Kebangsaan
dan Media (A)sosial
Asep Salahudin ; Tenaga Ahli UKP PIP; Ketua Lakpesdam PWNU Jawa
Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Oktober 2017
NYARIS hari ini konsep diri
kita baik secara personal, keumatan, atau bahkan kebangsaan didefinisikan
media sosial.
Tiba-tiba Facebook, Instagram,
Twitter, dan Whatsapp menjadi kebutuhan pokok dan bahan utama untuk
mendapatkan informasi.
Bukan hanya kabar politik,
sosial, ekonomi, keagamaan dan bahkan klenik sekalipun sudah tersedia.
Bukan hanya orang lain yang
aktif menyebarkan berita, bahkan kita sendiri bisa ikut ambil bagian
men-share-nya.
Tentu saja tujuan utama
didirikannya media sosial ialah untuk membangun pertemanan, menyambungkan
kembali perkawanan, berbagi informasi penting dan atau menyebarkan hasil
refleksi pikiran-pikiran kita yang dibayangkan akan dibaca liyan dan
memotivasi untuk bersama-sama mewujudkan kebaikan.
Karena itu, selalu ketika
membuka Facebook misalnya, muncul pertanyaan berulang, 'Apa yang Anda
pikirkan?'.
Khitahnya seperti itu.
Persoalannya antara keharusan
dan kenyataan tidak pernah tidak ada ketegangan.
Norma dan fakta selalu ada
jarak yang terkadang mengalami kesulitan menyelesaikannya.
Inilah yang disebut masalah.
Di jantung masalah ini kita
merasakan bagaimana media sosial bukan menambahkan perkawanan, melainkan ada
juga kawan yang dihapus karena perbedaan pandangan politik.
Media sosial tak ubahnya medan
laga padang kurusetra tempat umat manusia khususnya di Indonesia terbelah
dalam dua kekuatan besar 'penyuka' (lovers) dan 'pembenci' (haters).
Apa pun yang dilakukan tokoh
itu bagi lovers ialah kebaikan dan harus dipertahankan, sebaliknya bagi
haters tokoh itu sebaik apa pun pasti salah dan harus ditemukan titik kesalahannya
untuk dihancurkan sehancur-hancurnya.
Nyaris yang dirasakan terutama
tiga tahun terakhir, 'tawuran' itu tidak menemukan titik temu ishlah
(islah)-nya.
UU ITE hanya menjerat sebagian
kecil dan sisanya seperti gunung es masih terhampar di lapisan bawah yang
setiap saat bisa meledak.
Apabila tidak pernah ada
kesadaran dalam menggunakan media sosial, tidak tertutup kemungkinan
pengalaman 'musim semi Arab' bisa menimpa kita.
Musim semi yang sebermula dari
sengketa akut di medsos yang telah merontokkan negara-negara di kawasan Timur
Tengah dan untuk mengembalikannya kepada situasi normal pemerintah dan
masyarakat mengalami kesulitan.
Gedung-gedung berantakan,
rumah-rumah ibadah menjadi puing, situs silam tak keruan, hubungan sosial
cerai berai, belum lagi trauma psikologis yang butuh waktu lama pemulihannya.
Kebencian
Ya. Media sosial yang berubah
fungsi menjadi asosial. Sumbunya kebencian, defisit akal sehat, kemalasan
melakukan konfirmasi dan verifikasi, fanatisme membabi buta, dan nafsu
menghabisi lawan dengan mengerahkan semangat zero sum game.
Lawan wajib selalu keliru dan
kawan pasti selalu benar.
Tragisnya dalam rumusan 'salah'
dan 'benar' acuannya bukan keluhuran akal budi dan atau dinegosiasikan di
ruang publik terbuka dengan mengerahkan keluhuran komunikasi delibrasi,
melainkan semata subjektivitas penafsiran atas sebuah teks atau konteks
peristiwanya.
Satu sama lain saling
menafsirkan dengan semangat pendakuan kelewat batas.
Seolah yang harus dihadirkan
ialah tesis dan antitesis dan menutup munculnya sintesis.
Ruang dialog itu sengaja
digelapkan. Gotong royong yang disebut Bung Karno sebagai tema pokok
Pancasila entah telah dikubur di mana, apalagi semangat musyawarah dan
mufakatnya.
Isu kuna dan primitif pribumi
dan nonpribumi yang bertentangan dengan sila ketiga dan Inpres Tahun 1998 No
26 kembali digoreng untuk semakin mengentalkan sengketa bukan membangun roh
kekitaan.
Terges-gesa
Salah satu identitas dari media
sosial ialah ketergesa-gesaan. Kelimpahan informasi telah membentuk kita
menjadi gagap.
Akhirnya semua dibaca tanpa
sempat direfleksikan secara jernih.
Kesimpulan yang diambil pun
menjadi terburu-buru.
Padahal kata Kanjeng Nabi,
"Terburu-buru itu pekerjaan setan."
Bahkan sering kali di sebuah
grup WA orang men-share sebuah berita hanya dengan membaca judulnya.
Karena judulnya dianggap dapat
menyalurkan aspirasinya, tanpa ia harus mengecek ulang, itu langsung
disebarluaskan.
Saya lebih senang
berhadap-hadapan dengan buku konvensional (kertas).
Minimal masih memberikan ruang
berdialog lebih leluasa, ada sensasi tersendiri saat menggarisbawahi
teks-teks yang dianggap penting atau mengundang isu yang harus dikaji lebih
lanjut, malah ada sesuatu yang tidak didapatkan pada media lain: aroma kertas
itu ketika lembar demi lembar dibolak-balik.
Khotbah kebencian
Yang tidak kalah
mengkhawatirkan ialah fenomena keagamaan ketika masuk mimbar media sosial.
Yang ditemukan bukan lagi
kedalaman, melainkan kedangkalan.
Bukan pencerahan, melainkan
keresahan. Lewat media sosial, belajar agama lebih mudah sekaligus mudah pula
tergelincir pada paham-paham menyesatkan.
Pertemuan dengan guru yang
dalam tradisi pesantren seperti diajarkan kitab talim mutaallim menjadi satu
keniscayaan dengan segala adab dan keberkahannya hilang; yang tersisa ialah
gempita nyinyir menyudutkan orang lain.
Lebih parah lagi, ketika
kepentingan politik sudah merambah wilayah keagamaan. Yang terjadi ialah
politisasi agama.
Agama dipolitisasi untuk meraih
suara, menghamba kepada kepentingan kekuasaan jangka pendek, menjustifikasi
seluruh tindakan politiknya agar tampak religius dan seolah menjadi bagian
dari jihad fi sabilillah.
Politisasi agama itu sejatinya
tidak berhubungan dengan agama, tapi semata berurusan dengan politik yang
mengatasnamakan agama agar mendapatkan sambutan massa.
Bukan jihad, melainkan
perjalanan untuk memudahkan kerja politik dalam rangka menyalurkan nafsu
kekuasaan.
Perkawinan agama dan politik,
dalam sejarah panggung kemanusiaan, inilah yang sering kali menjadi pemantik
mencuatnya konflik berkepanjangan.
Di media sosial hari ini dengan
gencar kita melihat tengah dilangsungkan akad pernikahan agama dan politik
disaksikan khalayak.
Baik agama ataupun politiknya
akhirnya kedua-duanya jatuh pada kubangan limbo sejarah yang sama sekali
tidak memperluas wawasan.
Politiknya menjadi
diskriminatif dan agamanya eksklusif.
A Syafii Maarif menyebutnya
'rongsokan peradaban'.
Tidak ada yang paling mudah
dalam meraih simpati massa, apalagi di tengah masyarakat yang buta aksara,
kecuali memainkan politik identitas seperti ini.
Kita tengah menggali kubur
sendiri: agama dan politik menjadi kehilangan wibawa.
Keindonesiaan berada di tubir
sakratulmaut-kehancuran. Lonceng kematian kebudayaan sedang dibunyikan.
Dalam konteks ini,
mengembalikan media sosial ke khitahnya sebagai peranti mengukuhkan kekitaan
dan membangun perkawanan merupakan satu keniscayaan di tengah gempita politik
identitas yang terus digoreng untuk kepentingan tak jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar