”Paradise
Papers” dan Perpajakan
Adrianto Dwi Nugroho ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada;
Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia
|
KOMPAS,
14 November
2017
Sejak 6 November 2017,
pengungkapan praktik-praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang terhimpun
dalam ”Paradise Papers” mengisi laman situs International Consortium of
Investigative Journalists.
Fokus perhatian masyarakat
internasional tertuju pada tokoh-tokoh dunia dan perusahaan multinasional
yang diduga terlibat dalam skema-skema yang disusun oleh sebuah firma hukum
terkemuka berbasis di Bermuda untuk mengurangi beban pajak yang terutang.
Tiga indikasi kerapuhan sistem
Meski demikian, International
Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) tidak dapat memastikan bahwa
tokoh-tokoh yang diungkap pada ICIJ Offshore Leaks Database telah berbuat
curang atau bahkan melanggar hukum. Terlepas dari proses hukum yang akan
dilakukan negara-negara terhadap para tokoh dan perusahaan multinasional yang
terungkap dalam Paradise Papers, ada tiga indikasi kerapuhan sistem
perpajakan yang perlu diantisipasi oleh para pembuat kebijakan di bidang
perpajakan.
Pertama, penghindaran dan
pengelakan pajak tidak hanya dilakukan untuk mengurangi beban pajak langsung,
seperti Pajak Penghasilan (PPh), tetapi juga pajak tidak langsung, terutama
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam artikel ”Habits of the
Rich”, reporter ICIJ, Ryan Chittum dan Juliette Garside, melaporkan berita
tentang seorang pebalap ternama dunia yang diduga memperoleh restitusi PPN
sebesar 5,2 juta dollar AS untuk pembelian pesawat jet pribadi bernilai 27
juta dollar AS dari luar Uni Eropa (UE) dengan cara mengimpor pesawat
tersebut ke wilayah Isle of Man (IOM) melalui sebuah perusahaan cangkang.
Secara teknis, perusahaan cangkang yang tidak memiliki aktivitas itu
melakukan importasi dari perusahaan terafiliasi yang didirikan di British
Virgin Islands melalui perjanjian sewa-menyewa (leasing).
Hukum yang berlaku di IOM
memberi keleluasaan bagi otoritas pajak untuk memberikan restitusi PPN atas
importasi barang berdasarkan pertimbangan tertentu (Section 37 VAT Act 1996).
IOM juga memiliki perjanjian di bidang kepabeanan dan PPN dengan UE
(www.gov.im), khususnya terkait customs union. Kedua kerangka hukum ini
memungkinkan PPN yang telah dikenakan berdasarkan tarif normal 20 persen
(Section 2A VAT Act 1996) dikembalikan dan kewajiban PPN yang terutang dari
importasi pesawat tersebut dianggap telah terpenuhi di seluruh wilayah UE.
Kedua, domisili fiskal yang
menjadi dasar bagi suatu yurisdiksi untuk menerapkan kewajiban pajak penuh
(full tax liability) terhadap seorang wajib pajak terbukti dapat menjadi
celah untuk melakukan pengelakan pajak, khususnya PPh. Dalam sistem
pemungutan PPh, domisili fiskal sebuah wajib pajak badan ditentukan
berdasarkan tempat didirikannya perusahaan (place of incorporation, seperti
yang diterapkan di Amerika Serikat) atau tempat kedudukan manajemen efektif
(place of effective management, seperti yang diterapkan di Irlandia).
Pada artikel berjudul
”Sensitive Deals”, reporter ICIJ, Simon Bowers, mengangkat berita tentang
perusahaan teknologi multinasional X Inc yang diduga melakukan pengelakan
pajak dengan cara menghilangkan domisili fiskalnya sehingga tidak memiliki
kewajiban pajak di negara mana pun.
Berdasarkan laporan itu
diketahui bahwa X Incmenginkorporasikan tiga anak perusahaannya di Irlandia
dan memiliki tempat kedudukan manajemen efektif di kantor pusatnya di California.
Hasilnya, akumulasi pendapatan sebesar 137 miliar dollar AS yang dicatatkan
oleh ketiga anak perusahaan tersebut tidak dikenai pajak di negara mana pun.
Pada tahun 2014, dua dari tiga anak perusahaan tersebut selanjutnya
memindahkan domisili fiskalnya ke Jersey. Hasilnya, keuntungan yang dicatat
oleh entitas di Irlandia, sebagai entitas yang melakukan penjualan di seluruh
wilayah Eropa, dapat diteruskan ke entitas di Jersey yang memiliki tarif PPh
badan nol persen (www.gov.je).
Apabila laporan ini digabungkan
dengan hasil public hearing Senat Amerika Serikat pada 21 Mei 2013 (Offshore
Profit Shifting and the US Tax Code—Part 2) dan temuan Komisi Eropa yang
dipublikasikan pada 30 Agustus 2016 (press release IP16/2923), skema
penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan oleh X Inc tidak dapat
dilepaskan dari dua ketetapan pajak (tax ruling) yang diterbitkan oleh
otoritas pajak Irlandia. Dalam salah satu tax ruling tersebut, otoritas pajak
Irlandia menyetujui skema yang memungkinkan X Incmembayar pajak dengan tarif
efektif 0,005 persen dari total pendapatannya pada 2014.
Komisi Eropa mengklasifikasikan
tax ruling tersebut sebagai bantuan ilegal (illegal state aid) karena hanya
berlaku bagi entitas tertentu. Akibat bantuan ilegal yang dilakukannya, Irlandia
diwajibkan oleh Komisi Eropa untuk menagih pajak yang terutang sebesar € 13
juta dollar AS ditambah dengan bunga.
Ketiga, selain laba usaha,
perusahaan multinasional juga mengurangi beban pajaknya dengan cara
memproteksi aset tidak berwujud (intangible asset) dari pengenaan PPh.
Proteksi ini dilakukan dengan mengalokasikan kepemilikan hak kekayaan
intelektual kepada entitas yang berdomisili di negara yang memberikan konsesi
PPh untuk royalti. Masih dalam artikel yang mengupas praktik penghindaran dan
pengelakan pajak yang dilakukan oleh X Inc, Simon Bowers mengungkapkan bahwa
X Inctelah menjual kepemilikan intangible asset-nya dari entitas yang
berdomisili di Jersey ke entitas yang berdomisili di Irlandia dalam rangka
memanfaatkan insentif pajak yang diumumkan oleh otoritas pajak di Irlandia
pada tahun 2014.
Insentif tersebut membebaskan
pembelian intangible asset dari pengenaan PPh atas keuntungan karena
pengalihan harta (capital gain) dan memberikan capital allowance untuk biaya
yang dikeluarkan untuk pembelian aset tersebut (Section 291A of the Taxes
Consolidation Act 1997). Nilai intangible asset yang dialihkan oleh X Inc
dilaporkan lebih dari 200 miliar dollar AS sehingga jumlah modal yang masuk
ke Irlandia pada tahun tersebut mencapai 270 miliar dollar AS. Jumlah ini
mengangkat produk domestik bruto negara itu hingga 26 persen.
Pada artikelnya yang lain
berjudul ”Tax Maneuver”, Simon Bowers mengulas berita mengenai salah satu
perusahaan sepatu olahraga ternama yang menempatkan kepemilikan merek logonya
di entitas terafiliasi yang berlokasi di Bermuda, wilayah tidak berdaulat di
Samudra Atlantik, yang hingga tahun 2017 tidak memiliki rezim PPh badan
(Deloitte TTL: 2017). Skema ini juga melibatkan entitas penjualan yang
memiliki domisili fiskal di Belanda. Entitas inilah yang melakukan penjualan
dan memperoleh pendapatan dari seluruh wilayah Eropa. Perlu diketahui bahwa
Belanda tidak memotong PPh atas royalti yang dibayarkan dari sana (Deloitte
TTL: 2017).
Melalui skema ini, seluruh
royalti yang diterima entitas di Belanda dapat langsung diteruskan kepada
entitas pemegang merek di Bermuda. Hasilnya, laba yang terpupuk di Bermuda
hingga Juni 2014 mencapai 6 miliar dollar AS. Perusahaan multinasional
tersebut juga dilaporkan terus mendapatkan perlakuan pajak serupa dengan cara
mendirikan sebuah CV (commanditaire vennootschap) di Belanda, yang memiliki
sekutu di Bermuda. Sebelum 2016, PPh dikenakan terhadap orang pribadi yang
menjadi sekutu dari sebuah CV (PWC Netherlands: 2016).
Komitmen global
Berdasarkan paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa praktik penghindaran dan pengelakan pajak justru
disebabkan pelaksanaan kedaulatan pajak (tax sovereignty) yang melampaui
batas. Keleluasaan pemungutan pajak yang didelegasikan oleh peraturan
perundang-undangan seyogianya digunakan secara cermat dan penuh integritas
untuk menegakkan hukum pajak, dan bukan untuk mendukung penghindaran dan
pengelakan pajak yang dilakukan para pemodal besar.
Sementara itu, kekuasaan untuk
membentuk legislasi pajak sepatutnya digunakan untuk mempromosikan pemerataan
kemakmuran di seluruh negara di dunia, dan bukan untuk menciptakan kompetisi
yang tidak sehat demi memenuhi kebutuhan anggaran dalam negeri semata.
Kerapuhan sistem perpajakan internasional sebagaimana tecermin dalam skema-skema
penghindaran pajak di atas sesungguhnya telah banyak diantisipasi dalam
kerangka kerja sama global di bidang pertukaran informasi untuk kepentingan
perpajakan dan proyek base erosion and profit shifting.
Meski demikian, apabila narasi
yang didengungkan oleh negara-negara G-20 ini tidak diikuti dengan komitmen
untuk mengakhiri penghindaran dan pengelakan pajak, pengungkapan Panama
Papers pada tahun 2016 dan Paradise Paperspada tahun ini hanya akan menjadi
bagian dari rangkaian pembocoran informasi kejahatan pajak pada tahun-tahun
selanjutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar