Tantangan
Pendidikan Tinggi Ekonomi
J Soedradjad Djiwandono ; Guru Besar Emeritus Ekonomi
UI;
Profesor Ekonomi
Internasional, RSIS, Nanyang Technological University Singapore
|
KOMPAS,
03 November
2017
Beberapa waktu lalu Kompas
memuat kolom yang sangat menarik dan menantang “Menuju Pendidikan Asembling” tulisan Prof Sudaryono, Guru Besar
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Saya menggunakan tulisan
tersebut sebagai salah satu referensi pada waktu berbicara di depan civitas academica Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dalam acara “Sosialisasi Pemilihan
Dekan” baru-baru ini, membahas tantangan masa depan pendidikan ekonomi di
lingkungan UI.
Dalam tulisan itu ditunjukkan,
pendidikan perguruan tinggi dewasa ini menghadapi tantangan akan menjadi
tidak relevan, bahkan mati. Di Amerika Serikat (AS), Jim Clifton mengulasnya
dalam tulisan “Universities: Disruption
is Coming” (2016) dan di Inggris Terry Eagleton “The Death of University” (2015).
Perkembangan baru teknologi
dapat membuat pendidikan universitas tak banyak artinya dalam mempersiapkan
tenaga kerja industri masa depan. Debat muncul setelah adanya iklan Google
dan Ernst & Young yang bersedia menggaji siapa pun yang mau bekerja buat
mereka tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah perguruan tinggi.
Pendidikan tinggi ekonomi
Selama beberapa tahun terakhir
setiap kali saya diminta berbicara mengenai tantangan dan peluang
perekonomian nasional di berbagai fora, saya mulai dengan menyajikan peta
risiko dunia yang tahun 2011 lalu digambarkan World Economic Forum menghadapi banyak risiko yang dapat
digolongkan dalam lima kelompok: ekonomi, sosial, geopolitik, perubahan
iklim, dan teknologi.
Mengamati dinamisme
perkembangan di dunia beberapa tahun terakhir jelas tak susah bagi siapa pun
menyebut contoh dari risiko yang berkembang di masing-masing kelompok itu.
Risiko tersebut, apakah di
bidang ekonomi, seperti fluktuasi harga komoditas, atau sosial, seperti
ketimpangan pendapatan yang meningkat, atau geopolitik, seperti pertikaian di
berbagai kawasan dan kompetisi pengaruh antarnegara adikuasa, maupun bencana
alam karena perubahan iklim, terorisme, dan kejahatan siber (cybercrimes), semuanya merupakan
risiko yang harus dihadapi setiap perekonomian. Dan, masih ada lagi
ketidakpastian yang berada di luar risiko, bahkan yang sangat jarang terjadi:
tail risks atau black swans.
Ketidakpastian adalah sesuatu
yang manusia-dengan bantuan ilmu pengetahuan apa pun-tidak tahu. Dalam ilmu
ekonomi, Keynes yang selain bapak ekonomi makro juga ahli statistik
probabilitas, menekankan bahwa dalam hal ketidakpastian kita tidak tahu,
titik. Hanya mereka yang takabur (hubris) berpendapat bahwa semua itu adalah
risiko yang dapat diperhitungkan dan dikelola dan tak mengakui adanya
ketidakpastian atau bahwa ketakpastian itu dapat dikelola.
Krisis keuangan yang setiap
kali melanda perekonomian, apakah krisis ekonomi-keuangan Asia tahun
1997/1998, krisis pinjaman hipotek bawah standar (subprime mortgage loans crisis) 2006, krisis keuangan dunia (global financial crisis) 2007/2008,
krisis utang Eropa 2010-2012 maupun resesi berkepanjangan dunia (the great recession), bahkan
krisis-krisis sebelumnya, pada dasarnya merupakan akibat ketidakberhasilan
negara-negara melaksanakan pengelolaan risiko dan ketidakpastian.
Di bidang keuangan-perbankan
akhir-akhir ini orang bahkan tidak hanya berbicara tentang risiko, tetapi
ditambah berbagai komplikasi lain dikenal sebagai VUCA; volatility,
uncertainty, complexity and ambiguity. Jadi, lengkaplah masalah-masalah yang
menjadi tantangan setiap negara dalam pengelolaan ekonomi nasionalnya.
Semua masalah dan tantangan
ataupun peluang ini akhirnya terpulang kepada para pemangku kepentingan
(stakeholders): otoritas penentu kebijakan, pelaku pasar maupun masyarakat
luas sebagai konsumen dan produsen. Namun, ujungnya sampai kepada ilmu
ekonomi yang mendasari konsep dengan analisis, pendekatan dan teori dengan
para ekonom yang menganutnya dalam menjalankan kegiatan ekonomi mereka. Dan,
akhirnya kepada pendidikan ekonomi yang mencetak para pelaku ekonomi tersebut
sebagai homo economicus dan sebagai ekonom.
Prof Paul Krugman tahun 2009
menulis di New York Times, mengkritik terjadinya krisis pinjaman hipotek
bawah standar AS yang berkembang menjadi krisis keuangan dunia. Kritiknya
ditujukan kepada pendekatan ekonomi yang menjadi dasar kebijakan dan ekonom
yang menganutnya. Judul tulisan Krugman jelas menggambarkan kritik tersebut, “How Did Economists Get It So Wrong?”
Akan tetapi, banyak kritik lain
yang senada dengan tulisan tersebut dan menilai krisis keuangan dunia itu
merupakan akibat dari kepercayaan yang tidak rasional terhadap bekerjanya
mekanisme pasar dalam apa yang dikenal sebagai effective market hypothesis
(EMH).
Mekanisme pasar yang dibiarkan
berjalan tanpa intervensi akan selalu menghasilkan solusi, ekuilibrium yang
stabil, inilah adagium yang dirumuskan oleh Profesor Eugene Fama dari
University of Chicago. Teori ini cukup lama diterima sebagai mantra
penyelenggaraan perekonomian di banyak negara di dunia. Karena itu, George
Soros menyebutkannya sebagai fundamentalisme pasar (market fundamentalism).
Hipotesis dan teori dipercaya,
bukan lagi sebagai alat untuk analisis, tetapi menjadi semacam kepercayaan
(faith). Di Indonesia, 20 tahun setelah krisis 1997/1998 masih ada yang
mengritik kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk mengatasi
krisis perbankan sebagai salah, tanpa menggunakan analisis yang jelas apalagi
menunjukkan alternatifnya.
Akan tetapi, sebetulnya ilmu
ekonomi tidak pernah lepas dari perubahan, kritik, dan penyesuaian. Apa yang
dirumuskan Keynes dalam buku General Theory disebutkan sebagai Keynesian
Revolution terhadap teori yang ada waktu itu. Teori Ekonomi Klasik waktu itu
tidak mampu menjelaskan apa dan mengapa terjadi depresi dalam perekonomian
dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi, karena menurut teori yang ada
tingkat pengangguran sedemikian tidak dimungkinkan.
Kalau menjelaskan yang terjadi
saja tidak mampu, bagaimana mungkin memberi jalan penyelesaian masalah yang
dihadapi? Karena itu, Teori Ekonomi Klasik kemudian diganti dengan Teori
Ekonomi Keynes.
Akan tetapi, proses demikian
terus terjadi, suatu teori atau pendekatan yang mampu menjadi alat analisis
dan arah kebijakan kalau berjalan cukup lama dapat berubah menjadi
conventional wisdom. Teori tersebut menjadi ortodoks, diterima semua tanpa
mengkritisi, seperti suatu kepercayaan. Padahal, teori tersebut menjadi
tumpul, tak dapat membaca paradigma yang berubah. Karena itu, timbul teori
dan pendekatan baru, menggantikan yang lama sampai terjadi siklus baru.
Ekonom teknisi dan ekonom ilmuwan
Profesor Gregory Mankiw dari
Harvard University pada 2006 membuat tulisan yang relevan untuk kita gunakan
sebagai acuan guna menjawab tantangan pendidikan tinggi ekonomi dewasa ini.
Tulisan “Macroeconomist as Technician and Scientist” itu menekankan bahwa
pendidikan ekonomi diselenggarakan untuk mencetak engineering economist,
ekonom teknisi yang orientasinya kepada menyelesaikan masalah dan scientist
economist, ekonom ilmuwan yang mengembangkan peralatan analisis dan menyusun
prinsip teori untuk menjelaskan masalah (what is). Jadi, pendidikan tinggi
ekonomi juga punya tugas ganda sebagaimana Profesor Sudaryono menekankan.
Pendidikan ekonomi harus
memperhatikan dinamisme unsur-unsur yang menjadi tantangan dan peluang
ekonomi agar ekonom yang dihasilkan, baik teknisi atau perakit maupun
ilmuwan. Ekonom teknisi harus mampu membuat solusi masalah yang terkait
dengan VUCA, fenomena yang harus dihadapi dewasa ini. Ekonom ilmuwan harus
dapat menjelaskan, menganalisis dengan teori dan peranti analisis yang tepat,
mengubah tantangan menjadi peluang.
Baik ekonom sebagai teknisi
atau perakit, apalagi sebagai ilmuwan, harus mampu menghadapi dinamisme luar
biasa dari perkembangan teknologi yang berkembang, yakni apa yang dikenal
sebagai revolusi industri keempat-kemajuan teknologi informasi (IT),
kecerdasan artifisial/artificial intelligence (AI), gene editing, autonomous
vehicles-setelah revolusi industri pertama (tenaga uap), kedua (listrik), dan
ketiga (elektronik).
Dalam bidang keuangan-perbankan
dan perdagangan, semua menyaksikan kian meluasnya transaksi yang tidak
menggunakan uang (cash-less) karena Alipay dan sejenisnya, transaksi online
yang menjadikan bisnis eceran dan shopping mall kurang relevan-dan
perkembangan serupa akan mengurangi kesempatan kerja di bidang-bidang
tersebut.
Berbagai perkiraan menyebutkan
dalam 50 tahun kebanyakan pekerjaan yang dewasa ini dilakukan manusia akan
diganti dengan robot atau komputer. Jadi, bahkan untuk mencetak sarjana
perakit akan terjadi tantangan baru karena menyurutnya permintaan terhadap
mereka maupun timbulnya permintaan terhadap perakit atau teknisi baru yang
berbeda dari sebelumnya.
Apakah pendidikan tinggi
ekonomi akan menjadi tak relevan lagi? Betapapun berat dan besar tantangan
itu, buat orang seperti saya yang tak pernah meninggalkan keterlibatan dalam
pendidikan tinggi ekonomi sampai sekarang-meskipun banyak berkelana dalam
pekerjaan-jawabannya tak bisa lain, dengan konsisten memegang misi pendidikan
tinggi ekonomi menghasilkan ekonom teknisi dan ekonom ilmuwan. Pendidikan
tinggi ekonomi akan tetap relevan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar