Senin, 13 November 2017

Memantik Kepahlawanan Bahasa Kita

Memantik Kepahlawanan Bahasa Kita
Maryanto ;  Pemerhati Politik Bahasa; Bekerja pada Badan Bahasa, Kemdikbud
                                                    KOMPAS, 11 November 2017



                                                           
Masih segar ingatan pada seruan Presiden Joko Widodo: ”Saya Indonesia; saya Pancasila.” Seruan Kepala Negara berikut ini juga perlu diingat-ingat: ”Jangan saling hujat, karena kita adalah saudara. Jangan saling menjelekkan, karena kita saudara. Jangan saling fitnah, karena kita saudara.” Seruan itu menengarai pentingnya bahasa Indonesia ke depan untuk mencegah retaknya persatuan bangsa akibat penyalahgunaan bahasa oleh penutur yang tidak berbahasa secara apik dan santun.

Dari Kementerian Sosial, untuk peringatan Hari Pahlawan 10 November 2017 ini diangkat tema, ”Perkokoh Persatuan Membangun Negeri”. Sementara dalam upacara peringatan 89 tahun Sumpah Pemuda yang baru lalu, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyerukan, ”Pemuda Indonesia berani bersatu.” Jika dipertukarkan seruan Presiden, Menteri Sosial, dan Menpora, tentu memiliki kaitan satu sama lain alias setali tiga uang.

Masih dipunggungi

Sudah begitu ramai diskursus yang memantik persatuan bangsa. Namun, bahasa untuk bersatu  itu justru terlihat masih terbelakang; dipunggungi dengan mengedepankan bahasa asing. Cobalah tengok pembangunan nasional kita akhir-akhir ini. Nama bangunan-bangunan gedung di Indonesia makin tak terkendali penggunaan bahasanya.

Sekarang, pernahkah kita bayangkan betapa rendah simbol kemanusiaan/kebangsaan Indonesia? Untuk gedung-gedung megah itu makin sedikit pemuda Indonesia yang sudi bertugas sebagai ”satpam”, tetapi makin banyak yang mau bekerja sebagai ”security”?  Penunjuk jalan masuk bangunan yang dijaga security itu pun tertulis hanya dalam bahasa asing, in/entry, dan jalan keluarnya out/exit.

Ketika dalih pengutamaan bahasa asing itu ialah pentingnya komunikasi berbahasa global, seperti teori David Crystal (2003), bahasa Indonesia sering dipandang bukanlah simbol kemajuan, melainkan lambang ketertinggalan atau sesuatu yang cukup ditaruh di punggung belakang. Padahal, kian maju teknologi komunikasi, mestinya makin di depan keberadaan bahasa Indonesia itu untuk menghela pikiran positif dalam pemanfaatan teknologi dan komunikasi.

Bahasa Indonesia, elemen utama pembentuk bangsa Indonesia, sering dibiarkan mundur tanpa cukup  pembelaan. Beruntunglah jalan lingkar pada Jembatan Semanggi urung dinamai Semanggi Interchange. Akhirnya, untuk bangunan kebanggaan bangsa Indonesia itu, dinamakan Simpang Susun Semanggi, setelah berkali-kali pertemuan Badan Bahasa dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Melalui penempatan bahasa negara sebagai bahasa utama dalam penamaan gedung, jalan, dan berbagai layanan publik (UU Nomor 24 Tahun 2009), negara ini sedang dihadirkan di ruang publik yang menghubungkan dirinya dengan  pihak non-negara. Akan tetapi, ketika bahasa sendiri dipunggungi, berarti negara menerima bahwa dirinya sedang lemah berhadapan dengan pihak non-negara, termasuk kalangan swasta.

Kekuatan non-negara itu sudah begitu rupa sehingga membuat pihak negara memunggungi bahasa sendiri. Indonesia sudah dicap sebagai negara yang berkemahiran bahasa Inggrisnya rendah: menurut survei lembaga kursus pada 2012, skor Indonesia cuma 53.31; hanya sedikit di atas Iran dengan skor 52,92. Cap itu dibubuhi keyakinan bahwa lebih baik bahasa Inggrisnya akan baik pula masa depan negara itu. Bahasa Indonesia makin diyakini bukan bahasa depan generasi muda bangsa Indonesia.

Simbol tak berjarak

Dalam hal negara-bangsa Indonesia, bahasa Indonesia merupakan simbol kemanusiaan yang sangat unik. Keunikan itu ada karena apa yang jadi warga negara Indonesia sesungguhnya merupakan warga masyarakat atau suku dengan daerah masing-masing yang berbeda-beda.

Bahasa daerah yang jumlahnya 652 (menurut Badan Bahasa, 2017) menandai keberbedaan manusia—Jawa, Sunda, Batak, dan lain-lain—menjadi satu kesatuan manusia Indonesia karena adanya bahasa Indonesia. Dalam hal simbol ini—ingat: setiap manusia Indonesia tidak selalu bertemu, apalagi bertatap muka—bahasa Indonesia berfungsi sebagai sarana komunikasi  ketika ada perjumpaan kita.

Lihatlah ketika jarak memisahkan, misalnya, antara orang Batak di Sumatera Utara dan Sasak di Nusa Tenggara Barat tidak pernah ada pertemuan untuk saling berkomunikasi, bahasa Indonesia sudah berfungsi mempersatukannya melalui cara berpikir yang sama untuk menjadi sesama warga bangsa Indonesia. Terhadap pemilik simbol, yaitu manusia Indonesia, bahasa Indonesia tak berjarak.

Digerakkan oleh bahasa

Perkuatlah kedudukan bahasa Indonesia yang sangat strategis dengan fungsi hakikinya sebagai sarana berpikir dan—sekaligus—membentuk pikiran keindonesiaan itu. Untuk itu, usaha membangun cara berpikir yang sama melalui bahasa Indonesia itu sudah semestinya tak terpisahkan dari agenda pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

 Bahasa begitu tak berjarak dengan pemiliknya karena pikiran manusia digerakkan oleh bahasa, seperti kata Ludwig Wittgenstein dalam penuturan Timothy Binkley (1973): the language is itself the vehicle of thought. Beda halnya bahasa itu dengan simbol bendera yang tetap membuat jarak antara simbol bendera dan pemilik simbol.

Ketika NKRI ”harga mati”, setiap simbol yang beraroma kolonialisme tidak dibiarkan, tetapi perlu diturunkan. Demi NKRI, dulu,  Bung Tomo, pelaku peristiwa 10 November 1945, berani menurunkan simbol penjajah (bendera Belanda) dari sebuah gedung di Surabaya.  Keberanian semacam itulah yang seharusnya memantik kepahlawanan pemuda kita. Kalau bukan pemuda, siapa lagi yang diharapkan berani menurunkan derajat bahasa asing itu dan menaikkan martabat bahasa sendiri? Ayolah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar