korupsi, sebaliknya mereka yang lebih
berpendidikan cenderung lebih antikorupsi.
Pada intinya, religiositas dan perilaku
antikorupsi dianggap berasal dari dunia yang berbeda. Memang peran agama
terlihat, tapi baru sebatas memengaruhi sikap, belum sampai pada tahap
perilaku antikorupsi.
Temuan itu bisa jadi menunjukkan
ketidakberdayaan masyarakat untuk menghindari praktik korupsi karena sistem
atau perilaku koruptif aparat pemerintah sehingga nilai-nilai agama yang
antisuap dan antikorupsi sekalipun belum mampu berbuat apa-apa.
Hasil survei itu menunjukkan upaya serius
harus dilakukan setidaknya dalam dua hal. Pertama, menurunkan sikap
prokorupsi dan kolusi yang saat ini masih cukup banyak dipegang warga. Kedua,
mengejawantahkan sikap antikorupsi yang sudah dipegang sebagian warga menjadi
perilaku antikorupsi.
Upaya menurunkan sikap prokorupsi, atau
sebaliknya, meningkatkan sikap antikorupsi, dapat dilakukan melalui
pendidikan antikorupsi. Upaya itu dilakukan melalui secara formal melalui
lembaga pendidikan, maupun informal atau nonformal dengan menggandeng
kelompok agama agar ikut serta menyosialisasikan nilai-nilai keagamaan yang
bermuatan antikorupsi dan patuh pada hukum sebagaimana yang tercakup dalam
nilai demokrasi.
Bersamaan dengan itu, upaya meningkatkan
perilaku antikorupsi juga harus dilakukan. Tujuannya untuk mengejawantahkan
sikap antikorupsi menjadi perilaku. Tentu saja upaya ini tidak bisa
dilepaskan dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, khususnya dari
lembaga yang memberikan pelayanan publik. Dengan demikian, diharapkan dapat
tercapai masyarakat Indonesia yang tidak saja bersikap antikorupsi, tetapi
juga bertindak antikorupsi. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |