Islam
Moderat
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Ketua Moderate Muslim
Society, Jakarta
|
KOMPAS,
14 November
2017
Mohammed bin Salman, Putra
Mahkota Raja Arab Saudi, dalam forum inisiatif investasi masa depan di
Riyadh, di depan perwakilan 70 negara, menegaskan komitmennya untuk kembali
ke Islam moderat.
Walhasil, diskursus Islam
moderat membahana ke seantero dunia. Dunia menyambut komitmen tersebut dengan
sukacita karena pada tahun-tahun mendatang dunia akan disuguhkan aliansi
global Islam moderat yang akan membuahkan arus besar untuk menjadikan agama
sebagai energi perdamaian.
Mesir melalui Universitas
Al-Azhar telah lama menggaungkan pengarusutamaan Islam moderat yang disertai
gerakan pembaruan pemikiran keagamaan (tajdid
al-khithab al-dini). Kemudian disusul Indonesia yang
direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama melalui gerakan Islam Nusantara dan
Muhammadiyah dengan Islam berkemajuan-nya.
Tanggung
jawab bersama
Komitmen Arab Saudi untuk
meneguhkan Islam moderat merupakan kabar bahagia. Selama ini, negara kaya
minyak itu dianggap oleh banyak pihak sebagai batu sandungan bagi moderasi
Islam. Wahabisme sebagai ideologi resmi di negeri bersejarah itu dalam tiga
dekade terakhir telah disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia yang ditengarai
menjadi bibit tumbuhnya ekstremisme berjubah agama.
Ada dua paham yang
menonjol dari Wahabisme, yaitu puritanisme dan pengafiran (takfir). Dalam
puritanisme, Wahabisme ingin memurnikan Islam dari segala tradisi dan praktik
yang dianggap bertentangan dengan esensi Islam. Dalam hal ini, Wahabisme
menentang ziarah kubur, Maulid Nabi, sufisme, dan filsafat. Oleh karena itu,
Wahabisme secara ideologis menentang tradisi pengikut keluarga Nabi Muhammad
SAW (ahl al-bayt)
yang melestarikan tradisi tersebut.
Masalahnya, yang melakukan
ziarah kubur, Maulid Nabi, sufisme, dan filsafat tidak hanya para pengikut
ajaran keluarga Nabi (ahl
al-bayt), tetapi juga kalangan Muslim tradisional di berbagai
belahan dunia Islam, tidak terkecuali di Indonesia, seperti NU, juga
melestarikan tradisi ziarah kubur, Maulid Nabi, tarekat sufi, dan logika.
Sementara dalam
pengafiran, Wahabisme secara rigid memahami
dan memaknai doktrin kafir dalam Islam. Paham ini tidak hanya mengafirkan
orang-orang yang berada di luar Islam, tetapi juga Muslim yang tidak sejalan
dengan pandangan mereka. Bahkan, dalam batasan tertentu, mereka mengabsahkan
pembunuhan terhadap mereka yang divonis sesat atau kafir (Khaled Abou
el-Fadl, 2005).
Doktrin tersebut selama
ini dipedomani oleh kelompok-kelompok teroris. Taliban sebagai salah satu
faksi ekstremis di Afghanistan merupakan salah satu kelompok yang
terinspirasi dari Wahabisme.
Bersamaan dengan itu,
jaringan terorisme global terus tumbuh. Dari Jemaah Islamiyah, Al Qaeda, dan
yang terakhir Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), semua kerap
diidentikkan dengan kelompok takfiri,yang
mudah mengafirkan dan menyesatkan pihak lain, baik dalam intra-agama maupun
antar-agama.
Oleh karena itu, pernyataan
Mohammed bin Salman bahwa ekstremisme yang ditengarai berkelindan dengan
revolusi Islam Iran pada tahun 1979 sebenarnya tidak benar. Bahkan, kalau mau
jujur, Iran justru terus mendorong moderasi Islam dengan membangun jembatan
dialog di antara sesama umat Islam (Sunni-Syiah) dan dialog dengan umat
agama-agama lain, termasuk dialog dengan Barat.
Dalam konteks tersebut,
sebenarnya tidak mudah bagi Arab Saudi untuk meneguhkan moderasi Islam
mengingat tantangan dan hambatannya sangat besar. Di antaranya karena
kokohnya doktrin Wahabisme dan sistem politik yang tidak demokratis.
Madawi al-Rasheed (2017)
meragukan langkah Arab Saudi kembali ke jalur moderasi Islam. Pasalnya,
potret politik dan sosiologis Arab Saudi tidak memungkinkan adanya masyarakat
yang terbuka, kritis, dan dialog konstruktif. Kerajaan masih melakukan
kontrol penuh terhadap pandangan dan pemikiran keagamaan. Faktanya, beberapa
ulama yang berseberangan dengan pemerintah ditangkap.
Padahal, menurut
Al-Rasheed, Islam sendiri sebenarnya mempunyai mekanisme untuk melakukan
reformasi dari dalam. Di dalam tradisi hukum Islam terdapat sejumlah mazhab
yang memungkinkan perbedaan dalam tafsir terhadap teks suci. Olah pikir
(ijtihad) mendapatkan tempat yang mulia dalam tradisi Islam. Jika benar mendapatkan
dua pahala, dan jika salah pun mendapatkan satu pahala.
Maka, komitmen Arab Saudi
untuk kembali ke jalur moderasi Islam sejatinya tidak hanya disambut dengan
euforia berlebihan. Kita punya tanggung jawab untuk mendiseminasikan paham
moderat yang sudah kokoh di negeri ini ke Arab Saudi.
Indonesia
sebagai model
Indonesia dikenal dunia
sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan mempunyai pandangan yang
moderat. Indonesia dianggap mampu menghadapi paham-paham ekstrem yang
berjubah agama dengan pendekatan deradikalisasi yang bersifat moderat. Jika
dibandingkan dengan Mesir dan beberapa negara lain di Timur Tengah, Indonesia
relatif masih jauh lebih berhasil dalam mengukuhkan moderasi Islam.
Saatnya kita mengekspor
moderasi Islam ke Arab Saudi dan negara-negara lain di Timur Tengah sehingga
kita bisa berperan lebih maksimal dalam mewujudkan perdamaian dunia
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kita selama ini belum
menjadikan wajah Islam rahmatan
lil ’alamin sebagai modal diplomasi dengan negara-negara
lain, baik di Eropa, Amerika Serikat, maupun negara-negara Timur Tengah.
Padahal, dunia sangat
membutuhkan paham keislaman yang moderat dan toleran untuk membentengi umat
dari paham-paham ekstremis. Arab Saudi jadi salah satu contoh betapa mereka
ingin meneguhkan moderasi Islam bersamaan dengan tumbuhnya generasi milenial
yang berinteraksi dengan dunia luar melalui media sosial. Mereka menginginkan
Islam yang inklusif, bukan Islam yang eksklusif.
Oleh karena itu, jika Arab
Saudi betul-betul ingin menempuh jalur moderasi Islam, diperlukan pemikiran
yang serius untuk meletakkan fondasi paradigmatik. Pertama, moderasi Islam
meniscayakan interaksi antara teks dan konteks, antara masa lalu, masa kini,
dan masa mendatang. Wahabisme tumbuh dalam konteks zamannya dan setelah
hampir tiga abad tentu perlu reformasi untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman. Dalam kaidah hukum Islam dikenal diktum: sebuah kebijakan berlandaskan
sebab-musabab (al-hukmu
yaduru ma’al illah wujudan wa ’adaman), termasuk—dalam kaitan
ini—konteks di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Kedua, moderasi Islam
meniscayakan apresiasi terhadap keragaman dan membumikan toleransi. Di mana
pun di muka bumi, kita akan menghadapi keragaman agama, suku, ras, bahasa,
jenis kelamin, dan orientasi seksual. Maka, sebagai makhluk Tuhan, kita mesti
menghormati, menghargai, dan menerima keragaman tersebut dan menyemainya
dalam hidup berdampingan dengan damai.
Ketiga, moderasi Islam
sejatinya dapat mengukuhkan demokrasi dan hak asasi manusia. Mayoritas dunia
Islam saat ini sudah menerima dan menerapkan demokrasi dan hak asasi manusia.
Itu artinya, sudah tidak ada lagi hambatan antara Islam dan demokrasi. Yang
menjadi persoalan saat ini adalah tegaknya nilai-nilai demokrasi dan hak
asasi manusia.
Ketiga hal tersebut tidak
mudah diimplementasikan oleh Arab Saudi karena mereka hidup dalam tradisi
yang masih mengukuhkan identitas soliter. Pelan-pelan mereka harus melakukan
”revolusi keagamaan” dan ”revolusi kebudayaan” dengan belajar dari
negara-negara lain yang sudah terbukti berhasil membumikan moderasi Islam.
Belajar dari Indonesia bukan hal yang mustahil. Arab Saudi harus menerima
kenyataan bahwa salah satu model moderasi Islam yang sudah mampu memperkokoh
solidaritas kebangsaan dan berperan dalam konteks kemanusiaan adalah Islam
Nusantara yang berkemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar