Era
Baru Agama Lokal
Rachmanto ; Alumnus Center for
Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), SPs UGM; Asosiasi Sarjana Filsafat Indonesia (ASFI)
|
DETIKNEWS,
14 November
2017
Para penganut agama lokal atau
penghayat kepercayaan di Indonesia boleh berbahagia. Pasalnya Mahkamah
Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan bersejarah tentang mereka.
Pada Selasa (7/11/2017), MK memberikan vonis tentang Penghayat Kepercayaan.
Menurut MK, pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 Undang-undang Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945. MK akhirnya menyatakan pasal
tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'.
Keputusan ini merupakan jawaban
terhadap gugatan yang dilakukan oleh para penghayat kepercayaan agar bisa
menuliskan keyakinan mereka di kolom KTP. Selama ini, mereka diberikan dua
opsi saat ingin mengisi kolom agama di KTP. Pertama, menulis kolom itu dengan
agama yang diakui oleh pemerintah. Kedua, mengosongkan kolom tersebut.
Konsep agama yang selama ini
dianut di Indonesia masih sangat terpengaruh dengan agama-agama besar di
dunia (world religions). Bahkan agama-agama yang diakui pemerintah semuanya
berasal dari luar Indonesia. Sebut saja Islam yang muncul di jazirah Arab,
Kristen (Protestan dan Katolik) dari wilayah Palestina, Buddha yang awalnya
hadir di Nepal, Hindu dari India, dan Konghucu dari Tiongkok. Agama-agama
yang "diakui" ini mendapat beragam fasilitas dari pemerintah,
sementara agama-agama lokal yang tumbuh dan berkembang di Indonesia dibiarkan
begitu saja. Padahal mereka juga bagian dari masyarakat Indonesia yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sehingga eksistensi mereka tidak boleh
dipinggirkan begitu saja.
Hal lain yang bermasalah,
standar yang digunakan dalam penggolongan agama di Indonesia (bahkan di
dunia) sangat bias dan meniru konsep "agama langit". Hal ini yang
menyebabkan pemeluk agama lokal tidak masuk dalam penduduk yang beragama.
Misalnya harus memiliki Tuhan yang disembah, ada ritual yang jelas, punya
pedoman dalam bentuk kitab suci, dan memiliki nabi sebagai utusan Tuhan.
Kriteria ini tentu saja sulit dipenuhi oleh banyak penghayat kepercayaan.
Penganut kepercayaan biasanya
memiliki konsep tuhan yang sangat abstrak, tidak memiliki ritual khusus
(seperti salat lima waktu, ibadah mingguan), dan ajarannya didapatkan secara
turun-temurun melalui lisan (sehingga tidak ada nabi dan kitab suci).
Jika merujuk Penetapan Presiden
RI Nomor 1/PNPS Tahun 1965, pada penjelasan Pasal 1 tentang agama diterangkan
bahwa "agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khing Cu (Confusius). Hal ini dapat
dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6
macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh
pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan
perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini."
Meskipun peraturan ini juga
memuat keterangan bahwa agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinta, dan
Taoism tidak dilarang di Indonesia, tetapi sudah cukup membuat perbedaan
antara "agama resmi" dan "tidak resmi".
Pemeluk agama lokal di
Indonesia tersebar di beberapa wilayah. Misalnya Wiwitan di Sunda, Kaharingan
di Kalimantan, Sapto Darmo di Jawa Timur, Kejawen di Jawa Tengah, Ammatoa di
Sulawesi Selatan, Parmalim di Sumatera Utara, dan sebagainya. Selama ini
mereka pun kerap mengalami perlakuan yang diskriminatif. Seperti kesulitan
untuk menikah, melamar kerja, mendapat akses layanan publik, dan sebagainya.
Pandangan masyarakat umum pun
setali tiga uang. Masih banyak di antara kita yang menganggap pemeluk agama
lokal sebagai pembawa ajaran bidah dan sesat. Menggabung-gabungkan ajaran
agama atau melakukan praktik yang sangat berbeda. Tidak heran, penghayat
kepercayaan sering dijauhi oleh masyarakat.
Ann Marie B. Bahr, dalam
bukunya Indigenous Religion menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat asli
mencampurkan elemen agama mereka dengan ajaran agama besar. Seringkali,
elemen agama asli lebih merujuk kepada spiritualitas, dan bukan agama. Ada
hal yang berbeda antara istilah agama dan spiritualitas. Agama hanya sebatas
aktivitas yang terpisah dari perilaku keseharian. Sementara spiritualitas
merujuk pada seperangkat perilaku dan praktek yang meliputi semua aspek
kehidupan (2009: 5).
Graham Harvey dalam Indigenous
Religions: A Companion memaparkan, pemeluk agama lokal sebenarnya merupakan
mayoritas pemeluk agama di dunia. Keberagaman agama lokal sama halnya dengan
keberagaman dalam hal bahasa yang digunakan, musik yang dibuat, dan tujuan
yang ingin dicapai oleh mereka. Beberapa agama lokal bisa berkembang, tetapi
ada juga yang dilarang atau dihancurkan. Ada pula agama yang beradaptasi
dengan kehadiran agama lain yang lebih mendominasi. Agama lokal pun dapat
ditemui di mana saja. Ada yang di wilayah kecil dan terbatas, ada di
perkampungan dalam hutan yang memiliki kontak sedikit dengan daerah lain, dan
ada pula yang hadir dan melakukan interaksi dengan kelompok lain (200: 3-4).
Hal ini menunjukkan isu agama lokal memang sangat banyak sehingga perlu
mendapat perhatian serius dan kajian yang lebih mendalam.
Kemenangan para penghayat
kepercayaan hanyalah langkah awal bagi mereka untuk terus memperjuangkan
keyakinan dan hak-hak mereka. Tidak ada jaminan, setelah KTP dan KK mereka
terisi, kehidupan mereka akan lebih baik. Tetapi setidaknya pemeluk agama
lokal/penghayat kepercayaan memiliki payung hukum yang mengakui eksistensi
mereka. Sehingga jika suatu saat ada perlakuan yang tidak menyenangkan, bisa
dilakukan upaya melalui jalur hukum. Hal penting lainnya, keputusan MK ini
harus segera disosialisasikan pemerintah ke masyarakat dan petugas pelayanan
publik terbawah. Sehingga tidak gagap ketika melihat ada KTP yang yang
mencantumkan agama sebagai penghayat kepercayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar