Uang
dari Langit
Media Wahyudi Askar ; Postgraduate Student
Jurusan Development
Policy and Management University of Manchester
|
DETIKNEWS,
16 November
2017
Sebanyak 565 keluarga penerima
Program Keluarga Harapan (PKH) menyerbu Kantor Pos Pagar Alam. Ibu-ibu yang
menggendong anaknya hingga para lansia ikut berdesakan di dalam antrian. Uang
tersebut diharapkan bisa mengurangi beban kemiskinan yang mereka hadapi.
Jauh sebelum Indonesia
menerapkan PKH, program biaya langsung untuk rakyat miskin atau dikenal
dengan Conditional Cash Transfer (CCT) telah menjadi andalan di berbagai
negara di dunia untuk menekan angka kemiskinan. Skema ini memberikan uang
kepada masyarakat miskin dengan syarat tertentu. Seperti, mewajibkan penerima
untuk memeriksakan kesehatan anaknya secara rutin, serta mewajibkan anaknya
untuk menempuh jenjang pendidikan tertentu.
Berbagai riset menunjukkan
bahwa program ini terbukti efektif memutus rantai kemiskinan. Akan tetapi,
PKH tidak bisa serta merta menjadi senjata pamungkas untuk mengentaskan
kemiskinan di Indonesia. Salah satu alasannya karena adanya perbedaan
karakteristik kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan. PKH memang cukup efektif
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di pedesaan, khususnya
untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, serta kesehatan dasar. Dana
sekitar Rp 160 ribu per bulan sangat membantu meringankan beban masyarakat
miskin di desa.
Namun demikian, tidak seperti
di pedesaan, kemiskinan di perkotaan lebih identik pada persoalan
keterbatasan kemampuan untuk mengakses perumahan yang layak, narkoba, hingga
eksploitasi anak. Persoalan kemiskinan di perkotaan memerlukan intervensi
yang lebih dari sekedar memberikan uang. Dibutuhkan adanya terobosan hukum,
subsidi perumahan, hingga keberpihakan terhadap kepentingan buruh. Jumlah
dana PKH sekitar Rp 160 ribu per bulan juga tidak akan berdampak signifikan
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin kota, terutama karena
inflasi dan tingginya biaya hidup.
Data tentang tren kemiskinan di
Indonesia selama tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi membuktikan fenomena
ini. Secara umum, tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia tidak mengalami
perubahan berarti. Jika ditelaah lebih detail, angka kemiskinan memang
terlihat mengalami penurunan untuk kawasan pedesaan, namun justru meningkat
di wilayah perkotaan (data BPS per September 2014 – Maret 2017). Ini
menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan hanya efektif mengurangi
kemiskinan di wilayah pedesaan.
Lebih dari Sekadar Uang
Penting untuk dipahami, di
tengah in-efisiensi birokrasi dan maraknya praktik korupsi, memberikan uang
secara langsung kepada masyarakat miskin adalah langkah yang sangat baik.
Namun demikian, pemerintah harus memikirkan strategi selanjutnya.
Prasyarat utama pengentasan
kemiskinan di perkotaan adalah adanya upah tenaga kerja yang layak. Program
Keluarga Harapan bagi masyarakat perkotaan tidak akan berdampak signifikan
apabila mereka terus terbebani oleh tingginya biaya hidup. Pemerintah perlu
meningkatkan Upah Minimum Regional (UMR) secara bertahap karena saat ini
rata-rata UMR di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan di Filipina,
Malaysia, dan Thailand. Peningkatan UMR terbukti sukses mengurangi kemiskinan
dan ketimpangan ekonomi di Brazil dalam beberapa dekade terakhir.
Persoalan berikutnya yang harus
diurai pemerintah adalah menyangkut transparansi penyaluran dana PKH.
Terdapat berbagai temuan adanya warga yang mampu justru mendapatkan dana PKH
sementara banyak masyarakat miskin malah tidak menerima. Salah satu langkah efektif
untuk mengurangi penyalahgunaan dana PKH adalah dengan mengumumkan nama
penerima dana di website berbagai lembaga pemerintah sehingga pengawasan juga
bisa dilakukan bersama-sama dengan masyarakat.
Selanjutnya, pemerintah tidak
boleh lupa bahwa menghubungkan antara conditional cash transfer dengan angka
partisipasi sekolah senyatanya tidak sesederhana yang dibayangkan. Cash
transfer tidak akan berdampak pada peningkatan angka partisipasi sekolah di
daerah-daerah terpencil. Menjadi tidak masuk akal apabila pemerintah
mensyaratkan orangtua menyekolahkan anaknya agar bisa mendapatkan dana PKH,
tetapi tidak ada sekolah yang tersedia di sekitar perkampungan tempat tinggal
mereka. Oleh karena itu, penyediaan fasilitas publik terutama di daerah
terpencil tetap harus menjadi perhatian pemerintah.
Strategi berikutnya adalah
dengan menambahkan aspek kewirausahaan di dalam PKH. Pemerintah bisa
mengadopsi terobosan pemerintah Uganda dengan memberikan uang dalam jumlah
tertentu pada sekelompok masyarakat miskin. Syaratnya, kelompok masyarakat
miskin penerima dana tersebut diwajibkan membuat perencanaan bisnis. Strategi
ini sekaligus juga bisa menepis anggapan bahwa dana cash transfer hanya
mendidik masyarakat bermental pengemis.
Persoalannya, memang tidak
mudah untuk mendorong masyarakat menengah ke bawah agar memiliki inisiatif
bisnis. Kabar baiknya, pemerintah melalui Kementerian Sosial baru saja
merekrut hingga 16.092 pendamping PKH. Para pendamping tersebut seharusnya
bisa diberdayakan untuk tidak hanya mengelola dan mengawasi penyaluran dana
PKH, tetapi juga melakukan pendampingan masyarakat penerima dana PKH dalam
memulai usaha-usaha produktif.
Singkat kata, PKH memang sukses
menyentuh masyarakat miskin. Akan tetapi, terlalu dini untuk mengatakan
program tersebut benar-benar mampu mengurangi kemiskinan, terlebih lagi
karena minimnya data yang tersedia untuk mengevaluasi kebijakan tersebut.
Namun yang pasti, pemerintah
tidak boleh berhenti hanya sebatas menjatuhkan uang dari langit kepada
masyarakat. Melainkan juga harus memastikan uang itu jatuh ke tangan yang
layak. Pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu mendorong terciptanya
proses pemberdayaan sehingga uang triliunan rupiah tidak terbuang sia-sia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar