Kamis, 02 November 2017

Penyadapan Tanpa Seizin Hakim

Penyadapan Tanpa Seizin Hakim
Rooseno  ;   Peneliti Hukum dan Hak Asasi Manusia
Balitbangkumham Kemenkumham
                                                    KOMPAS, 01 November 2017



                                                           
Salah satu anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP—juga anggota Pansus KPK, Arsul Sani—mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan RUU Penyadapan. Usulan ini muncul karena aturan penyadapan di setiap lembaga penegak hukum berbeda satu sama lain.

Mengenai substansinya dikehendaki bahwa ”RUU Penyadapan berlaku terhadap semua lembaga penegak hukum, tidak ada lex specialis,  dan setiap lembaga penegak hukum wajib izin ke pengadilan, termasuk KPK”. Mungkinkah menyadap tanpa seizin hakim? Apa alasannya? Bagaimana dengan hak asasi manusia orang yang disadap?

Pada dasarnya hak asasi manusia (HAM) ada dua sifat. Pertama, non derogable rights, yaitu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (vide UUD 1945 Pasal 28I Ayat 1). Kedua, derogable rights, yaitu HAM yang dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk dalam hal ini ”kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat—termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik—tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (vide UU No 39/1999 Pasal 32, juga International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR Article 17 Ayat 1).

Menyadap tanpa seizin hakim adalah ”mengurangi hubungan komunikasi”. Mungkinkah? Menurut Siracusa Principles, ”Negara pihak dapat mengambil langkah-langkah pengurangan hanya apabila menghadapi situasi bahaya yang luar biasa dan aktual atau bahaya yang bersifat segera yang mengancam kehidupan bangsa.” Namun, dalam mengambil langkah-langkah pengurangan tersebut, ”tidak ada pembatasan yang ditetapkan secara sewenang-wenang”.

Selanjutnya, konsiderans menimbang Huruf b juncto Penjelasan Umum alinea 14 UU No 30/2002 akan terlihat ciri-ciri tindak pidana korupsi, yaitu (i) terjadi secara meluas, sistematis, meningkat, dan tidak terkendali; (ii) merugikan keuangan negara; (iii) melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas; (iv) membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional; serta (v) membawa bencana terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Selain dampaknya sangat merusak dan membahayakan kelangsungan keberadaan negara, menurut Muladi (Putusan MK No 006/PUU-I/2003 hal 55), korupsi menimbulkan bahaya terhadap human security. Misalnya masalah pendidikan, fungsi pelayanan sosial yang sangat tidak teratur, korupsi merusak mental pejabat publik dan mereka yang bekerja di dalam wilayah kepentingan umum. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Maka, dalam upaya pemberantasannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa dengan hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Kemudian, dalam prinsip utilitarianistik: dalam hal harus memilih antara nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan individu, maka harus dipilih nilai kepentingan umum sejauh hal itu sungguh-sungguh diperlukan untuk mewujudkan kepentingan umum.

Substansi penyadapan

Dengan demikian, penyadapan tanpa seizin hakim adalah dimungkinkan. Penyadapan tanpa seizin hakim tidak melarang setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Namun, karena penyadapan yang mengurangi/membatasi hak berkomunikasi melalui sarana elektronik itu dilakukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi, yang merupakan kejahatan luar biasa, guna menghormati HAM yang dikurangi/dibatasi tersebut, maka syarat-syarat dan tata cara tentang penyadapan tersebut harus ditetapkan dengan UU. Adapun substansi UU tentang Penyadapan (dan Merekam Pembicaraan) itu dirumuskan, antara lain mengenai: (i) siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan; (ii) penyadapan adalah perintah untuk mencari bukti permulaan yang cukup atau untuk melengkapi bukti yang sudah ada; (iii) tata cara penyadapan; (iv) prosedur standar operasi (SOP) keanggotaan Tim Pengawas Penyadapan (TPP); dan (v) sanksi.

Substansi angka (i) dan (ii) tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun, untuk mengatur tata cara penyadapan seyogianya secara mutatis mutandis ”mencontek” SOP penyadapan milik KPK, sedangkan SOP-nya dibuatkan yang baru. Untuk mengatur TPP yang bertujuan untuk menjaga akuntabilitas proses penyadapan, maka keanggotaan TPP harus merepresentasikan: (i) regulator (Kemenkominfo); (ii) operator (penyelenggara sistem elektronik); dan (iii) aktor (aparat penegak hukum).

Adapun untuk mengatur sanksi, jika hasil sadapan tidak menunjukkan adanya keterlibatan orang yang disadap (misalnya masalah tindak pidana korupsi), maka aktor dilarang menggunakan hasil penyadapan untuk kepentingan apa pun dan wajib untuk merahasiakannya. Jika hasil sadapan itu sampai diketahui oleh umum, maka aktor dapat dikualifikasikan melakukan pencemaran nama baik.

Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang sudah terukur dan teruji di Mahkamah Konstitusi. Sementara kejahatan luar biasa lain, seperti narkotika, terorisme, dan perdagangan manusia, perlu diukur melalui penelitian sehingga nantinya dapat digolongkan sebagai kejahatan luar biasa dan upaya pemberantasannya pun dituntut cara-cara yang luar biasa dengan hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus.

Dari segi teori criminal policy, yaitu usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, apakah dalam menanggulangi kejahatan luar biasa dilakukan dengan cara yang luar biasa, atau biasa-biasa saja? Itu sebuah pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar