Melawan
Hoaks
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS,
20 November
2017
Kampanye penanggulangan hoaks
tampaknya tidak dapat lagi bersandar pada seruan semacam “Hindari Hoaks” atau
“Jangan Baca Hoaks”. Semakin keras seruan itu, sepertinya justru semakin
tinggi rasa penasaran masyarakat.
Seruan tersebut membuat hoaks
memiliki daya magnetik di tengah-tengah masyarakat yang sedang haus akan
informasi, sensasi, dan kontroversi. Dengan pemahaman yang sesungguhnya masih
abstrak tentang definisi dan ciri-ciri hoaks, masyarakat justru terdorong
memburu informasi yang sedang hangat diperbincangkan sebagai hoaks. Seperti
pornografi, hoaks diam-diam memikat banyak orang.
Menghindarkan masyarakat dari
terpaan hoaks juga terbentur oleh persoalan epistemologi. Bagaimana
pengetahuan kita tentang hoaks terbentuk? Bagaimana prosesnya hingga suatu
informasi dapat dinyatakan sebagai hoaks? Kita sesungguhnya baru dapat
mengetahui suatu informasi benar atau bohong setelah kita membaca,
mempelajari, dan mendiskusikannya.
Kita juga sering baru
mengetahui suatu informasi itu bohong setelah menjadikannya sebagai referensi
tindakan untuk menghindari kerugian tertentu. Inilah yang terjadi pada hoaks
tentang registrasi ulang kartu prabayar beberapa saat lalu.
Dengan kata lain, hoaks adalah
selalu merupakan ketelanjuran membaca informasi yang belum diketahui
kebenarannya. Pada bacaan pertama, yang kita temukan sebenarnya belum
merupakan hoaks, melainkan informasi berpotensi hoaks. Hanya melalui proses
verifikasi kita kemudian dapat memastikan apakah informasi itu benar-benar
hoaks atau bukan. Persoalannya, verifikasi sering dilakukan secara terlambat,
justru setelah suatu tindakan diambil untuk merespons suatu informasi. Dalam
konteks inilah persinggungan pengguna internet dengan hoaks atau
setidak-tidaknya potensi hoaks adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Apalagi, akses ke dunia maya
adalah sesuatu yang sangat personal. Kita dapat mengakses internet melalui
telepon pintar kapan pun di mana pun. Tak ada yang secara langsung dapat
mengintervensi keputusan kita menggunakan internet untuk mengakses informasi,
pesan, dan ujaran dari mana pun. Tak ada yang secara segera mampu
menangguhkan terpaan informasi hoaks kepada masyarakat, seperti pada kasus
registrasi kartu prabayar itu.
Mentalitas baru
Persoalan berikutnya, produksi
dan persebaran hoaks akan terus terjadi. Ada pihak-pihak yang menjadikannya
sebagai industri. Penegakan hukum atas hal ini secara global juga belum
menemukan model penanganan yang komprehensif. Jika kita menengok agenda
politik 2019 di mana terjadi suksesi kepemimpinan nasional, kompleksitas
persoalan hoaks hampir pasti juga akan mengemuka lagi.
Hoaks akan menjadi bagian integral
dari strategi pemenangan pemilu. Sementara di sisi lain, perusahaan media
sosial cenderung bersifat instrumentalistik menghadapi persoalan hoaks dan
politik. Seperti digambarkan Evgeny Morozov dalam tulisan berjudul “Moral
panic over fake news hides the real enemy-the digital giants” (The Guardian,
8/1/2017), bagi perusahaan media sosial tidak penting apa dampak terpilihnya
Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan apa dampak keluarnya
Inggris dari Uni Eropa.
Minat utama mereka adalah bagaimana
kontroversi yang mewarnai dua peristiwa itu dapat meningkatkan kunjungan ke
media sosial yang mereka kelola sehingga menghasilkan rekaman data-perilaku
lebih banyak dan potensi ekonomi lebih besar.
Dengan mempertimbangkan hal-hal
di atas, dapat disimpulkan bahwa persentuhan masyarakat dengan hoaks atau
potensi hoaks adalah suatu keniscayaan.
Maka, yang perlu dilakukan
bukan meminta masyarakat menghindari hoaks karena hal ini tidak realistis
dilakukan. Hal yang lebih realistis untuk dilakukan adalah mengondisikan
masyarakat untuk lebih rileks, tidak reaktif, dan tidak mudah panik
menghadapi segala rupa informasi di dunia maya.
Terintegrasi dengan lanskap
digital merupakan keniscayaan dan hoaks adalah bagian tak terpisahkan dari
lanskap digital itu. Maka, yang dibutuhkan di sini adalah mentalitas baru
yang memungkinkan masyarakat hidup berdampingan dengan hoaks dengan
kedewasaan tertentu, atau yang memungkinkan masyarakat menghadapi hoaks
dengan kewaspadaan dan kecurigaan yang semestinya.
Masyarakat perlu diarahkan
untuk senantiasa bersikap selidik terhadap semua informasi yang berseliweran
di dunia maya. Kemampuan verifikasi yang sebelumnya identik dengan kemampuan
wartawan mesti digalakkan ke khalayak luas. Setidak-tidaknya masyarakat perlu
dibiasakan untuk membandingkan apa yang muncul di media sosial dengan apa
yang diberitakan media massa konvensional. Jika media massa belum
memberitakan informasi yang berkembang di media sosial, kita patut mencurigai
kebenaran informasi itu.
Jurnalisme bermartabat
Industri hoaks hadir bukan
hanya untuk menyebarkan informasi bohong, melainkan terutama untuk
memengaruhi perilaku atau keputusan masyarakat. Industri hoaks tumbuh dengan
asumsi bahwa masyarakat mudah panik dan terpengaruh.
Oleh karena itu, jika lahir mentalitas
baru yang membuat masyarakat bersikap rileks, tidak mudah terpengaruh, bahkan
mampu mempertanyakan kebenaran informasi, dengan sendirinya industri hoaks
akan kehilangan signifikansi.
Daya tahan masyarakat terhadap
hoaks sangat ditentukan oleh keberadaan sumber informasi yang lebih baik.
Dalam kaitan ini, keberadaan media massa konvensional sangat menentukan.
Media massa mesti mengimbangi arus informasi media sosial dengan jurnalisme
yang bermartabat.
Di era yang penuh anomali dan
gejolak seperti sekarang ini, masyarakat membutuhkan kehadiran pers dengan
ciri distingtifnya: kemampuan menyajikan informasi yang proporsional dan
berkualitas. Seperti yang terjadi di Amerika Utara dan Eropa belakangan ini,
masyarakat yang mulai jenuh dengan media sosial yang konfliktual dan memecah
belah sebenarnya mulai melirik kembali media konvensional sebagai sumber
informasi.
Sayangnya, media consumption
reborn tersebut tidak berjalan mulus karena pemberitaan media massa ternyata
juga tidak berbeda jauh dengan media sosial dalam hal menyajikan informasi
yang spekulatif, konfliktual, dan bermuatan kebencian. Bagaimana bisa menarik
kembali minat masyarakat jika media massa cenderung menjadi follower media
sosial dalam hal karakter memecah belah dan mengintensifkan konflik?
Rasa frustrasi masyarakat
terhadap media sosial menyiratkan kerinduan akan sumber informasi yang
berkualitas. Maka, yang perlu dilakukan media massa jelas bukan mengikuti
kecenderungan media sosial, melainkan justru sebaliknya, menampilkan sesuatu
yang lebih baik. Seperti dikatakan para pakar, strategi untuk mempertahankan
diri di era digital adalah kembali pada esensi jurnalisme yang bermartabat
dan mencerahkan masyarakat.
Menarik apa yang dinyatakan
David Levy, Direktur The Reuters Institute for the Study of Journalism
Universitas Oxford. “Ruang publik” dengan standar moralitas yang tipis
sehingga ujaran kebencian, apatisme, dan sikap apriori diberi ruang
sedemikian rupa adalah habibat alamiah media sosial. Jika terpancing untuk
menurunkan standar etika jurnalistik dan memaksakan diri memasuki ruang
publik yang demikian itu, menurut Levy, media konvensional sebenarnya justru
sedang memasuki perangkap kompetitor barunya tersebut.
Media konvensional akan semakin
kehilangan relevansi dan semakin ditinggalkan oleh khalayaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar