Saudara
dan Persaudaraan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 03 November 2017
ORANG Inggris punya ungkapan, It is a chance, not by choice, that makes
you a brother or sister. But it is heart, by choice and effort, that makes a
brotherhood and sisterhood. Karena ikatan darah (blood line) maka Anda memiliki saudara, namun tak jaminan antara
sesama saudara terbangun persaudaraan.
Dulu Nabi Yusuf pernah dilempar
ke sumur oleh saudara-saudaranya karena dengki dan cemburu, namun Tuhan
menyelamatkan, bahkan akhirnya Yusuf jadi penguasa di Mesir dan memaafkan
kejahatan saudara-saudara sekandungnya. Jika ditarik ke belakang lagi, anak Adam
juga terlibat pertengkaran sampai pada pembunuhan, antara Kabil dan Habil.
Kisah serupa telah memberikan
pelajaran kepada kita bahwa hubungan darah seayah-seibu pun tidak jaminan
menciptakan persaudaraan dan kerukunan antara mereka. Sampai-sampai muncul
istilah family quarrel,
pertengkaran antarkeluarga. Dalam kajian teologi, family quarrel itu juga terjadi pada pemeluk rumpun agama
anak-cucu Ibrahim, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Mereka mempertengkarkan truth claim, agama siapakah yang
paling benar di mata Tuhan. Mereka bertengkar, pemeluk agama mana yang berhak
masuk surga, bahkan sampai kafir-mengafirkan yang berujung pada pertumpahan
darah.
Di lingkungan istana, cerita
pertengkaran keluarga ini tidak aneh. Keturunan raja sering terlibat perseteruan
karena berebut jabatan, fasilitas, dan warisan. Yang fenomenal adalah berebut
posisi sebagai putra mahkota.
Jalinan persaudaraan terbentuk
karena berbagai faktor. Bagi para perantau, jika di tempat barunya bertemu
orang sedaerah dan sesuku sering kali menjadi akrab melebihi saudara sendiri.
Terlebih jika bertemunya di luar negeri maka rasa persaudaraan bisa lebih
kental lagi.
Mengapa? Karena seseorang di
rantau kadang merasa kesepian, tidak memiliki teman dekat. Lebih dari itu,
sesungguhnya jika seseorang mendapatkan kesulitan, yang paling dekat untuk
dimintai pertolongan, atau yang segera bisa menolong, adalah tetangga dan
teman terdekat, bukannya saudara kandung yang tinggalnya berjauhan. Meskipun
saudara sekandung, jika tinggalnya berjauhan maka sulit memberikan
pertolongan segera.
Ada lagi ikatan keagamaan.
Akhir-akhir ini muncul kelompok pengajian yang eksklusif, ikatannya melebihi
ikatan keluarga. Sosok guru dan ajarannya menjadi figur sentral yang
menyatukan murid-muridnya.
Bahkan, ada yang rela
meninggalkan keluarga besarnya karena beda paham dan keyakinan agamanya. Di
antara mereka pun memiliki sebutan khas, “akhi” dan “ukhti”, saudara laki dan
saudara perempuan seakidah.
Ada persaudaraan lain yang
mungkin kontraktual, yaitu saudara seorganisasi dan separtai. Mereka
disatukan oleh kepentingan politik sesaat. Tapi ketika agenda kepentingannya
berubah dan berbeda, persaudaraan pun buyar.
Belakangan ini juga muncul
persaudaraan baru, antara lain persaudaraan karena kesamaan dan ikatan
profesi serta persaudaraan yang tumbuh dan terbina karena sesama satu
almamater. Persaudaraan ini lalu membentuk komunitas digital dalam dunia
maya. Setiap hari bertegur sapa, berbagi cerita, dan gosip melalui WhatsApp
Group (WAG). Sekali-sekali mereka bertemu mengadakan kopi darat (kopdar),
tidak hanya berceloteh di udara terus.
Tidak mudah, memang, untuk
membangun persaudaraan yang solid dan kekal, baik berdasarkan hubungan darah
maupun berangkat dari perkenalan dan pertemanan. Meskipun penduduk bumi sudah
mencapai 6 miliar, penduduk Indonesia 240 juta, yang namanya sahabat sejati
tidaklah banyak.
Pepatah lama mengatakan,
temanmu yang sejati adalah yang mau ikut menangis bersamamu, bukan yang
mendekat saat engkau tertawa gembira. Teman yang seperti inilah kadang
kedekatannya melebihi saudara.
Biasanya persaudaraan rusak
jika sudah melibatkan kalkulasi untung-rugi, semangatnya mengambil, bukan
memberi. Padahal, kalau saja sikap dasarnya saling memberi, berbuat ihsan,
pada akhirnya justru akan lebih enak dan menguntungkan, saling memperoleh apa
yang diharapkan dari teman tanpa harus meminta. Karena teman yang baik akan
punya sikap empati yang tinggi, menawarkan pertolongan tanpa harus dijemput
dengan permintaan.
Dalam masyarakat yang lebih mendahulukan
“aku”, bukannya “kami” dan “kita”, yang egoistis-individualistis,
persaudaraan yang solid dan tulus, rasanya semakin langka. Dulu persaudaraan
yang terbentuk di dunia pesantren tumbuh dan solid. Namun, belakangan ini
mungkin sudah mulai mengendur. Pilihan politik dan mazhab keagamaan pun
adakalanya bisa merusak persaudaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar