Jumat, 03 November 2017

Buang Pikiran Rasis

Buang Pikiran Rasis
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 02 November 2017



                                                           
Diferensiasi ras manusia yang kodrati bukan untuk dilecehkan. Pelecehan terhadap ciri fisik manusia adalah pandangan rasis. Rupanya pandangan seperti itu terus berkembang hingga sekarang. Padahal, zaman sudah digital dan supercanggih. Generasinya pun sudah milenial yang superkreatif. Maka, ketika mendengar kabar ada seorang bocah siswa SD Negeri 16 Pekayon, Jakarta Timur, berinisial JS mengalami perundungan (di-bully) dengan cara dipanggil “mirip Ahok” karena bermata sipit, inilah cara pandang manusia tribal yang tersekat-sekat dengan ciri fisik, ras, kesukuan, dan sektarian.

Runyamnya lagi pelaku perundungan itu adalah temannya sendiri sesama bocah. Mereka adalah tunas-tunas muda bangsa ini. Kalau sejak dini di dalam pikiran mereka tumbuh cara pandang yang diskriminatif, apa kata dunia kelak?

Tetapi, apa yang terjadi pada anak-anak itu sesungguhnya representasi pikiran umum yang terjadi sekarang ini. Anak-anak sangat imitatif terhadap cara pandang orang dewasa. Kalau mau ditarik lebih jauh, kasus perundungan di atas adalah satu titik dari dampak ruang publik (politik) selama ini. Kepala Polres Jakarta Timur Komisaris Besar Andry Wibowo saja mengimbau agar orangtua hingga elite politik memberi contoh baik terhadap anak-anak.

Di ruang publik memang banyak contoh buruk yang ditonton langsung anak-anak kita. Bayangkan, di era keterbukaan dengan teknologi dan cara berkomunikasi yang canggih, informasi bohong (hoaks) pun “dipercaya”, terlebih mereka yang punya motif politik.

Panggung politik lebih mempertontonkan rivalitas sengit di antara elite politik. Demokrasi bukan lagi pertarungan sportif yang siap menang-siap kalah, melainkan saling menjatuhkan. Beda kubu politik langsung saling hujat, hingga menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Jauh dari demokrasi agonistik yang sangat menekankan pada dimensi pluralisme.

Dua contoh klasik, Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, adalah wajah demokrasi yang garang. Rivalitas elite berujung pada polarisasi sosial akut yang berlangsung hingga hari ini. Panggung politik (orang dewasa) banyak mempertontonkan dagelan politik hingga sikap-sikap rasis dan sektarian. Maka, ibarat peribahasa, “kalau guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari”. Semoga hal ini tidak terjadi pada pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.

Dan, kasus perundungan yang dialami bocah SD itu seperti pukulan telak ketika pekan lalu kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Spirit Sumpah Pemuda yang diucapkan pada 28 Oktober 1928 adalah menemukan kesamaan di antara perbedaan. Sumpah Pemuda adalah tonggak peradaban bangsa. Para pemuda zaman pergerakan mampu mendirikan bangunan “Indonesia” dari pilar-pilar keragaman pulau, suku, agama, ras, ideologi politik, organisasi pergerakan. Mereka menemukan “Indonesia” sebagai identitas nasional sekaligus ruang hidup bersama.

Kalau sekarang, justru ada gejala yang hendak memberaikan ruang hidup bersama itu. Inilah ancaman bangsa. Karena itu, kita harus melindungi anak-anak-korban maupun pelaku perundungan-dari pikiran-pikiran rasis yang diskriminatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar