Warisan
Pak Lafran
M Alfan Alfian ; Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta;
Ketua Departemen
Infokom MN KAHMI
|
MEDIA
INDONESIA, 09 November 2017
PENDIRI Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Prof Drs Lafran Pane telah dianugerahi pemerintah gelar pahlawan
nasional. Namun, warisan Pak Lafran tak sekadar HMI, organisasi kemahasiswaan
yang didirikannya pada 5 Februari 1947 atau 15 Rabiulawal 1366 Hijriah, di
kancah revolusi fisik. Warisan
terpokoknya, keikhlasan dan kesungguhan dalam berjuang demi kepentingan
bangsa dan negara, mengimplementasikan ajaran agama Islam dalam konteks
keindonesiaan, serta gagasan ketatanegaraannya yang visioner dan berorientasi
ideologi negara Pancasila sebagaimana digagas the founding fathers.
Dia seorang nasionalis yang
religius. Ketika HMI didirikan, tujuan pertamanya ialah mempertahankan Negara
Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, baru kemudian
menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam. Indonesia dan Islam menjadi dua
kata kunci pentingnya. Setahun setelah pendiriannya, Jenderal Sudirman
berharap HMI menjadi ‘Harapan Masyarakat Indonesia’. Pada masa revolusi
fisik, para aktivis HMI turut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui keterlibatannya
dalam Corp Mahasiswa (CM).
Karena itu, sejarah HMI lekat
dengan sejarah Negara Republik Indonesia. Memang dalam perkembangannya,
kritik sempat mengemuka, bahkan banyak yang menganggap I di belakang HM,
singkatan dari Indonesia, bukan Islam. Itu karena HMI banyak merespons
isu-isu keindonesiaan, di samping tentu juga isu-isu keislaman. Di atas semua
itu, Lafran Pane pernah berpesan kepada para kader HMI, "Di mana pun kau
berkiprah tak ada masalah, yang penting semangat keislaman dan keindonesiaan
itu yang harus kau pegang teguh.”
Terkait dengan tujuan
‘menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam’, Lafran meletakkan
pandangan inklusif dan adaptif implementasi keislaman dalam bingkai
keindonesiaan. Pandangannya yang konsisten diungkapkannya dalam sebuah
tulisannya pada 1949.
Lafran mencatat, secara
kebudayaan, umat Islam harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakatnya. Dia sangat menekankan karakter umat Islam di Indonesia yang
menyatu dengan sifat keindonesiaan. Dalam konteks ini, manakala dikaitkan
kondisi zaman kita, ia selaras dengan ikhtiar penangkalan terhadap fenomena
radikalisme keagamaan.
Dalam kacamata pandang Lafran
Pane, di tengah realitas bangsa yang majemuk, umat Islam sebagai mayoritas
penduduk di Indonesia harus dapat memainkan peran strategis untuk memajukan
bangsa. Pandangan semacam ini subur terpelihara di HMI dan mengemuka kelak
pada pikiran-pikiran Nurcholish Madjid sebagai salah satu penyusun
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI sebagai suatu narasi besar organisasi
itu.
Fenomena dalam sejarah
Dengan tidak menafikan yang
lain, HMI merupakan fenomena dalam sejarah perkembangan bangsa, hingga dewasa
ini. Melalui fase-fase kehidupan bangsa yang sulit, alumni HMI turut
berkontribusi dalam berbagai lahan pengabdian. Banyak alumnus HMI bergerak di
bidang politik, profesional, hingga dunia pendidikan. Alumninya yang di
mana-mana itu pernah mencuatkan fenomena HMI-connection, yang sesungguhnya
lazim saja sebagai jejaring alumni HMI yang majemuk dan tidak otomatis
merupakan entitas politik yang tunggal.
Pada masanya HMI merupakan
organisasi yang sangat populer di berbagai kampus. Mereka merupakan potret
kelas menengah terpelajar pascakemerdekaan. Meskipun pada masanya para
tokohnya memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan para tokoh Masyumi,
organisasi ini sejak didirikan bersifat independen. HMI tidak pernah
mengikatkan diri sebagai ounderbouw parpol mana pun. Sebelum hadir organisasi
sejenis lainnya, HMI benar-benar candradimuka berbagai latar belakang kemahasiswaan
Islam. HMI pun tercatat sebagai ormas kemahasiswaan Islam independen yang
tertua.
Fase kritikal HMI terjadi pada
1963-1965, ketika organisasi ini dipimpin dokter Sulastomo. HMI berada dalam
pusaran tekanan politik kaum komunis yang hendak membubarkannya. Pada 1965,
DN Aidit pernah mencemooh kader Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
ounderbouw PKI bahwa kalau mereka tidak bisa bubarkan HMI, pakai sarung saja.
Pakai sarung merujuk pada kaum sarungan, wong Selam alias orang Islam. Namun,
Presiden Soekarno yang dekat dengan tokoh HMI Ahmad Dahlan Ranuwihardjo
menolak pembubarannya. Demikianlah, HMI terus berkembang semasa Orba, tentu
dengan segala romantika perjuangannya.
Berjiwa independen
Pak Lafran sendiri sosok
sederhana, konsisten, dan sebagaimana organisasi HMI yang didirikannya,
berjiwa independen. Pribadinya tak ingin tampak menonjol. Dia tipologi
perintis yang tak merasa perlu selalu tampil di depan. Dia lebih banyak
memantau dari belakang. Tidak pernah mengklaim mendirikan HMI, kendatipun
Kongres HMI di Bogor pada 1974, setelah melalui serangkaian seminar sejarah
HMI, menetapkannya sebagai pendiri HMI. Dari sisi ini, tentu Pak Lafran tak
pernah berpikir apa yang telah dilakukannya bakal menuai apresiasi pemerintah
sehingga mendapat gelar pahlawan nasional.
Warisan penting lainnya terkait
dengan gagasan-gagasan ketatanegaraannya. Terkait dengan yang satu ini,
secara mudah dapat dibaca kembali tulisan-tulisan akademisnya, terutama
setelah dia ditetapkan sebagai guru besar di IKIP Yogyakarta pada 1974.
Lafran termasuk yang menggagas Pancasila sebagai ideologi terbuka sehingga
penafsirannya tidak boleh dimonopoli kelompok tertentu. Dia juga pernah
mengusulkan amendemen konstitusi. Dia ingin konsisten, ketika MPR merupakan
lembaga tertinggi negara, seluruh anggotanya harus dipilih melalui pemilu.
Artinya, tak boleh ada anggota MPR yang diangkat.
Gagasan amendemen konstitusi
tentu sangat maju, kalau bukan visioner untuk ukuran waktu itu. Gagasan ini
baru menemukan momentumnya pada era reformasi (1999-2002) kendatipun tidak
dalam konteks MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Gagasan ketatanegaraan
Lafran sesungguhnya bertumpu pada demokrasi berkeadilan. Tidak boleh
konsentrasi kekuasaan menumpuk ke sosok atau entitas tertentu karena sistemnya
yang tak menjamin terjadinya praktik checks and balances.
Kini, lelaki sepuh yang tegas
dan berwibawa yang setiap hari datang pergi ke kampusnya dengan naik sepeda
itu telah menjadi pahlawan nasional. Semoga keikhlasan dalam berjuang untuk
kepentingan bangsa Indonesia senantiasa menginspirasi generasi muda. Al
Fatihah untuk almarhum Pak Lafran Pane. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar