Daya
Beli Memicu Stagnasi
Enny Sri Hartati ; Direktur Eksekutif Institute for Development of
Economics and Finance
(Indef)
|
KOMPAS,
13 November
2017
Badan Pusat Statistik baru saja
merilis pertumbuhan ekonomi triwulan III- 2017 yang ternyata hanya 5,06
persen dibandingkan dengan triwulan III-2016. Capaian itu lebih baik
dibandingkan dengan dua triwulan sebelumnya yang hanya 5,01 persen. Namun,
masih jauh dari target pertumbuhan yang disepakati dalam asumsi makro APBN-P
2017, yakni 5,2 persen. Pada triwulan III-2017, produk domestik bruto atas
dasar harga berlaku Rp 3.502,3 triliun atau Rp 2.551,5 triliun atas dasar
harga konstan 2010.
Penyebab utama tidak
tercapainya target tersebut adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang
melemah. Pada triwulan III-2017, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,93
persen, turun dibandingkan dengan triwulan I dan II-2017 yang mencapai 4,95
persen dan 4,94 persen. Jelas, selama dua triwulan berturut-turut, daya beli
masyarakat mengalami pelambatan, jika tidak dikatakan mengalami penurunan.
Padahal, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB sekitar 56 persen.
Artinya, meski hanya turun 0,2 persen, tentu dampak gandanya signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Indikasi penurunan daya beli
sebenarnya jelas terlihat dari penurunan pertumbuhan konsumsi pada kebutuhan
pokok. Pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman turun dari 5,23 persen
menjadi 5,04 persen. Konsumsi pakaian dan alas kaki juga turun dari 2,24
persen menjadi 2,00 persen. Sebaliknya, konsumsi restoran dan hotel naik dari
5,01 persen menjadi 5,52 persen.
Fenomena tersebut tentu tidak
serta-merta dapat disimpulkan hanya sekadar terjadi pergeseran perilaku
masyarakat dari konsumsi non-leisure ke leisure atau kesenangan. Tentu benar
adanya jika ada sebagian masyarakat lebih memilih jalan-jalan atau berwisata
daripada kuliner. Namun, pilihan berwisata atau berkuliner itu tidak bisa
mewakili perilaku sebagian besar masyarakat yang masih mengutamakan kebutuhan
pangan.
Sebab, bagaimanapun, pangan
adalah kebutuhan pokok yang tak tergantikan. Jika secara agregat pertumbuhan
konsumsi makanan dan minuman turun, artinya masyarakat harus berhemat,
sehingga terpaksa mengurangi konsumsi pangan. Hal ini tentu dapat dipahami
karena porsi pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan rata-rata
sekitar 38 persen, meningkat dari sebelumnya yang di kisaran 26 persen.
Indikasi penurunan daya beli
juga dipertegas dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun 3,1 poin
menjadi 120,7 pada Oktober 2017. Pesimisme konsumen terhadap ketersediaan
lapangan kerja menjadi faktor pemicu utamanya. Indeks ketersediaan lapangan
kerja turun 5,8 poin menjadi 98,2. Selain itu, indeks penghasilan juga turun
0,1 poin menjadi 114,5. Penurunan indeks penghasilan tentu berdampak langsung
pada penurunan konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah. Ditambah, dampak
pencabutan subsidi listrik untuk pelanggan 900 volt ampere terhadap sekitar
19 juta rumah tangga. Pembayaran rekening listrik naik dua kali lipat, dari
semula sekitar Rp 80.000 per bulan menjadi Rp 170.000 per bulan.
Antisipasi
Masyarakat kelas menengah ke
atas bisa jadi tidak mengalami penurunan daya beli. Namun, implikasi dari
agresivitas kebijakan perpajakan disinyalir menyebabkan banyak konsumen
menahan dan menunda konsumsi. Indikasinya, sejak Januari 2017 pertumbuhan
dana pihak ketiga (DPK) di perbankan hampir selalu dua angka. Porsi tabungan
terhadap pendapatan naik 1 persen, menjadi 20,2 persen. Sebaliknya, rasio
konsumsi terhadap pendapatan turun 0,7 persen menjadi 65,7 persen. Porsi
pendapatan yang digunakan untuk mencicil pinjaman juga turun 0,3 persen
menjadi 14,1 persen.
Sementara itu, pemerintah
mengklaim tidak terjadi penurunan daya beli, tetapi hanya terjadi pergeseran
dari transaksi konvensional ke transaksi dalam jaringan (daring). Memang,
transaksi daring tumbuh cukup pesat. Namun, riset AC Nielsen menunjukkan,
yang mengalami penurunan bukan hanya pada pedagang dan toko ritel. Sisi hulu
perusahaan sebagai produsen barang penjualannya juga turun. Tingkat kapasitas
produksi atau level utilisasi pabrik banyak yang hanya berkisar 60-70 persen.
Pada Januari-September 2017, penjualan ritel tumbuh sekitar 2,7 persen.
Padahal, pada periode yang sama di 2016 tumbuh 7,7 persen.
Berkaca bahwa sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi konsumsi rumah tangga, tentu
indikasi penurunan daya beli masyarakat tidak bisa dianggap remeh. Polemik
penurunan daya beli, nyata atau tidak, harus segera diakhiri. Kebijakan
antisipasi jauh lebih tepat daripada menanggung risiko tinggi nantinya.
Ibarat tubuh terindikasi sakit, diagnosis yang tepat dan penanganan dini
maksimal akan menghentikan penyebaran penyakit. Oleh karena itu, dibutuhkan
kebijakan yang tepat dan cepat, tanpa banyak beretorika. Kenyataannya, angka
inflasi yang rendah belum cukup untuk memicu daya beli. Oleh karena itu,
harus ada peningkatan pasokan pangan agar harga pangan tidak berada pada
level stabil tinggi.
Aspek terpenting kedua adalah
kebutuhan lapangan kerja. Pada Agustus 2017 terjadi penurunan jumlah orang
yang bekerja hingga lebih dari 3,8 juta dibandingkan dengan Februari 2017.
Oleh karena itu, akselerasi industri merupakan keniscayaan. Hanya sektor
industri pengolahan yang mampu menyediakan lapangan kerja yang besar. Harus
ada upaya konkret, misalnya percepatan pembangunan kawasan industri investasi
pemerintah. Buktinya, kendati pemerintah telah mengeluarkan 16 paket
stimulus, realisasi investasi tetap menghadapi banyak kendala teknis. Tanpa
percepatan reindustrialisasi, sekalipun terjadi perbaikan harga komoditas,
porsi ekspor Indonesia masih akan tetap stagnan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar