Kamis, 02 November 2017

Perlindungan Konsumen di Era Jokowi

Perlindungan Konsumen di Era Jokowi
Tulus Abadi  ;   Ketua Pengurus Harian YLKI
                                              KORAN SINDO, 01 November 2017



                                                           
RODA pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak terasa memasuki tahun ketiga. Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi pun kian membaik. Oleh karena itu, performa dan kinerja Presiden Joko Widodo dengan segala "ingar bingarnya" layak diberikan apresiasi. Bentuk apresiasi kepada Presiden Jokowi bukan semata berupa puja dan puji "ABS" (asal bapak senang), tapi juga segumpal kritik yang membangun pun merupakan apresiasi.

Dalam konteks pemenuhan hak-hak publik dan perlindungan konsumen, ada beberapa isu krusial yang perlu disorot. Pertama, stabilitas pasokan dan harga pangan. Untuk menjaga stabilitas pasokan komoditas pangan, Presiden Jokowi menggunakan "jurus lama" sebagaimana pemerintahan sebelumnya, yakni membuka keran impor. Impor pangan sejatinya merupakan bentuk ingkar janji saat kampanye capres.

Memang secara empiris, impor pangan bertujuan mengendalikan harga pangan yang masih diwarnai gejolak, terutama harga-harga beras dan daging sapi. Hasilnya, harga beras relatif terkendali, yakni di kisaran Rp8.000-9.000. Namun, harga daging sapi masih mencekik leher, padahal titah Sang Presiden adalah Rp80.000 per kg. Faktanya, sampai detik ini harga daging sapi masih bertengger di kisaran harga Rp120 ribuan per kg.

Malah komoditas pangan lain, seperti cabai rawit dan garam ikut melambung. Harga cabai rawit sempat menyundul Rp120.000 per kg dan harga garam melangit hingga 300% dari harga semula. Fenomena ini menandakan ketahanan pangan di era Jokowi masih rentan, karena masih bergantung pada impor (beras dan daging sapi). Kedaulatan pangan pun masih menjadi mimpi.

Kedua, kebijakan harga energi, khususnya harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Rezim Jokowi seolah menerima durian runtuh terkait turunnya harga minyak mentah dunia. Runtuhnya harga minyak mentah dunia berdampak signifikan keluarnya devisa untuk impor BBM. Mengingat lebih dari 50% kebutuhan BBM nasional adalah berasal dari impor. Turunnya harga minyak mentah dunia berdampak terhadap turunnya subsidi BBM secara signifikan. Jokowi tak perlu pusing menaikkan harga BBM sebagaimana Presiden SBY.

Namun di sisi lain, ambruknya harga minyak mentah sejatinya merupakan petaka bagi PT Pertamina, nett profit  PT Pertamina nyaris kolaps, walau tak separah perusahaan minyak multinasional yang mengalami bleeding serius. Turunnya harga minyak mentah dunia pun berimplikasi terhadap harga BBM dan tarif dasar listrik. Sejak era Jokowi, diberlakukanlah harga BBM dan tarif listrik berdasar keekonomiannya, yakni tarif/harga yang mendasarkan pada harga minyak mentah dunia, kurs rupiah terhadap dolar Amerika dan laju inflasi.

Harga/tarif keekonomiannya pada hakikatnya adalah kebijakan berorientasi pada mekanisme pasar yang secara konstitusional dilarang. Benar, UU tentang Energi mengamanatkan bahwa harga komoditas energi adalah berdasar harga keekonomiannya. Namun, bukan berarti 100% berbasis market mechanism tanpa intervensi negara sama sekali. 

Ketiga, soal daya beli konsumen. Penjualan di level peritel menurut data mengalami penurunan yang menurut APRINDO mencapai 15-20%. Menurunnya penjualan sama artinya dengan turunnya daya beli konsumen. Pemerintah menolak tudingan jika turunnya omzet penjualan disebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Bagi pemerintah, menurunnya omzet penjualan di peritel modern karena kalah bersaing dengan e-commerce.

Bisa jadi pemerintah benar bahwa saat ini ada fenomena baru dalam berbelanja yang berbasis daring (online). Tetapi faktanya, kontribusi perdagangan online pada sektor ritel masih sangat kecil, hanya 3,1% saja (2017). Dengan demikian yang menggerus penjualan di peritel modern bukan karena perdagangan online. Apalagi pengakuan turunnya omzet penjualan bukan hanya dari peritel modern, tetapi juga dialami kalangan pasar tradisional.

Belum lagi ditandai dengan tutupnya beberapa gerai peritel modern, seperti Seven Eleven dan Lotus. Kondisi melesunya daya beli, menurut para pengamat ekonomi, dipicu oleh kebijakan Presiden Jokowi yang "terlalu bernafsu" memutar uang APBN untuk pembangunan infrastruktur. Jalan Tol Trans Jawa, Jalan Tol Trans Sumatera, LRT, pembangkit listrik 35.000 MW, adalah beberapa contoh megaproyek infrastruktur yang sangat rakus anggaran.

Keempat, kasus calon jamaah umrah. Akhir tahun ini publik dihebohkan dengan menyeruaknya kasus umrah murah yang menelan puluhan ribu korban, yakni biro umrah First Travel. Total korban tak kurang dari 62 ribuan dengan kerugian berkisar Rp532 miliar. Dalam kasus umrah YLKI menerima 22.635 pengaduan dari enam biro umrah.

Maraknya kasus umrah karena lemahnya pengawasan Kementerian Agama (Kemenag). Kemenag hanya getol memberikan izin operasional, tapi letoy  dengan pengawasannya. Masifnya korban umrah bermasalah adalah bukti nyata gagalnya Kemenag sebagai regulator. Sampai detik ini korban umrah tak bisa menuntut apa pun dan Kemenag pun membisu seribu bahasa.

Kelima, kenaikan cukai rokok. Pada 2017, Menteri Keuangan menaikkan cukai rokok sebesar 10,04%. Besaran kenaikan ini mencerminkan Menkeu "gagal paham" dalam dua hal. Pertama, gagal memahami bahwa cukai adalah sin tax  (pajak dosa) dan gagal paham bahwa APBN defisit karena jebloknya pendapatan pajak. Menkeu juga gagal paham bahwa ambruknya finansial BPJS juga akibat konsumsi rokok.

Pada 2017 kerugian BPJS diprediksi mencapai Rp12 triliun atau naik signifikan dibanding kerugian pada 2016 yang mencapai Rp9 triliun. Kerugian itu karena dominannya penyakit degeneratif yang salah satu pemicu utamanya adalah perilaku konsumsi rokok. Dengan fenomena demikian, Menkeu seharusnya berani menaikkan cukai rokok secara progresif minimal 20%. Sebab kenaikan cukai 10,04% pada 2017 adalah suatu kemunduran, karena pada 2016 kenaikan cukai rokok mencapai 11,19%. Kenaikan cukai 10,04% tak berarti apa pun untuk mengendalikan/membatasi konsumsi rokok. 

Keenam, transportasi berbasis aplikasi (online). Selama tiga tahun terakhir, sektor transportasi di Indonesia dihebohkan dengan munculnya moda transportasi berbasis aplikasi (transportasi online), baik roda empat dan roda dua. Transportasi online disambut gembira oleh masyarakat karena memudahkan akses dan tarifnya relatif murah. Namun, timbul reaksi keras dari kubu transportasi konvensional karena terancam eksistensinya. Bahkan, hal ini menimbulkan konflik horizontal, beberapa nyawa melayang karenanya.

Fenomena ini terjadi karena lambannya respons pemerintah. Bahkan, Presiden Jokowi pun salah kaprah menyikapi transportasi online. Presiden menganggap transportasi online adalah usaha mikro. Loh. mikro yang mana sih, faktanya pemilik transportasi online adalah korporasi multinasional. Bahwa transportasi online adalah sebuah keniscayaan, tetapi jangan dibiarkan tanpa aturan. Di kota-kota lain besar dunia juga terjadi hal sama, taksi online tetap ada pengaturan tegas.

Presiden Joko Widodo dengan instrumen Nawacita sejatinya peta jalan yang komprehensif untuk menuju Indonesia lebih baik. Namun, dalam praktik tampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Bahkan dalam beberapa hal, banyak kebijakan secara ideologis bertabrakan dengan Nawacita. Contoh soal impor komoditas pangan, khususnya untuk beras dan daging sapi, jelas tidak sejalan dengan janji Nawacita. Demikian juga dengan menyerahkan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik pada mekanisme pasar, tentu tidak sejalan dengan Nawacita. Malah ironisnya, menjelang 2019, tampaknya kebijakan harga kembali ke era politisasi.

Sebagai contoh, Kementerian ESDM menyatakan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik tidak akan dinaikkan pada 2017. Padahal jika konsisten dengan mekanisme pasar, seharusnya harga bahan bakar minyak dan tarif listrik mengalami kenaikan pada 2017. Sebab harga minyak mentah dunia sudah menyundul USD50 per barel, sedangkan pagu di APBN hanya USD45 per barel.

Pada 2018 kondisinya akan makin dilematis. Harga minyak dunia diprediksi akan rebound  ke level lebih tinggi. Sementara pada 2018 sudah dinyatakan sebagai tahun politis. Artinya adalah tahun pencitraan, pendekatan populis, dan ending -nya menggelontorkan subsidi. Akankah Presiden Jokowi mewariskan kebijakan yang berbasis pencitraan belaka?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar