Selasa, 21 November 2017

Melawan Hoaks

Melawan Hoaks
Agus Sudibyo ;  Direktur Indonesia New Media Watch
                                                    KOMPAS, 20 November 2017



                                                           
Kampanye penanggulangan hoaks tampaknya tidak dapat lagi bersandar pada seruan semacam “Hindari Hoaks” atau “Jangan Baca Hoaks”. Semakin keras seruan itu, sepertinya justru semakin tinggi rasa penasaran masyarakat.

Seruan tersebut membuat hoaks memiliki daya magnetik di tengah-tengah masyarakat yang sedang haus akan informasi, sensasi, dan kontroversi. Dengan pemahaman yang sesungguhnya masih abstrak tentang definisi dan ciri-ciri hoaks, masyarakat justru terdorong memburu informasi yang sedang hangat diperbincangkan sebagai hoaks. Seperti pornografi, hoaks diam-diam memikat banyak orang.

Menghindarkan masyarakat dari terpaan hoaks juga terbentur oleh persoalan epistemologi. Bagaimana pengetahuan kita tentang hoaks terbentuk? Bagaimana prosesnya hingga suatu informasi dapat dinyatakan sebagai hoaks? Kita sesungguhnya baru dapat mengetahui suatu informasi benar atau bohong setelah kita membaca, mempelajari, dan mendiskusikannya.

Kita juga sering baru mengetahui suatu informasi itu bohong setelah menjadikannya sebagai referensi tindakan untuk menghindari kerugian tertentu. Inilah yang terjadi pada hoaks tentang registrasi ulang kartu prabayar beberapa saat lalu.

Dengan kata lain, hoaks adalah selalu merupakan ketelanjuran membaca informasi yang belum diketahui kebenarannya. Pada bacaan pertama, yang kita temukan sebenarnya belum merupakan hoaks, melainkan informasi berpotensi hoaks. Hanya melalui proses verifikasi kita kemudian dapat memastikan apakah informasi itu benar-benar hoaks atau bukan. Persoalannya, verifikasi sering dilakukan secara terlambat, justru setelah suatu tindakan diambil untuk merespons suatu informasi. Dalam konteks inilah persinggungan pengguna internet dengan hoaks atau setidak-tidaknya potensi hoaks adalah sesuatu yang sulit dihindari.

Apalagi, akses ke dunia maya adalah sesuatu yang sangat personal. Kita dapat mengakses internet melalui telepon pintar kapan pun di mana pun. Tak ada yang secara langsung dapat mengintervensi keputusan kita menggunakan internet untuk mengakses informasi, pesan, dan ujaran dari mana pun. Tak ada yang secara segera mampu menangguhkan terpaan informasi hoaks kepada masyarakat, seperti pada kasus registrasi kartu prabayar itu.

Mentalitas baru

Persoalan berikutnya, produksi dan persebaran hoaks akan terus terjadi. Ada pihak-pihak yang menjadikannya sebagai industri. Penegakan hukum atas hal ini secara global juga belum menemukan model penanganan yang komprehensif. Jika kita menengok agenda politik 2019 di mana terjadi suksesi kepemimpinan nasional, kompleksitas persoalan hoaks hampir pasti juga akan mengemuka lagi.

Hoaks akan menjadi bagian integral dari strategi pemenangan pemilu. Sementara di sisi lain, perusahaan media sosial cenderung bersifat instrumentalistik menghadapi persoalan hoaks dan politik. Seperti digambarkan Evgeny Morozov dalam tulisan berjudul “Moral panic over fake news hides the real enemy-the digital giants” (The Guardian, 8/1/2017), bagi perusahaan media sosial tidak penting apa dampak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan apa dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Minat utama mereka adalah bagaimana kontroversi yang mewarnai dua peristiwa itu dapat meningkatkan kunjungan ke media sosial yang mereka kelola sehingga menghasilkan rekaman data-perilaku lebih banyak dan potensi ekonomi lebih besar.

Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa persentuhan masyarakat dengan hoaks atau potensi hoaks adalah suatu keniscayaan.

Maka, yang perlu dilakukan bukan meminta masyarakat menghindari hoaks karena hal ini tidak realistis dilakukan. Hal yang lebih realistis untuk dilakukan adalah mengondisikan masyarakat untuk lebih rileks, tidak reaktif, dan tidak mudah panik menghadapi segala rupa informasi di dunia maya.

Terintegrasi dengan lanskap digital merupakan keniscayaan dan hoaks adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap digital itu. Maka, yang dibutuhkan di sini adalah mentalitas baru yang memungkinkan masyarakat hidup berdampingan dengan hoaks dengan kedewasaan tertentu, atau yang memungkinkan masyarakat menghadapi hoaks dengan kewaspadaan dan kecurigaan yang semestinya.

Masyarakat perlu diarahkan untuk senantiasa bersikap selidik terhadap semua informasi yang berseliweran di dunia maya. Kemampuan verifikasi yang sebelumnya identik dengan kemampuan wartawan mesti digalakkan ke khalayak luas. Setidak-tidaknya masyarakat perlu dibiasakan untuk membandingkan apa yang muncul di media sosial dengan apa yang diberitakan media massa konvensional. Jika media massa belum memberitakan informasi yang berkembang di media sosial, kita patut mencurigai kebenaran informasi itu.

Jurnalisme bermartabat

Industri hoaks hadir bukan hanya untuk menyebarkan informasi bohong, melainkan terutama untuk memengaruhi perilaku atau keputusan masyarakat. Industri hoaks tumbuh dengan asumsi bahwa masyarakat mudah panik dan terpengaruh.

Oleh karena itu, jika lahir mentalitas baru yang membuat masyarakat bersikap rileks, tidak mudah terpengaruh, bahkan mampu mempertanyakan kebenaran informasi, dengan sendirinya industri hoaks akan kehilangan signifikansi.

Daya tahan masyarakat terhadap hoaks sangat ditentukan oleh keberadaan sumber informasi yang lebih baik. Dalam kaitan ini, keberadaan media massa konvensional sangat menentukan. Media massa mesti mengimbangi arus informasi media sosial dengan jurnalisme yang bermartabat.

Di era yang penuh anomali dan gejolak seperti sekarang ini, masyarakat membutuhkan kehadiran pers dengan ciri distingtifnya: kemampuan menyajikan informasi yang proporsional dan berkualitas. Seperti yang terjadi di Amerika Utara dan Eropa belakangan ini, masyarakat yang mulai jenuh dengan media sosial yang konfliktual dan memecah belah sebenarnya mulai melirik kembali media konvensional sebagai sumber informasi.

Sayangnya, media consumption reborn tersebut tidak berjalan mulus karena pemberitaan media massa ternyata juga tidak berbeda jauh dengan media sosial dalam hal menyajikan informasi yang spekulatif, konfliktual, dan bermuatan kebencian. Bagaimana bisa menarik kembali minat masyarakat jika media massa cenderung menjadi follower media sosial dalam hal karakter memecah belah dan mengintensifkan konflik?

Rasa frustrasi masyarakat terhadap media sosial menyiratkan kerinduan akan sumber informasi yang berkualitas. Maka, yang perlu dilakukan media massa jelas bukan mengikuti kecenderungan media sosial, melainkan justru sebaliknya, menampilkan sesuatu yang lebih baik. Seperti dikatakan para pakar, strategi untuk mempertahankan diri di era digital adalah kembali pada esensi jurnalisme yang bermartabat dan mencerahkan masyarakat.

Menarik apa yang dinyatakan David Levy, Direktur The Reuters Institute for the Study of Journalism Universitas Oxford. “Ruang publik” dengan standar moralitas yang tipis sehingga ujaran kebencian, apatisme, dan sikap apriori diberi ruang sedemikian rupa adalah habibat alamiah media sosial. Jika terpancing untuk menurunkan standar etika jurnalistik dan memaksakan diri memasuki ruang publik yang demikian itu, menurut Levy, media konvensional sebenarnya justru sedang memasuki perangkap kompetitor barunya tersebut.

Media konvensional akan semakin kehilangan relevansi dan semakin ditinggalkan oleh khalayaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar