Jejak
Kepahlawanan Lafran Pane
Akbar Tandjung ; Ketua Umum PB HMI 1972-1974
|
KOMPAS,
10 November
2017
Pada 9 November 2017, Presiden
Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Prof Drs Lafran
Pane. Hal tersebut pantas disyukuri, tidak saja di kalangan keluarga besar
Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi yang ia dirikan pada 5 Februari 1947,
tetapi juga tentunya bagi segenap bangsa Indonesia.
Hal tersebut terkait perjuangannya
yang didasari komitmen dan konsistensinya yang kuat terhadap Pancasila, UUD
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika
yang relevan dengan apa yang menjadi komitmen pemerintah, masyarakat, bangsa,
dan negara dewasa ini.
Kepahlawanan otentik
Lafran Pane memiliki rekam
jejak kepahlawanan yang otentik. Beliau merupakan bagian dari tokoh-tokoh
pemuda perintis kemerdekaan yang berbasis di Jalan Menteng Raya 31, Jakarta,
yang pada 1945 berperan dalam proses sejarah dalam mendorong Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI.
Hal ini dibuktikan bahwa pada
13 Agustus 1970, Lafran Pane diundang menghadiri pertemuan pemrakarsa
kemerdekaan di Jalan Proklamasi 56, Jakarta. Turut mengundang Adam Malik, BM
Diah, Kemal Idris, dan Sayuti Melik, sebagai para pemuda perintis
kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan 17 Agustus
1945, ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, Lafran Pane juga turut hijrah
ke sana, menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam kancah revolusi fisik pada 5
Februari 1947, di kota perjuangan ini Lafran Pane mendirikan organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dengan tujuan utama mempertahankan negara Republik Indonesia (yang kini
merupakan NKRI) dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; serta menegakkan
dan mengembangkan ajaran agama Islam, terutama di kalangan mahasiswa,
mengingat pada waktu itu belum ada organisasi yang beranggotakan para
mahasiswa yang beragama Islam.
Komitmen HMI tersebut mendapatkan apresiasi
sekaligus harapan dari Jenderal Soedirman pada pidatonya dalam rangka
peringatan setahun HMI, 5 Februari 1948. Jenderal Soedirman mengatakan bahwa,
“Bagi saya, HMI tidak saja Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga Harapan
Masyarakat Indonesia.”
Sebagai ikhtiar nyata
mempertahankan kemerdekaan, Lafran Pane bersama para aktivis HMI lainnya,
seperti Hartono, Achmad Tirtosudiro dan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, turut
serta mendirikan Corps Mahasiswa (CM). Organisasi mahasiswa ini turut berjuang
dalam kancah revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan, sekaligus
menangkal kekuatan komunis yang hendak mengubah dasar negara: Pancasila.
Keislaman dan keindonesiaan
Selain itu, organisasi HMI juga
telah mewarnai perjalanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
di mana kiprah dan perannya ditunjukkan oleh para alumnusnya yang tersebar di
berbagai lahan pengabdian. Baik mereka yang ada di pemerintahan,
lembaga-lembaga kenegaraan maupun lembaga-lembaga politik dan kemasyarakatan,
serta melahirkan insan-insan akademis yang berkiprah di berbagai lembaga
pendidikan tinggi dalam posisi sebagai pengajar dan guru besar.
Sebagai intelektual Muslim yang
nasionalis, Lafran Pane memiliki pemikiran keislaman yang pluralis dan
moderat dalam mengimplementasikan Islam yang rahmatan lil alamin.
Dalam tulisannya, “Keadaan dan
Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia” (1949), misalnya, Lafran Pane
berpendapat, dalam perspektif kebudayaan, Islam itu sempurna. Terkait adanya
bermacam-macam latar belakang kemajemukan bangsa, kebudayaan Islam hendaknya
dapat diselaraskan dengan masing-masing kemajemukan masyarakat itu.
Pandangan tersebut
menginspirasi pandangan cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid, yang
menjabarkannya lebih lanjut ke dalam tema keislaman, keindonesiaan, dan
kemodernan, di mana Islam dipandang sebagai agama yang inklusif, moderat,
dialogis, toleran, dan berorientasi pada kemajuan, yang selaras dengan
semangat keindonesiaan.
Menurut Nurcholish Madjid,
Islam hendaknya didekati secara substansial, bukan semata-mata formalistik.
Karena itu, dalam konteks inilah HMI pun tidak pernah menghendaki formalisasi
hukum (syariat) Islam, melainkan bagaimana menanamkan nilai-nilai (substansi)
ajaran Islam yang rahmatan lil alamin di tengah-tengah masyarakat Indonesia
yang plural atau majemuk.
Uraian di atas menegaskan bahwa
pemikiran, pendekatan, dan sikap Lafran Pane yang kemudian diperkokoh dalam
tradisi keislaman HMI, yaitu Islam yang selaras dengan realitas kemajemukan
bangsa, sangat relevan dengan ikhtiar kita dalam merespons berbagai masalah
berkembang dewasa ini, termasuk dalam menangkal praktik radikalisme
keagamaan.
Pemikiran ketatanegaraan
Sebagai akademisi, Lafran Pane
telah memberikan kontribusi pemikiran ketatanegaraan yang disandarkan pada
ideologi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan
nilai-nilai dasar yang menjadi konsensus para pendiri bangsa (the founding
fathers) yang saat ini juga sering disebut Empat Pilar Kebangsaan. Hal
tersebut dapat ditelusuri melalui karya-karya akademisnya.
Menurut Lafran Pane, agar UUD
1945 dilaksanakan secara konsekuen, Pancasila harus dilihat sebagai paham
dinamis dan diposisikan sebagai ideologi terbuka. Lafran Pane juga
mewacanakan amendemen UUD 1945, ketika menyampaikan pidato pengukuhan Guru
Besar Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta, 16 Juli 1970. Menurut dia,
seandainya amendemen terjadi, dasar (falsafah) negara Pancasila, tujuan
negara, asas negara (asas hukum), asas kedaulatan rakyat, asas kesatuan, dan
asas republik merupakan hal-hal yang tak boleh berubah. Jika salah satunya
berubah, negara Republik Indonesia tidak sesuai lagi dengan negara yang
dicita-citakan oleh para bapak pendiri bangsa.
Lafran Pane juga berpendapat
jika bangsa Indonesia ingin menganut sistem presidensial secara tegas, maka
cara pemilihan presiden harus diubah: tidak dipilih lagi oleh MPR, melainkan
dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini dapat terjadi apabila dilakukan
perubahan konstitusi. Gagasan ini ternyata telah mendahului zamannya, mengingat
pendapat tersebut baru terwujud setelah hadirnya era Reformasi pasca-1998.
Dengan demikian, Lafran Pane memiliki visi ketatanegaraan yang jelas dan
rasional, semata-mata untuk keberlangsungan dan kemajuan bangsa Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
Sebagai pengabdian terakhir
kepada bangsa dan negara, sosok yang sederhana ini juga pernah menjabat
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden RI, sebelum lembaga ini ditiadakan
dan fungsinya digantikan oleh Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana yang
ada pada saat ini.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
penetapan Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional memiliki dasar yang cukup
kuat. Semoga dengan ditetapkannya Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional, apa
yang telah ia lakukan mampu memberikan inspirasi bagi generasi penerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar