Minggu, 19 November 2017

Jurus "Dewa Mabuk" Setya Novanto

Jurus "Dewa Mabuk" Setya Novanto
Fatkhul Anas  ;  Analis Media Sosial; Tinggal di Yogyakarta
                                                DETIKNEWS, 17 November 2017



                                                           
Setya Novanto kecelakaan, tagar #SaveTiangListrik langsung jadi trending topic di lini masa Twitter. Bukan ungkapan kesedihan dan untaian doa dari netizen, tapi komen satir atas peristiwa yang dialami Ketua DPR ini. Seperti cuitan @ibnu_apk: RESMI: tiang listrik tersangka karena mencoba menghalang-halangi pemeriksaan korupsi e-KTP. Kalau akun @vnxnt bilang: Diduga mengantuk, sebuah tiang listrik tabrak mobil ketua dewan yang sudah kehilangan kehormatannya.

Yah, itulah babak baru drama Setnov. Entah kecelakaan asli ataukah jadi-jadian, masih simpang siur. Setnov ini memang tak ada matinya soal bikin gaduh. Kok ya ndak bosen-bosen main petak umpet sama KPK. Sampai-sampai beberapa malam lalu KPK harus jemput paksa ke rumah si Papa ini. Tapi apa hasilnya? Zonk! Hingga sampai tengah malam, Setnov tidak diketahui di mana rimbanya.

Sudah tiga kali Setnov dipanggil sejak ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus mega korupsi e-KTP. Tapi selalu mangkir dengan beragam alasan. Katanya sih harus ada izin dari Presiden Jokowi dulu sebelum diperiksa. Itu alasan yang tertuang dalam surat balasan kepada KPK yang dikirim oleh Sekjen DPR. Tanpa izin Presiden, tak ada hak KPK memeriksa. Aih, badel kali ini orang!

Namun surat ini nampaknya tidak mempan untuk mencegah KPK, karena banyak yang membantah. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang notabene sesama Partai Golkar, pun ikut berkomentar bahwa tak perlu izin Jokowi untuk memeriksa Setnov. Ia sebelumnya bahkan meminta dokter di RS Premier Jatinegara, tempat Setnov pernah dirawat, membuat penjelasan kepada publik bahwa Ketua Umum Partai Golkar itu memang benar-benar sakit. Ini terkait banyaknya meme dari netizen soal sakitnya Setnov. Netizen anggap si Papa ini hanya bersandiwara.

Apakah sampai di sini langkah Setnov? Oh, tentu tidak! Ingat, Setnov ini adalah jagoan taktik yang telah melanglang buana di dunia perpolitikan. Ia sudah lolos dari tujuh jeratan hukum, termasuk yang terakhir yakni memenangkan praperadilan dalam kasus korupsi e-KTP beberapa waktu lalu. Sebagai jagoan tangguh, jurus yang disiapkan pun menyasar ke sana kemari —mosak-masik, orang Jawa menyebutnya.

Maka lihat bagaimana pengacaranya, Sandy Kurniawan, dengan ngotot melaporkan dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, ke Badan Reserse Kriminal Polri pada malam KPK mengumumkan penetapan Setnov, 10 November 2017. Apa pasal? Keduanya dituduh membuat surat palsu dan menyalahgunakan wewenang. Surat yang dimaksud adalah surat permintaan pencegahan ke luar negeri atas nama Ketua DPR yang diterbitkan pada 2 Oktober 2017.

Polri pun sampai mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) untuk dua pemimpin KPK tersebut dalam kasus pemalsuan surat. Surat itu sudah sampai di kejaksaan. Namun, kejaksaan mengatakan status kedua pimpinan KPK itu masih terlapor, belum tersangka.

Apakah Setnov memang sengaja memantik perseteruan dua lembaga penegak hukum ini, sebagaimana dulu dalam kasus "cicak vs buaya?" May be! Tentu saja demi kelolosannya dari jerat hukum. Presiden Jokowi akhirnya juga harus memberi wejangan. Ia meminta agar KPK dan Polri bisa berjalan beriringan dalam penegakan hukum dan melawan korupsi. Jika tidak ada bukti, kata Jokowi, maka penyidikan ini sebaiknya dihentikan.

Ternyata tak cukup sampai di sini jurus Setnov. Pengacara satunya lagi, Fredrich Yunadi, mengajukan uji materiil Pasal 12 dan 46 Undang-undang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Pada Selasa, 14 November lalu, MK memverifikasi pengajuan gugatan uji materiil Pasal 12 Undang-undang KPK tentang pencegahan ke luar negeri dan Pasal 46 Undang-undang KPK.

Yunadi bilang, Pasal 46 tak sesuai dengan Pasal 20 A ayat 3 UU 1945. Di Pasal 46 disebutkan bahwa prosedur khusus kepada seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tidak berlaku berdasarkan UU KPK. Sedangkan Pasal 20 A ayat 3 UUD 1945 menyebut bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas. Pasal ini menurutnya kontraproduktif, maka harus uji materi. Apa kaitannya dengan Setnov? Tentu saja agar ia bisa lolos lagi karena punya hak imunitas. Iyuh banget bukan?

Bahkan, Yunadi membawa nama Jokowi, bahwa ia akan meminta perlindungan darinya. Ia juga sempat mengancam bahwa dirinya akan meminta perlindungan penegak hukum jika KPK meneruskan proses penyidikan kliennya. Hmmm...mulai tambah mabuk!

Memang segitunya kok si Setnov ini. Selalu saja berulah dengan taktiknya. Dramanya terus berlanjut, seperti serial drama Korea yang tak kunjung usai. Ibarat pemain bola, karakter Setnov ini lebih tepat sebagai gelandang tengah yang bertipe playmaker. Ia adalah jenderal lapangan yang mengatur ritme permainan. Kapan bola akan dialirkan ke depan agar para striker leluasa bikin gol, kapan pula bola kembali ke belakang untuk bertahan. Sesekali playmaker juga bikin gol di tengah kebuntuan.

Demikianlah si Setnov, ia seakan paham betul kapan dan kepada siapa persoalan dilempar. Kepada para striker-nya ditugaskan untuk membuat gaduh pertahanan lawan sehingga kocar-kacir. Dan, kepada para bek ditugaskan menjaganya agar aman dari serangan balik lawan. Maka, gawangnya pun tidak kebobolan. Yang artinya ia juga tidak kebobolan kasus alias selalu lolos. Canggih bukan? Bahkan bisa jadi lebih canggih dari Andrea Pirlo, sang maestro yang baru saja pensiun dari sepak bola.

Kita tunggu saja, akankah kali ini Setnov lolos lagi setelah kontes kecelakaan yang kontroversial. Jika iya, maka sah dia disebut sebagai The Drunken Master, si Dewa Mabuk, yang jurusnya mengosak-ngasik lawan dan tak tertandingi. Si Dewa Mabuk yang akan merajai jagad perpolitikan, dan tidak tersentuh palu hukum!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar