LPDP
dan Diskriminasi SARA?
Fajri Matahati Muhammadin ; Dosen pada Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum UGM; Penerima Beasiswa
LPDP Batch PK 2
|
REPUBLIKA,
13 November
2017
Sedang ramai di jagat dunia
persilatan tentang beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang
dituding terlalu bias SARA. Katanya, dalam interview banyak sekali disinggung
isu isu SARA. Bahkan ada yang menuding bahwa sebelum era Presiden Joko Widodo,
aura bias PKS-nya kental sekali dan tidak ada satupun penerima beasiswa LPDP
yang non-Muslim. "Indonesia overload agama," katanya.
Sebagai penerima beasiswa LPDP
untuk magister pada tahun 2013, dan lanjut doktoral pada tahun 2016, ada
beberapa hal yang bisa saya bagi terkait masalah ini.
Pribadi, saya agak geli jika
kini dikatakan LPDP ada bias agama ketika belum lama kami protes akibat
dicoretnya semua perguruan tinggi Islam dari daftar universitas tujuan LPDP
tahun 2017. Apalagi dari tahun 2013 pun, dari ratusan penerima beasiswa yang
saya kenal ada begitu banyak yang Nasrani tapi hanya satu saja yang
terafiliasi PKS. Itu pun apolitik.
Permasalahan Suku, Agama, Ras,
dan Antargolongan ini menjadi hal yang tabu dibicarakan padahal jelas
berpengaruh. Barangkali betul kata David Hume, banyak yang bingung membedakan
antara "what is" dan "what ought to be". Diskriminasi
berdasarkan SARA memang tidak betul. Tentunya kita bersyukur beasiswa
afirmasi untuk daerah tertinggal tidak digolongkan sebagai diskriminasi,
walaupun konsekuensinya mungkin beberapa etnis minoritas jadi justru mendapat
preferensi.
Kalaupun betul tudingan bahwa
Indonesia sedang overload agama, nampaknya juga overload anti-agama.
Sebagaimana kata KH Ma'ruf Amin, ada ekstrimisme dalam agama dan juga dalam
sekularisme. Tentu sebagai bangsa Pancasila hal tersebut tidak kita inginkan.
Beberapa bulan lalu, seorang
mantan mahasiswa saya yang menjadi penerima beasiswa LPDP menulis hal yang
menarik. Ia menyebutkan bahwa LPDP mengamanahi kami (penerima beasiswa) untuk
belajar di luar negeri dan mengamalkan ilmunya di tanah air. Lalu ia berkata,
"Apakah tanah air siap menerima apa yang kami bawa?"
Pertanyaan ini dilontarkan di
tengah-tengah kondisi tegang pilgub DKI Jakarta yang oleh sebagian pihak
dituding bermuatan SARA. Memang, tidak bisa disangkal bahwa ada muatan agama
dalam pilgub DKI. Memangnya kenapa itu salah?
Pertanyaan mantan mahasiswa
saya tadi membawa saya pada perenungan yang mendalam. Memang seorang guru pun
terkadang harus belajar pada (mantan) muridnya. Saya pernah menulis di
Republika Online berjudul "Ekstremisme Islam pada Pilkada DKI".
Intinya pada tulisan tersebut saya menolak pendapat bahwa memilih dengan
alasan agama adalah pemikiran ekstrem dan bertentangan dengan HAM.
Tapi, tentunya ada framework
pemikiran yang tidak sepaham antara dunia sekuler yang sarat desakralisasi
agama. Framework yang melahirkan banyak konsep-konsep turunan ini tentu tidak
punya tempat di Indonesia, apalagi ketika "aku Pancasila" sedang
populer-populernya sekarang.
Jadi, ketika saya ditanya,
"Apakah apakah tanah air siap menerima apa yang kami bawa?", saya
sebagai penerima beasiswa LPDP terbersit pertanyaan evaluatif untuk diri
sendiri: "Apakah saya bisa memahami, apa yang tanah air saya butuhkan?"
Inilah salah satu tujuan
pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada SARA. Bangsa ini punya banyak PR,
tapi banyak pemikiran yang tempatnya bukan di sini. Apalagi, selain
sekulerisme, kadang ada inferiority complex sehingga terpukau dengan apapun
yang berbau bule. Dari sinilah mungkin dipikirnya semua values dari luar
asyik saja dituang ke Indonesia.
Karena itulah terkadang penting
untuk menanyakan hal-hal seperti ini. Terkadang pula kasusnya tidak seperti
itu. Pengalaman saya pribadi, saat tes wawancara, seorang profesor sepuh
langsung bertanya pada saya: "mas, kenapa kamu gendut?"
Alhamdulillah, saya bukan
termasuk kalangan yang kontan menghina Anies Baswedan karena kata
"pribumi" belum lama ini. Saya paham beliau bukan bermaksud body
shaming. Dalam wawancara itu, mungkin ada 10 menit sendiri beliau menceramahi
saya, "Tahu kan penyakitnya orang gendut? Gimana kalau kamu sakit di
negeri orang?" Walaupun dalam hati saya bergumam "saya ke UK Prof,
Universal Health Care", tapi saya paham betul bahwa beliau tidak
menceramahi saya melainkan karena sayang.
Bukan hanya masalah perut saja
yang menjadi kekhawatiran sebagian interviewer. Tahun 2013-2014 adalah awal
awal munculnya kelompok radikal ISIS. Seakan-akan tanpa ada mereka belum
cukup tekanan atau bahkan hate crime yang dialami umat Islam di Eropa dan
USA. Tanpa masalah itupun, ternyata banyak persoalan yang bisa dialami
misalnya sulitnya menemukan tempat shalat, sulit mencari makanan halal, dan
lain sebagainya.
Selain itu, ada pula
masalah-masalah yang terkait dengan kebiasaan. Misalnya, banyak dari kita
yang sudah terbiasa dengan falsafah ora sego ora mangan tapi mendapati
dirinya di negara yang makanan pokoknya mayoritas kentang dan roti. Banyak
sekali kisah dari yang lucu hingga menakutkan dalam pengalaman kami kuliah di
luar negeri. Mayoritas akibat perbedaan budaya yang sangat asing bagi para
penerima beasiswa.
Terkadang pertanyaan-pertanyaan
yang sifatnya SARA adalah untuk menyiapkan hal-hal seperti ini. Kalau bukan
untuk memastikan kesiapan, setidaknya sebagai sentilan supaya yang
diwawancara tersadar bahwa ada masalah sepeti ini. Dengan demikian bisa
menelaah dan mempersiapkan diri dengan lebih baik. Karena, tidak semua orang
bisa bertahan dalam culture shock. Walaupun tentunya hal hal seperti ini juga
dapat dilakukan saat program Persiapan Keberangkatan (semacam karantina),
tapi tidak ada salahnya mengecek kesiapan para pelamar beasiswa.
Akan tetapi, tidak semua kisah
tentang SARA ini baik. Di samping kisah-kisah yang berseliweran di berita dan
media sosial, ada beberapa yang bisa saya tambahkan. Ada seorang kawan
beragama Nasrani yang aktif dalam kegiatan gereja, dan ia merasa betul betul
dipojokkan karena 'hanya mau aktif di agamanya sendiri' tanpa diberi
kesempatan menjawab. Akhirnya ia tidak diterima.
Ada lagi yang menceritakan
bahwa ia dipertanyakan karena jenggot dan celana cingkrangnya: apakah anda
wahabi? Ia pun tidak diterima. Ada banyak lagi sebetulnya, seperti misalnya
"memang sih orang Jawa biasa begitu" dan lain sebagainya. Sebagian berujung
diterima sebagian tidak.
Mungkin kita bisa
mempertanyakan apakah pertanyaan SARA ini betul menyebabkan tidak diterimanya
sebagian pelamar. Tapi setidaknya, kalau caranya seperti ini maka tentu akan
menjadi masalah.
Sebagian kasus mungkin hanya guyon
saja. Di beberapa lingkar sosial jokes yang agak rasis itu biasa. Di sebagian
lainnya, itu dianggap tabu. Dan, sebagian dari masing-masing pihak ini merasa
bahwa dirinyalah yang benar dan yang lain tidak masuk akal. Ada pula yang
melihatnya 'tergantung orangnya' jadi lebih mudah bertoleransi. Di sini
memang perlu sekali kita lebih kuat berempati.
Akan tetapi, sebagian kasus
bukanlah guyon tapi sindiran yang merupakan cara 'halus' untuk menunjukkan
kebencian. Dan, pada akhirnya bisa jadi mempengaruhi penilaian. Walaupun
secara objektif ini akan sulit dibuktikan, tapi ini bukanlah masalah yang
baik untuk didiamkan.
Alhamdulillah, LPDP adalah
sebuah lembaga yang sangat luar biasa. Tentu LPDP punya banyak kekurangan dan
perlu banyak memperbaiki diri. Bukan sekali dua kali saya merasa keberatan
atau kecewa dengan apa-apa yang menjadi kebijakan LPDP. Akan tetapi, saya
mengalami sendiri bagaimana LPDP selalu berusaha menerima kritik dan
memperbaikinya. Tentu terkadang kami agak kurang sabar sehingga protes kami
terkadang agak terlalu keras.
Objektif saja, belum tentu
setiap protes kami selalu benar, dan jika pun benar maka tentu pewujudannya
belum tentu mudah. Akan tetapi, saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak
masalah yang menimbulkan kritik pada LPDP direspons dengan cepat dan diselesaikan.
Misalnya dulu di awal sekali
waktu kami angkatan tahun pertama mau berangkat, diumumkan bahwa pemesanan
tiket bersifat reimburse. Spontan reaksi keras langsung muncul, khususnya
dari kawan-kawan yang secara ekonomi belum mampu membayar dulu. Rasanya belum
ada seminggu kemudian, diumumkan bahwa selain reimburse kami bisa memesan
tiket melalui LPDP langsung. Saya rasa kami bukan hanya bersyukur mendapatkan
alternatif, melainkan salut kepada LPDP karena kami yakin tidak mudah membuat
mekanisme seperti itu. Apalagi, saat itu masih awal-awal sekali.
Relevan dengan masalah
wawancara, banyak kritik sudah lama dilayangkan. Standardisasi pewawancara
sudah lama menjadi perbincangan. Banyak kabar aneh-aneh saya dengar, misalnya
pelamar disuruh menyanyikan lagu Indonesia raya. Bahkan ada pelamar dari
fakultas hukum disuruh menyebut semua butir-butir Pancasila. Perlu diingat
bahwa tidak mudah melakukan standardisasi wawancara ketika ada banyak sekali
pewawancara yang terlibat dalam banyak sekali sesi wawancara yang kesemuanya
dilakukan secara terpisah.
LPDP pun berusaha memperbaiki
diri dengan berbagai cara. Selain menggodok pedoman wawancara yang lebih
baik, mekanisme seleksi pun diperketat dan dibuat lapisan yang lebih banyak.
Tentu alasan melakukan ini bukan hanya karena kekurangan-kekurangan yang
terjadi pada wawancara, melainkan juga banyak masalah lain yang coba
diselesaikan bersama-sama secara holistik.
Zaman saya dulu, seleksi hanya
berkas sebagai saringan awal lalu wawancara. Itu saja. "Jaman now",
ada tes diskusi kelompok, ada assessment online, dan tes esai. Perubahan ini
mengatasi banyak masalah, termasuk antara lain memperkecil dampak dari bias
dan keanehan-keanehan yang mungkin terjadi selama wawancara.
Sekarang pun, LPDP pastinya
dibanjiri banyak kritik pada beraneka aspek pelayanannya. Yang mungkin minim
kritik adalah pada Customer Service Operators (CSO) yang dalam pengalaman
saya begitu aktif menjawab email-email pertanyaan dan keluhan saya. Kalau
saya ceritakan ini pada kawan-kawan, mereka terkejut ada lembaga pemerintah
yang bisa seperti ini. Entah kawan-kawan saya saja yang selalu apes, atau
memang sebagian lembaga pemerintah perlu mengevaluasi mekanisme
komunikasinya.
Pada akhirnya, terkadang yang
tampaknya dikeluhkan adalah satu pihak. Padahal bisa jadi pihak-pihak lain
turut berkontribusi. Ketika ada pewawancara yang menyinggung SARA dengan
tidak tepat, tentu ini kesalahan si pewawancara. Mereka harus merubah cara
mereka berpikir dan mewawancara, dan pihak LPDP juga harus turut mewaspadai dan
berusaha mencegah dengan membuat pedoman wawancara. Akan tetapi, sebagaimana
telah didiskusikan sebelumnya, disinggungnya isu SARA bisa saja relevan.
Dengan ini, tentu harusnya si pelamar yang lebih bijaksana dalam melihat
konteks dan mengambil manfaat.
Semua punya PR. Semua perlu
evaluasi, semua perlu belajar, semua perlu memperbaiki diri. Kita berharap
isu ini, sebagaimana isu-isu lain yang sedang dihadapi oleh LPDP dan
pihak-pihak lainnya, menjadi bahan perbaikan bagi semuanya. Bagaimanapun
juga, kerja sama semua pihaklah yang sesungguhnya diperlukan untuk membangun
Indonesia dengan lebih baik lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar