Jumat, 03 November 2017

Setelah Lima Abad Reformasi Protestan

Setelah Lima Abad Reformasi Protestan
Martin Lukito Sinaga  ;   Pernah Bekerja di Federasi Dunia Gereja-gereja Lutheran (2009-2012); Kini Tenaga Ahli di UKP-Pancasila
                                                    KOMPAS, 02 November 2017



                                                           
Di tengah krisis politik yang bisa berakibat kejatuhan jabatan presidennya, Sukarno pada 15 Januari 1966 mengucapkan pidato di sidang kabinet.

Pidato itu, antara lain, berisi sikap tegar Sukarno di tengah krisis akibat banyaknya demonstrasi dan tekanan kepadanya. Katanya, ”Saya Sukarno, Pemimpin Besar Revolusi. Sebagaimana Martin Luther katakan di gereja Wittenberg, saya pun berkata, ’Di sini saya berdiri, saya tak bisa berbuat lain’.”

Reformasi Protestan yang pada 31 Oktober 2017 berusia 500 tahun bermula dari pencanangan 95 dalil pada 31 Oktober 1517 oleh Martin Luther di pintu gereja kota Wittenberg, Jerman. Dalil itu berisikan posisi teologisnya yang menolak sejumlah keputusan Gereja Katolik Roma kala itu.

Luther pun didera banyak tekanan, antara lain pencopotan statusnya selaku imam. Bahkan, ia divonis sesat dalam peradilan agama saat itu. Atas semua itu, ia terutama mengandalkan diri pada dalil dan tafsir alkitabiahnya dan saat berada dalam krisis, ia pun hanya bisa berkata, seperti yang dikutip Sukarno, ”Hier steh’ich, Ich kann nicht anders!”

Dengan ekspresi sedemikian khas itu dapat kita rasakan konsekuensi penting Reformasi Protestan bagi penghayatan agama Kristen: kini ajaran agama perlu dihubungkan dengan situasi pribadi penganutnya, religiositas akan berkembang jika secara kritis diuji dan keberimanan akan menjadi lenting justru kalau dihayati dalam krisis kehidupan.

Krisis iman

Sejarawan Katolik Eddy Kristiyanto (2017) secara tepat mengatakan bahwa krisis iman yang dilalui Luther terkait erat dengan penolakannya pada doktrin yang melatari praksis ”indulgensi”. Gereja Katolik yang ia cintai, yang karena itu ia jadi biarawan, dirasakan Luther telah mengkhianati pesan Injil tentang rahmat. Surat indulgensi adalah sebentuk korupsi rohani sebab dengan menjual surat penghapusan dosa, umat diiming-imingi keselamatan di akhirat. Ungkapan seorang anggota Ordo Dominikan, Johan Tetzel, mencerminkan muslihat agama itu, ”begitu koin Anda masuk ke dalam kotak sumbangan ini, jiwa-jiwa mereka yang mati akan meloncat masuk surga”. Surga telah dikomodifikasi di tengah masyarakat yang diteror neraka pada abad-abad yang disebut gelap itu. Karena inilah Luther mengalami krisis kepercayaan sehingga hidup membiaranya dipenuhi dengan pertanyaan bagaimana cara agar ia bertemu dengan Allah penuh rahmat itu.

Buku saku karya Luther, On Christian Liberty (1520), mencoba menyederhanakan perlawanan doktrin di balik jual-beli indulgensi itu. Perlawanan Luther ini ia mulai sejak ia menemukan pesan Injil tentang iman yang menyelamatkan. Bukan perbuatan membeli indulgensi atau perbuatan saleh lainnya yang menyelamatkan manusia. Melalui iman, manusia bisa menerima rahmat ilahi yang membebaskan jiwa manusia dari ketakutannya atau ketaklayakannya di hadapan Allah. Di hadapan Allah, manusia hanya bisa memercayakan dirinya tanpa transaksi atau reserve apa pun. Allah membenarkan manusia, dalam arti Ia akan memvonis bebas dan menerima manusia tanpa syarat. Maka bukan ketakutan akan hukuman neraka lagi yang jadi inti hidup beragama, melainkan rasa syukur yang diungkapkan dengan berbuat baik kepada sesama.

Ajaran yang cukup sederhana ini sesungguhnya telah mengu- bah sikap umat atas otoritas agama, yang tak lagi bisa secara tak semena-mena diterapkan sebab kebebasan iman tadi telah menjadikan setiap pribadi setara di hadapan Tuhan. Gereja atau pemimpin agama tak lagi dipahami sebagai pemilik istimewa anugerah pengampunan sebab kini anugerah telah turah ke setiap insan yang percaya.

Akibat lanjutan dari kebebasan iman ini terjadilah apa yang disebut St Agustinus bahwa in the inward man dwells truth. Manusia menjadi subyek atas narasi agama yang didengarnya setelah ia menafsirkannya dan menghayatinya. Lalu proses komunikasi akan kebenaran yang telah ditafsirkan pribadi masing-masing itu menciptakan sirkulasi perca- kapan, yang adalah sebentuk proses awal emansipasi sosial. Di sinilah realitas dan keberlangsungan masyarakat itu terjadi, lahir dalam sebentuk ruang publik, bukan dibentuk hierarki agama atau kekuasaan raja. Dengan adanya realitas sosial yang berbentuk sirkulasi percakapan atau opini itu, dengannya kebebasan sipil pun mulai muncul sebagai tuntutan umum yang lantas menjadi ketetapan sosial.

Menurut catatan sejarawan Diarmaid MacCulloch (2004), dengan terbukanya sirkulasi dan majemuknya tafsir atas Alkitab, perlahan hilanglah dakwaan penistaan agama. Dicatatnya pembakaran hidup-hidup atas penista ajaran Trinitas di Inggris berakhir pada 1612. Dan, pada 1597, Anneke van den Hove menjadi perempuan terakhir yang dikubur hidup-hidup di Belanda karena ketahuan anggota sekte terlarang bernama Anabaptis.

Dengan demikian, toleransi agama dapat dikatakan sebagai buah utama Reformasi Protestan yang secara sosial dapat dinikmati luas oleh masyarakat majemuk. Kita lantas bertemu dengan tulisan filsuf Protestan yang karyanya bahkan sampai saat ini dibaca: John Locke, yang menulis buku utama ihwal toleransi itu.

Masyarakat majemuk

Reformasi selanjutnya memengaruhi realitas sosial dunia modern, khususnya dengan pembentukan institusi agama yang mandiri dan dibedakan dari institusi sosial lain, juga dengan institusi negara. Untuk itu Luther melahirkan ajaran dua kerajaan: kerajaan rohani atau gereja yang di dalamnya Injil dimuliakan sebagai sumber kebenaran vis a vis kerajaan duniawi yang memuliakan hukum sebagai sumber kekuasaan. Luther di sini sebenarnya ingin tersedia ruang bebas, tak saja bagi iman, tetapi juga bagi ekspresi sosial agama.

Dengan pembedaan atau bahkan pemisahan institusi-institusi sosial di atas, memang Eropa perlahan masuk era pasca-Kristen ataupun pasca-christendom. Ini kian nyata ketika Perjanjian Westphalia ditandatangani pada 1648 mengakhiri perang-perang yang melibatkan gereja yang lantas ditutup dengan perjanjian toleransi Ausgburg pada 1555. Dengan proses ini semua, berbagai aliran dan keyakinan agama masuk. Mulailah masyarakat majemuk terbentuk selaku inti kehidupan sosial.

Selanjutnya merasuklah leluasa ke tengah masyarakat unsur-unsur humanisme yang secara mendalam memperkenalkan studi kritis atas dokumen-dokumen klasik Yunani. Pendekatan filologis yang dibawa kelompok ini telah pula diserap para sarjana Alkitab di kampus-kampus, yang membawa suatu fase tiada banding dalam sejarah studi agama. Mulailah disadari bahwa Alkitab adalah dokumen yang punya kaitan kontekstual dengan teks di sekitarnya, sekalipun teks itu milik agama yang bukan-Kristen. Kisah penciptaan dunia dalam Alkitab, misalnya, tak bisa dipahami tanpa membaca dokumen tentang kosmologi bangsa Babilonia.

Kini kritik sastra atas Kitab Suci telah standar hampir di semua lembaga studi teologi Kristen dan ini secara tak langsung bersesuaian dengan etos dunia majemuk yang tak lagi bekerja dengan pendakuan mutlak atas sumber keberagamaannya.

Secara umum tepat bila reformasi dilihat sebagai jalan terbaik yang ditempuh agama dalam ikhtiar pembaruan diri dan masyarakatnya, bukan revolusi. Dengan reformasi, baik gereja Protestan dan Katolik menemukan titik bersama memperbarui, baik teologi maupun kelembagaannya. Tak ada yang menang ataupun kalah di sini dan tak ada lagi yang merasa benar dan salah, serta posisi itu boleh disebut sebagai persembahan terbaik kepada sejarah agama dari gereja Katolik dan Protestan.

Bahkan, titik konflik teologis utama kedua ”agama” ini, yaitu ajaran tentang justification by faith telah pula menemukan tafsir terbukanya. Pada 1999, Federasi Gereja Lutheran Sedunia dan Komisi Kepausan untuk Keesaan Gereja telah turut menandatangani ”deklarasi bersama tentang ajaran pembenaran oleh iman” sehingga tak ada lagi alasan untuk saling mencerca saat ini.

Dengan itu semua, setiap pernyataan atau narasi agama kini menjadi peristiwa hermeneutik sehingga tak perlu wacana kalah menang atau serba merasa dinista terjadi di wilayah agama dan ruang publik. Kehidupan majemuk dengan tafsir terbuka dan kritis di atas bolehlah kita anggap sebagai makna atau persembahan terbaik 500 Tahun Reformasi Protestan bagi agama-agama, juga bagi masyarakat dunia dan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar