Rabu, 01 November 2017

Milenial dan Ke(tidak)tertarikan pada Politik

Milenial dan Ke(tidak)tertarikan pada Politik
Detti Febrina  ;   ”Islamic Women Leadership” Australian Award Indonesia 2017 Course Awardee
                                                   REPUBLIKA, 31 Oktober 2017



                                                           
Ini kejadian benar dari Kota Semarang. Dari 250 peserta pelatihan yang notabene genre milenial, bahkan kemungkinan generasi Z, saat ditanya cita-cita tak satupun yang mau jadi politisi.

Kata mereka politisi itu capek, banyak urusan, besar tanggungjawabnya, jarang kumpul keluarga. Dan satu dari mereka anak seorang politisi, berkata, "Biarkan ayahku saja yang merasakan hidup ndak normal."

Cerita ini tersaji di dinding media sosial Hadi Santoso, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, sekaligus Ketua Bidang Humas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah.

Mungkin itu sebabnya, lanjut Hadi, negara ini tak beres-beres; karena pemimpin atau politisi tidak menjadi profesi yang diingini. Para milenial tidak tahu bagaimana mempersiapkan diri menjadi politisi yang baik. Berbeda dengan dokter, pengacara, insinyur, pilot, psikolog. Mereka bisa menjelaskan dengan detail apa profesi itu, apa saja yang harus disiapkan untuk menjadi profesi itu.

Sketsa di atas mungkin belum cukup mewakili gambaran keseluruhan future job kids jaman now yang sekira usia 15-25 tahun ini. Maka, pertanyaan lanjutnya benarkah politisi bukan cita-cita yang diingini millennials? Benarkah anak-anak muda sekarang makin apolitis? Benarkah rentang peduli mereka pada problem publik, thus problem keumatan, makin pendek dan - mengutip salah satu istilah mereka sendiri: kian receh?

Lalu bagaimana menjelaskan fenomena Tsamara Amany Alatas yang sukses jadi pemanjat sosial notabene via jalur politik?

Saya juga diperjumpakan dengan Emilia Lisa Sterjova, legislator sebuah kota di Negara Bagian Victoria, Australia, yang terpilih saat berusia 19 tahun (undang-undang setempat mendorong kaum muda ikut menjadi councillor, anggota legislatif, dalam usia yang sangat muda: 18 tahun).

Atau yang lebih dekat, di Indonesia ada pimpinan DPRD Makassar Andi Rahmatika Dewi yang pertama terpilih sebagai legislator di usia 24 tahun?

Atau Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo, dilantik sebagai kepala daerah pada usia 33 tahun, menumbangkan rekor Gubernur termuda yang sebelumnya diampu Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (dilantik usia 36 tahun).

Ada pula Muhammad Syahrial yang dilantik menjadi Wali Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada usia 26 tahun.

[Diskusi kita mungkin bisa berlanjut kelak pada komparasi antar negara karena di Indonesia politisi muda yang sukses naik tampuk tampaknya harus punya sokongan dan latar belakang keluarga yang tidak biasa. Politisi muda dari kalangan rakyat jelata seperti Emilia di Australia, untuk Indonesia mungkin masih utopis saat ini]

Lalu benarkah tuduhan millennials dan gen Z hanyalah sekumpulan generasi 'nunduk' yang gila swafoto tapi ironisnya asosial, lazy, hello it's me, tak tahu sopan santun dan sulit menjadi agen perubahan?

Tidak adil menilai generasi ini hanya dari kacamata generasi tua karena setiap generasi punya miliu, value, dan tuntutannya sendiri-sendiri. CEB Iconoculture dalam laporannya tahun 2013 menguraikan perbedaan value yang digenggam masing-masing genre.

Boomers - yup, siapa saja yang usianya berawal atau lebih dari angka 4 - menganggap tinggi nilai keadilan (justice), integritas (integrity), kekeluargaan (family), kepraktisan (practicality), dan kewajiban (duty). Sedangkan millennials lebih memandang penting kebahagiaan (happiness), passion, keberagaman (diversity), berbagi (sharing), dan penemuan (discovery).

Lalu secara politis, tak adil pula menganalisis gen milenial dan gen Z hanya karena mereka dianggap penting dari sudut pandang pasar suara dalam industri politik. Amat sangat mungkin di tengah digital native ini ada yang bangkit kesadaran politiknya karena membaca bahaya buta politik Bertolt Brecht atau karena mereka sendiri memang sejatinya secara natural adalah generasi pendukung perubahan.

Suka tak suka akan ada di antara mereka yang menjadi pelaku-pelaku politik, baik sebagai pemilih, medioker, maupun politisi itu sendiri. Akan ada dari generasi mereka yang mengisi ceruk-ceruk pemimpin di segala level.

Millennials adalah mayoritas dalam angkatan kerja saat ini. Apa mungkin dunia politik luput dari fakta itu?

Lalu apa yang terjadi jika mereka tidak diberi bekal optimal agar tongkat estafet kebaikan bisa tetap berpindah di ranah politik yang telanjur dicap dusta dan nista ini? Jika para muda yang segar dan potensial acap dilihat sebagai pesaing bahkan musuh bagi genre yang menjelang senja atau usai usia?

Milenial itu bisa jadi anak-anak kita sendiri. Ataupun anak-anak zaman yang memang dititipkan kepada kita agar dibimbing dan didukung untuk tetap jadi orang baik, di segala bidang. Bahkan termasuk di kubangan politik.

Berbahaya meninggalkan mereka hanya dengan ambisi kuasa legislatif, eksekutif (maupun yudikatif, bahkan melampaui trias politica, ada pilar-pilar demokrasi yang lain seperti pers bebas dan kemerdekaan berserikat dan jangan lupakan ranah profesional), tapi generasi sebelum mereka juga tentunya harus meninggalkan warisan terbaik.

Millennials bahkan disebut oleh Brian Scudamore, CEO O2E Brands, sebagai generasi yang memiliki karakter kepemimpinan lebih kuat dari generasi-generasi sebelumnya. "Millennials lebih berani 'ask for help', nggak ragu untuk kerja keras, umumnya karakter pekerja tim, dan punya kekuatan empati," kata Scudamore yang notabene berasal dari generasi tua.

Sudah pula sering laporan hasil pertemuan World Economic Forum Januari 2016 itu dikutip. Betapa sepertiga (35 persen) skill yang di zaman sebelumnya dianggap penting akan termodifikasi atau hilang. "Critical thinking" dan "kreativitas" melesat di puncak tangga top 10 skills untuk tahun 2020. "Emotional intelligence" dan "fleksibilitas kognitif" meruyak jadi skill penting menggantikan "quality control" dan "mendengar aktif".

Maka jangan ragu lagi menggelar karpet warna neon tanda selamat datang dan selamat berkarya bagi para muda millennials dan generasi Z. Pergantian dan perubahan itu keniscyaan. Dan terlalu skeptis menganggap mereka abai politik.

Selamat berkhidmat, para politisi milenial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar