NU
Kultural, FPI Struktural
Irfan L Sarhindi ; Pengasuh Salamul Falah;
Lulusan University College London; Associate Researcher pada Akar Rumput
Strategic Consulting
|
DETIKNEWS,
10 November
2017
Ketika diminta sharing hasil
riset tesis S-2 oleh PCINU UK, saya bilang bahwa ada kecenderungan dualisme
keanggotaan bagi sebagian warga nahdliyin, yaitu walau secara kultural mereka
NU, secara struktural mereka adalah frontliner FPI. Tak berapa lama, bisa
jadi berkaitan atau tidak, Savic Ali menulis status yang membantah asumsi
tersebut. Baginya, harakah dan manhaj berpikir NU berbeda dengan FPI,
sehingga dualisme demikian rasanya tidak mungkin. Argumennya dapat dipahami
mengingat di Jawa Timur, dikotomi NU dan FPI memang jelas dan eksplisit.
Ibarat kata: seperti dua arus laut yang tidak saling bercampur.
Tetapi dalam konteks saya
sebagai orang Sunda, eksplisitas dikotomi tersebut tidak selalu terjadi.
Dalam banyak hal, saya melihat dan mengamati adanya irisan identitas di
antara NU dan FPI. Dalam pada itu, saya harus membantah bahwa FPI 'dibentuk'
dan dipengaruhi oleh, terutama, Salafi Wahabi. Walau memang, Habib Rizieq
sebagai imam besarnya adalah jebolan kampus di Saudi Arabia sana.
Pertimbangan saya terletak, terutama, pada beberapa ritual peribadatan FPI
yang sebangun dengan ritual peribadatan di kalangan NU —wabil khusus NU
kultural. Misalnya, tradisi pembacaan ratiban, marhaba, ziarah, dan tradisi
penghormatan pada ahlul bait —para habib.
Dengan kesamaan demikian, saya
tiba pada kesimpulan bahwa jangan-jangan irisan identitas NU-FPI ini mirip
dengan irisan Muhammadiyah-PKS. Dugaan saya semakin terbukti ketika saya
pulang ke Indonesia, dan lazim menemui santri-santri di ponpes yang secara
kultur NU, tetapi mahabbah terhadap pergerakan FPI; mahabbah terhadap Habib
Rizieq. Lebih menarik lagi, fenomena tersebut bahkan terjadi di keluarga saya
sendiri, di keluarga besar pondok pesantren yang diwariskan kepada kami sejak
1894. Dalam suatu kesempatan perayaan haul kakek buyut kami, kiai yang
mengisi sesi mauidhah hasanah, alumni ponpes kami berkata bahwa dia adalah
"NU yang paling FPI", dan "FPI yang paling NU".
Fenomena ini tentu membawa kita
pada serangkaian asumsi yang perlu diuji. Pertama, mengenai corak identitas
ke-NU-an di Jawa Barat dan di Jawa Timur. Sebagai centre of excellence,
nuansa ke-NU-an di Jawa Timur rasanya lebih kental ketimbang Jawa Barat.
Diperkuat oleh dominasi ulama-ulama Jawa Timur dalam sejarah panjang
Nahdlatul Ulama di Indonesia. Kedua, boleh jadi ini, langsung atau tidak
langsung, berkait juga dengan kecenderungan Islam Jawa Barat yang lebih
konservatif. Walau, tentu saja, aktor penentunya bukan semata NU dan FPI
saja, tetapi juga corak identitas dan organisasi Islam yang lain.
Namun demikian, terlepas dari
itu semua, faktor-faktor apa sajakah kira-kira yang menyebabkan dualisme
keanggotaan model demikian? Padahal, harakah NU dan FPI jauh berbeda. NU
haqqul yaqin dengan pendekatan tawassuth, tawazun, tassammuh, i'tidal, dan
amar makruf nahi mungkar-nya. Di sisi lain, pendekatan-pendekatan tersebut
bagi FPI amat terlalu lunak dan berpotensi meruntuhkan marwah Islam—yang,
sebagaimana mereka yakini, sedang dihancurkan pemimpin zalim anti-Islam dan
negara-negara kafir. Lalu, apa sebab yang menyebabkan dua kutub ideologi yang
berbeda itu dapat muncul, menguat, dan diakomodasi dalam diri seorang Muslim?
Hipotesis pertama yang saya
tawarkan: tidak semua yang secara kultur 'adalah NU' merasa diri mereka
terafiliasi, dan/atau adalah bagian, dari NU sebagai organisasi, sebagai
jam'iyyah dan bukan sekadar jamaah. Akibatnya, mereka merasa tidak ada
masalah dengan ikut mendukung dan berkhidmat terhadap FPI. Saya misalnya,
baru menyadari bahwa saya 'NU' lepas umur 20 tahunan lebih. Sebelumnya, NU
sama sekali asing bagi saya kendati secara amal ubudiah saya ini NU sejak
lahir—dan nyaman dengan itu. Ketika menjadi pengurus PCINU UK, saya merasa
seperti anak hilang yang sedang berusaha mengenali (kembali) orangtua dan
rumahnya. Pertanyaannya kemudian: berapa banyak orang-orang semisal ini di
luar sana?
Tentu, penelitian menyeluruh
perlu dilakukan. Tetapi, sebelum itu, saya ingin mengajukan hipotesis kedua,
yaitu bahwa, taruhlah, mereka yang secara kultur 'adalah NU' ini merasa
bagian dari jamiyyah NU, tetapi mereka bisa jadi sama sekali atau setengah
mengerti akan harakat dan filsafat organisasi yang mereka ikuti tersebut.
Konsekuensinya, program dan kampanye pengurus NU kadang tidak mendapat
dukungan yang cukup dari mereka yang kultural, terlebih jika kemudian program
dan kampanye itu 'disituasikan' atau di-frame di media sebagai
"kontroversial". Misalnya, kampanye Islam Nusantara yang bahkan
urgensi dan instrumentalitasnya diragukan beberapa kiai 'NU' dan dianggap
sebagai agenda kaum liberal yang menyusup ke tubuh organisasi Islam terbesar
tersebut.
Terkait dengan ini, yang
menyebabkan dualisme keanggotaan itu boleh jadi adalah sifat pergerakan FPI
yang cenderung amat mudah dipahami dan diikuti, sedangkan siyasah NU kadang
tidak terlalu definitif dan eksplisit. Hipotesis ini saya lihat dari
perdebatan ihwal Ahok yang terjadi pada saat pelatihan bahstul masail PCNU
Cianjur di Cipanas. Dengan 'kepolosan' FPI inilah, kemudian, FPI menjadi
menarik bagi kalangan awam, yang kasarnya, lebih peduli pada ekspresi
patriotisme Islam, ketimbang filsafat ala mantiq dengan pendekatan ilmu
balaghah yang 'berat'.
Konsekuensi dari
hipotesis-hipotesis di atas, jika benar, adalah: pertama, boleh jadi jumlah
NU ternyata lebih sedikit daripada yang diklaimkan. Kedua, kerentanan
inflitrasi yang semakin dalam dari FPI, yang nantinya akan 'melemahkan' pola
gerak dan strategi NU. Kesemua itu, boleh jadi, juga turut diperparah dengan
kurang tersampaikannya standpoint harakah NU kepada mereka di tataran
grassroot. Jika demikian halnya, maka pertama, NU perlu mendorong
tersampaikannya visi, misi, program, dan amanat muktamar hingga ke
kantong-kantong terkecil baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks
ini saya menyambut gembira itikad NU membuat Majelis Kaderisasi Nahdlatul
Ulama.
Kedua, NU perlu membangun
komunikasi dan konsolidasi dengan mereka yang kultural. Setidak-tidaknya
membangun kesadaran dan rasa memiliki terhadap NU sebagai jamiyyah lengkap
dengan jihadnya. Dengan demikian, kampanye dakwah NU akan mendapatkan lebih
banyak dukungan dan sokongan. Tentu saja ini akan butuh waktu yang lama,
effort yang besar, dan biaya yang tidak sedikit mengingat besarnya NU itu
sendiri. Tetapi setiap ikhtiar perlu dicoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar