Gejala
Kelas Menengah Diskursif
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti Pusat
Penelitian Politik-LIPI
|
KOMPAS,
17 November
2017
Perkembangan dan diseminasi
informasi melalui sosial media telah menjadi tren kelas menengah Indonesia.
Populasi kelas menengah di Indonesia akan didominasi kalangan generasi
langgas berumur 15-39 tahun sebesar 34 persen pada tahun 2020 (Alvara, 2017).
Jumlah tersebut diproyeksikan
akan bertambah menjadi 50 persen pada 2025. Artinya, eksistensi kelas
menengah Indonesia akan didominasi kalangan generasi langgas yang akan
menandai perubahan transformatif, baik secara sosio-ekonomi maupun
sosio-politik. Transformasi sosio-ekonomi ditandai dari transisi material menuju
eksistensial, sedangkan transformasi sosio-politik ditandai dari transisi
analog ke digital.
Melek dan latah
Proyeksi demografi tersebut
memberikan konsekuensi besar terhadap produksi pengetahuan politik masa kini
dan mendatang. Hampir 54,3 persen informasi diperoleh secara daring melalui
media sosial dan hanya 11,9 persen diperoleh dengan non-daring (CSIS, 2017).
Besarnya aksesbilitas terhadap
informasi daring tersebut kemudian diindikasikan dengan keikutsertaan dalam
berbagai grup percakapan di media sosial, baik itu sifatnya penting maupun
hiburan. Dengan menjadi anggota berbagai macam grup percakapan di media
sosial berimplikasi pada rekognisi dan eksistensi kelas menengah hari ini
dalam bersosialisasi, baik itu di dunia maya maupun dunia nyata. Artinya,
beragam varian informasi yang didapat tersebut bukan dicari inti narasi dan
solusinya, tetapi semangat untuk memengaruhi dan mengintimasi orang lain.
Gejala seperti itu yang kini
jadi pola baru bersosialisasi di media sosial, yakni munculnya berbagai macam
posting & forwarding informasi ke berbagai grup, yang tujuannya bukan
dibaca melainkan untuk diapresiasi. Semakin banyak informasi yang dibagikan
tanpa mendalami makna substansi informasi semacam itu sebenarnya merendahkan
derajat kualitas diri warganet Indonesia.
Beragam informasi tersebut
membuat kelas menengah Indonesia menjadi kelompok melek dan latah terhadap
konteks sosial politik hari ini. Selain menjadi kelompok latah dan melek
secara politis, gejala lainnya adalah berkembangnya kelompok trans-privasi,
yakni menuliskan keluh kesah pribadi menjadi narasi publik melalui media
sosial.
Kalangan melek dan latah itu
yang menghasilkan gelombang intelektualisme publik tanpa dalil akademik
berbasis metodologis di ruang publik. Pergunjingan kebenaran suatu informasi
menjadi santapan saban hari kaum kelas menengah dalam berbagai akun grup
percakapan media sosial yang diikuti.
Oleh karena itulah keramaian
orang berkomentar itu kemudian disambut kesenangan orang untuk berhujat
secara bersamaan. Pada akhirnya yang kemudian terjadi adalah perseteruan,
baik itu secara verbal maupun visual, sehingga solusi tidak pernah mencapai
titik temu.
Sementara bagi mereka yang
masuk dalam kelompok kelas menengah trans-privasi adalah mereka yang
membentuk narasi publik melalui sosialisasi keluh kesah pribadi di media
sosial ataupun pergaulan konvensional. Informasi yang dibentuk dari narasi
privasi itulah yang justru dicari netizen karena akan membentuk relasi
keintiman secara digital.
Kedua gejala ini yang kemudian
saya sebut sebagai kelas menengah diskursif. Mereka adalah kelompok
masyarakat yang menggunakan dan memanfaatkan informasi sebagai eksistensi dan
sosialisasi sebagai individu ataupun kolektif.
Oleh karena itulah kelas
menengah sekarang ini sebenarnya adalah kelompok pengamat politik populer di
ruang publik hari ini dengan dalil
hanya berdasarkan informasi dari internet. Produksi pengetahuan berbasis
informasi daring itu yang mewabah di masyarakat. Labelisasi dan stigmatisasi
muncul karena membaca dan dipengaruhi beragam informasi tersebut.
Hal itu pula yang menimbulkan
intelektualisme publik menjadi terbelah tipis antara yang rasional,
emosional, ataupun radikal. Ketiga bentuk ekspresi tersebut yang kemudian
mengerucut pada produksi pengetahuan kelas menengah hari ini dalam menilai
dan bertindak. Konteks tersebut pula yang menjadikan populasi dan definisi
kelas menengah Indonesia tidak pernah secara tunggal diartikan secara populer
ataupun akademik dalam kajian sosial dan politik.
Perbincangan yang bisa konstruktif
dan destruktif terjadi setiap saat, kapan, dan di mana pun, di sosial media.
Orang berusaha menjadi eksis sekuat dan setinggi mungkin dengan merangkum
informasi, tetapi di satu sisi ada proses bantah-membantah yang tidak kalah
menarik bilamana perdebatan isu dan informasi tak kunjung selesai di dunia
nyata ataupun dunia maya.
Idealisme kemudian tumbuh
dengan sendirinya, tetapi sekadar kosmetik dan praktik selebrasi sesaat.
Sementara pragmatisme juga muncul pada saat bersamaan dengan mengedepankan
pemenuhan kepentingan sesaat.
Banyak wacana minim aksi
Berbagai macam informasi riil
atau hoaks kemudian dibahas dalam akun media sosial masing- masing yang
menghasilkan kubu pro, netral, ataupun kontra. Hal itulah yang memancing proses verifikasi dan triangulasi informasi
terjadi secara begitu instan dan cepat
sehingga hal itu yang menjadikan adiksi dan sugesti bagi kelas
menengah Indonesia untuk senantiasa memperbarui dan menambah informasi
terbaru.
Pada akhirnya gejala kelas
menengah diskursif tersebut hanya membentuk produksi wacana minim aksi nyata.
Selain itu, produksi wacana di media sosial tersebut juga kemudian masih
menempatkan faktor identitas dan primordialisme sebagai determinan penting.
Oleh karena itu, selebrasi
terhadap melimpah-ruahnya informasi di media sosial perlu dijadikan momentum
untuk meningkatkan literasi politik secara cerdas dan berintegritas.
Filterisasi informasi dan memilahnya sesuai dengan pandangan pribadi menjadi
hal yang urgen dan signifikan dilakukan untuk menjadi kelas menengah yang
kritis dan sebagai agens perubahan. Wacana di media sosial hanya menjadi
perayaan semu jika tidak diimbangi dengan pengetahuan baku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar