Hukum
Hammurabi dan Hukum Indonesia
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya
bermain dengan ikan-ikan air tawar
|
DETIKNEWS,
13 November
2017
Berabad silam, tepatnya pada
abad ke-17 sebelum Masehi, ada sebuah cerita masyhur tentang sejarah lahirnya
hukum. Konon, hukum di seluruh dunia ini bermula dari Hukum Hammurabi. Sebuah
sistem hukum yang dibuat oleh Raja Babylonia bernama Hammurabi. Ia membuat
Piagam Hammurabi yang berisi pasal-pasal hukum konstitusional untuk wilayah
Babylonia.
Aturan Hukum Hammurabi tertatah
di batu-batu besar yang ditemukan oleh para arkeolog di reruntuhan kawasan
Mesopotamia. Melalui temuan tersebut, Hammurabi secara tak langsung telah
ditahbiskan sebagai raja yang pertama kali membuat hukum. Sebab, hanya
Hammurabilah satu-satunya raja zaman kuno yang memulai kodifikasi hukum
secara rapi. Maka wajar jika dalam buku-buku diktat sejarah sekolah,
Hammurabi dianggap sebagai raja yang telah berjasa melahirkan konsep hukum
modern.
Pada zamannya, Hukum Hammurabi
memang dianggap sebagai seperangkat hukum dengan asas keadilan tunggal. Semua
pelaksanaan tata kelola negara harus diacu dari Hukum Hammurabi. Menurut Raja
Hammurabi sendiri, hukum itu tak serta merta tercipta dari ego pribadinya.
Melainkan lahir berdasarkan ilham yang datang dari Dewa Anu, Enlil dan Marduk
—para dewa utama dalam tradisi keagamaan Mesopotamia.
Ia dengan terang mengatakan
bahwa hukum Hammurabi ada "untuk menjaga keadilan di tanah ini, untuk
melenyapkan orang fasik dan jahat, untuk mencegah yang kuat menindas yang
lemah."
Hukum Hammurabi merupakan
prinsip sakral yang harus dipatuhi seluruh rakyat Babylonia. Tak boleh
dipertanyakan, harus dijalankan dengan taklid buta. Masyarakat harus percaya
dengan mantap bahwa Hukum Hammurabi memiliki kebenaran yang mutlak.
Tapi, apakah ujaran Raja
Hammurabi itu benar adanya? Jawabannya: tidak. Hukum yang diciptakan
Hammurabi tak lebih dari mitos yang jahat. Hukum Hammurabi justru
mengantarkan masyarakat Babylonia ke dalam zaman kegelapan yang mengerikan.
Ketika kebenaran ditutupi kabut hitam takhayul tentang para dewa.
Hukum Hammurabi justru berisi
aturan yang menindas dan menyengsarakan rakyatnya. Tak ada asas tentang
kesetaraan di hadapan hukum. Hukum Hammurabi menjalankan keadilan yang
sejatinya sama sekali tidak proporsional. Pada titik tertentu, bahkan
bersifat diskriminatif dan tolol.
Yuval Noah Hariri, sejarahwan
penulis buku Sapiens, menemukan fakta menarik dari Hukum Hammurabi ini. Dalam
hukum tersebut, menurut Yuval, masyarakat --yang merupakan objek hukum--
dibagi menjadi tiga kelas yaitu orang kalangan atas, orang biasa dan budak.
Sedangkan dalam kategori gender dibagi dua, lelaki dan perempuan.
Ada pasal hukum yang menyatakan
jika seseorang dari kalangan atas membunuh anak perempuan dari kalangan atas,
maka yang harus dibunuh adalah putri sang pembunuh. Bukan si pembunuh itu
sendiri. Tentu, aturan ini terdengar tolol karena si putri pembunuh yang tak
berdosa justru yang terkena hukuman.
Belum lagi pasal hukum yang
melihat strata kelas sosial masyarakat jadi bahan pertimbangan hukum.
Misalnya, seorang kalangan atas yang mematahkan tulang orang biasa atau
budak, mereka hanya perlu membayar beberapa shekel perak —mata uang
Babylonia— untuk menebus kesalahannya. Sedangkan bila orang biasa atau budak
yang melakukannya, mereka harus menerima hukuman dipatahkan tulangnya.
Semuanya harus patuh. Karena
Hukum Hammurabi, berlaku premis jika seluruh rakyat meu patuh hukum
berdasarkan hirarki sosialnya, maka kesejahteraan dan keamanan tercipta. Tapi
kita tahu bahwa Hukum Hammurabi tak lebih dari laku dungu seorang raja lalim.
Yuval Noah Hariri menduga inilah yang membuat imperium Babylonia berdiri
tegak dan langgeng dalam waktu yang lama. Karena masyarakat Babylonia
berhasil dibodohi oleh mitos bernama Hukum Hammurabi.
Hukum Hammurabi menjadi bukti
bahwa Raja Hammurabi merupakan raja yang fasis. Tapi, siapa pun takkan pernah
berani mengkritik hukum yang telah ia buat. Karena hukum itu turun langsung
dari para dewa dan barang siapa tidak percaya maka ia bakal terkena kutuk.
Situasi yang pernah terjadi
pada abad ke-17 SM di Babylonia itu agaknya sedikit mirip dengan apa yang
sedang mulai berlangsung di Indonesia saat ini. Barangkali dugaan saya ini
nampak berlebihan. Tapi, pada kenyataannya saya kira memang begitu.
Sekarang dengan mudah kita
melihat beberapa instrumen hukum tak ubahnya seperti pusaka keramat. Harus
ditaati dengan sepatuh-patuhnya dan tak boleh dikritik sama sekali. Mereka
yang mengkritik justru akan dianggap sebagai pemecah belah bangsa atau
sebutan konyol lainnya.
Akhir-akhir ini ada beberapa
instrumen hukum justru melahirkan pro dan kontra. Hal ini dikarenakan aturan
hukum itu yang motifnya ambigu. Baik dalam bentuk undang undang atau
peraturan yang dikeluarkan oleh penjabat negara. Pada ceruk tertentu,
beberapa produk hukum tersebut sangat rentan untuk dimanfaatkan sekelompok
orang.
Alih-alih membuat aturan untuk
menertibkan segala silang sengkarut masalah, aturan tersebut justru menjadi
alat bungkam untuk menjegal kelompok tertentu. Contohnya adalah Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Perppu Ormas.
Pada mulanya UU ITE dianggap
sebagai instrumen hukum yang diterapkan guna menjaga ketertiban masyarakat
dalam berinternet. Namun, pada praktiknya aturan hukum ini malah dipakai
untuk mengkriminalisasi orang-orang tertentu.
Dalam pasal 27 ayat 3 misalnya,
dibahas bahwa cyberbullying atau perundungan masuk dalam tindakan kriminal.
Meskipun tafsir terhadap cyberbullying itu sendiri sangat ambigu. Banyak ahli
hukum yang mengaku kesulitan mengartikan definisi ini. Alhasil, ada beberapa
warganet yang hanya ingin menyuarakan kritik, tapi justru berakhir di meja
hukum.
Hal serupa juga berlaku pada
apa yang terjadi dalam kasus Perppu Ormas. Lahirnya aturan ini
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pada beberapa kelompok radikal yang bisa
mengguncang kemapanan ideologi negara. Maka dibuatlah aturan Perppu Ormas
untuk membubarkan kelompok-kelompok yang berhaluan dengan ideologi negara.
Tapi sayangnya, Perppu Ormas
justru mengandung nuansa otoritarian. Aturan ini memiliki potensi untuk
mengebiri prinsip kebebasan berekspresi dan berserikat yang sudah termaktub
dalam konstitusi UUD 1945. Perppu Ormas seperti pisau bermata dua, di satu
sisi digunakan melindungi ideologi negara, namun di sisi lain justru bisa
dipakai oleh seorang oknum untuk menzalimi kelompok-kelompok masyarakat
marjinal.
Beberapa instrumen hukum yang
saya contohkan tadi bisa menjadi seperti narasi kanon kebenaran tunggal.
Artinya ia bisa menolak semua potensi kebenaran yang berada di luar motif
pembuat hukum. Tentu ini sangat berbahaya, bahkan ini merupakan tanda-tanda
munculnya fasisme. Hampir mirip dengan Hukum Hammurabi.
Produk instrumen hukum harus
kita ingat kembali sebagai bagian dari produk politik. Bahkan produk hukum
seperti undang-undang bisa muncul dari proses fungsi legislatif yang tak
bersih. Penuh intrik dan kepentingan. Goenawan Mohamad pun pernah menggambarkan
undang-undang seperti halnya tahu. Tercipta dari proses pembuatan menjijikkan
dan penuh aroma bacin, namun ketika jadi tahu tampak gurih dan kita
menikmatinya.
Kita juga harus ingat bahwa
produk hukum tercipta dari buah-buah pikiran manusia biasa yang bisa salah.
Bukan dari sabda dewa atau Tuhan. Jadi, semestinya semua produk hukum harus
memilik sifat oto-kritik. Semata-mata agar semua kekurangan dalam prinsip hukum
bisa dibenahi. Karena tidak ada produk hukum yang paripurna. Bukan malah
sebaliknya, produk hukum menjadi kebal kritik dan harus dipatuhi dengan mata
tertutup.
Tapi di negeri ini, ironi
memang tak pernah cuti. Dengan mudah, setiap pagi kita bisa menemukan berita
penuh ironi di televisi. Ketika para aktivis membela petani dikriminalisasi
dan masuk bui, di waktu lain ada seorang tersangka korupsi kelas kakap justru
bisa memasukkan orang lain ke bui hanya karena sebuah meme. Kita harus ingat
bahwa bangsa yang sehat adalah bangsa yang memperlakukan hukumnya secara
sehat. Begitu pun sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar