Politik
Jaminan Kesehatan Nasional
Hasbullah Thabrany ; Tenaga Ahli pada Dewan
Jaminan Sosial Nasional
|
KOMPAS,
19 Oktober
2017
Dalam artikel Opini Kompas, 11
Oktober 2017, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan Fachmi Idris mengindikasikan pemerintah tak mau menaikkan
iuran dan bayaran ke fasilitas kesehatan. Alasannya, kenaikan akan membebani
rakyat.
Kata “membebani rakyat” kerap
digunakan banyak pihak untuk mendukung kepentingan politiknya. Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dirancang untuk secara teknis profesional
negara hadir memenuhi hak konstitusi rakyat. Sistem JKN dirancang tidak
membebani APBN. Program JKN menggunakan mekanisme asuransi sosial (gotong
royong) yang didanai sepenuhnya dari iuran peserta, bukan dari APBN.
Pemerintah hanya wajib membantu
penduduk miskin dan tidak mampu yang disebut penerima bantuan iuran (PBI).
Politik, dalam artian sempit parpol, tidak boleh ikut campur dalam JKN.
Itulah yang diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU
BPJS. Namun, kini JKN terperangkap dalam kepentingan politik.
Baik partai pendukung
pemerintah maupun partai oposisi, sama-sama menggunakan “persepsi informasi”
JKN sebagai dasar pengambilan keputusan. Politik adalah informasi dan
kepentingan. Dalam kepentingan politik, persepsi informasi lebih penting
daripada akurasi atau kebenaran informasi. Informasi keliru yang telah
“dipersepsi benar” tampaknya masih mendominasi kebijakan JKN.
Peran BPJS Kesehatan
Perjalanan JKN yang terus
diberitakan defisit selama empat tahun disikapi beragam. Tak bergemingnya
pemerintah dan DPR untuk mengoreksi defisit bisa jadi merupakan indikasi
ketidakpercayaan terhadap besaran defisit yang dikeluarkan BPJS Kesehatan.
Sebab, tak ada pihak lain yang memverifikasi besarnya defisit. Selama ini
BPJS tak transparan, sebuah pelanggaran terhadap UU SJSN. BPJS tak mau
membagi data klaim kepada pemerintah ataupun Dewan Jaminan sosial Nasional
yang ditugaskan UU BPJS sebagai pengawas eksternal. Bagaimana publik bisa
yakin defisit sebesar itu terjadi?
Bisa jadi, pemerintah dan DPR
menilai iuran PBI sudah berlebih. Selama ini BPJS mengungkap bahwa rasio
klaim peserta PBI berkisar 60-70 persen dibandingkan dengan klaim ratarata
semua peserta. Informasi itu sesungguhnya bias. Tak mungkin penduduk
berpendapatan rendah lebih sehat sehingga klaimnya rendah. Kemungkinan besar
yang terjadi peserta PBI tak menerima kartu peserta JKN-KIS atau kartu mereka
tak valid sehingga tak bisa digunakan.
Sementara Kementerian kesehatan
membayar 92,4 juta jiwa sebesar Rp 23.000 per orang per bulan tanpa
verifikasi kartu diterima. Bantuan iuran pemerintah seharusnya sesuai dengan
jumlah kartu JKN-KIS yang betul-betul valid diterima peserta. Melihat riwayat
klaim peserta PBI, bisa jadi sebagian pejabat memercayai bahwa pemerintah
membayar iuran PBI sudah berlebih, 30-40 persen atau berkisar Rp 5 triliun-Rp
10 triliun.
Jika angka kesakitan peserta
PBI sama dengan peserta lain, secara riil Kemenkes telah membayar iuran PBI
Rp 32.000-Rp 38.000 per peserta PBI yang menerima kartu valid. Akan tetapi,
apakah ada bukti valid seberapa banyak dari 92,4 juta jiwa peserta PBI yang
benar-benar menerima kartu yang valid?
Persepsi politis tentang
kinerja BPJS yang tak efisien juga bisa berperan pada keengganan menaikkan
iuran JKN. Pejabat Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(Kemenko PMK) meminta BPJS melakukan efisiensi biaya operasional untuk
mengurangi defisit. Kinerja BPJS menggalang pekerja penerima upah (PPU)
terbukti masih rendah.
Pada Oktober 2013, sudah
digelar konsensus BUMN bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sukabumi
untuk mendaftarkan semua pegawai BUMN. Sampai kini, hal itu belum tercapai.
Peraturan presiden mengenai JKN mematok pada Januari 2015 semua PPU sudah
menjadi peserta. Sampai kini belum tercapai. Proporsi PPU tiga tahun terakhir
tak berubah, sekitar 24 persen dari semua peserta. Lebih dari separuh peserta
JKN adalah peserta PBI. Dalam kondisi seperti itu, diberitakan bahwa direksi
BPJS menuntut pembayaran bonus. Maka, secara politis informasi defisit JKN
sulit diyakini kebenarannya.
Jika persepsi politis masih
terus menjadi dasar kebijakan, JKN akan terus kekurangan dana. Diperlukan
keterbukaan dan komunikasi efektif tentang fakta JKN.
Profesi kesehatan jadi korban
Defisit JKN yang berkelanjutan
akan menempatkan profesi kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan
petugas fasilitas kesehatan) yang merupakan garis depan (front liner) menjadi
korban pertama. Selanjutnya, peserta menjadi korban. Ketika emosi pasien
sangat rendah karena penyakitnya dan lelah mengantre, maka mudah terjadi
reaksi letupan emosional.
Tidak sedikit pasien peserta
JKN menghujat dokter/fasilitas kesehatan yang dinilai kurang bersahabat.
Sebagian pejabat pemerintah, petinggi BPJS, akademisi, dan politisi menuding
dokter dan fasilitas kesehatan melakukan fraud. Fraud tentu dapat terjadi,
tetapi seberapa besar? Banyak fasilitas kesehatan mengaku menerapkan kiat tertentu
yang dituding fraud untuk mengoreksi bayaran CBG (sistem pembayaran dengan
sistem “paket” berdasarkan penyakit yang diderita pasien) yang tidak menutup
biaya. Benarkah?
Pihak BPJS Kesehatan
menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuktikan bahwa besaran
bayaran CBG memadai dan fraud tidak terjadi. Gembar-gembor fraud atau moral
hazard mengemuka sebagai biang keladi defisit JKN. Semua perdebatan yang
terjadi lebih banyak bernuansa “politik bertahan” ketimbang mencari fakta
yang akurat.
Besaran tarif kapitasi Rp 8.000
per peserta per bulan tak naik selama empat tahun, padahal inflasi selama itu
mendekati 20 persen. Tarif tol selalu naik setiap dua tahun untuk mengoreksi
inflasi. Subsidi listrik, elpiji, solar, dan pupuk yang dikelola BUMN selalu
disesuaikan setiap tahun. Anggaran fasilitas kesehatan milik pemerintah
(puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah) mendapat alokasi APBN/APBD yang
juga naik setiap tahun.
Meski fasilitas kesehatan
swasta sudah ditekan habis, ternyata defisit JKN masih terjadi. Pertimbangan
politis tampaknya masih lebih dominan daripada pertimbangan teknis ekonomis.
Sampai kini, harga keekonomian layanan kesehatan belum pernah dihitung dan
disepakati bersama. Maka, gonjang-ganjing politik dalam JKN masih akan berlangsung.
Ketika pemerintah ingin “tak memberatkan” rakyat dengan harga-harga tertentu,
seperti BBM, listrik, gas, dan pupuk, pemerintah menyubsidi BUMN yang
mengelola komoditas tersebut. Ketika pemerintah secara politis ingin “tidak
memberatkan” rakyat dalam layanan kesehatan, dokter dan fasilitas kesehatan
swasta dipaksa dibayar harga di bawah biaya (below cost).
Padahal, UUD 1945 mewajibkan
negara memenuhi hak layanan kesehatan. Tidak ada hak BBM atau hak listrik
dalam UUD. Anggaran subsidi PBI tahun 2017 hanya Rp 25 triliun, tetapi
anggaran subsidi (yang tak diperintahkan UUD 1945) untuk BBM, elpiji,
listrik, dan lain-lain mencapai Rp 135 triliun, di antaranya untuk subsidi
BBM Rp 32 triliun dan subsidi listrik Rp 54 triliun.
Subsidi energi dianggap strategis
dan harga keekonomiannya disepakati. Sementara layanan kesehatan tidak
dianggap “strategis” dan belum disepakati harga keekonomiannya. Dalam kondisi
seperti itu, kebijakan ditetapkan dengan pertimbangan “persepsi politis” yang
lebih menonjol. Hanya keterbukaan informasi akurat tentang harga keekonomian
yang disepakati bersama yang dapat menyelesaikan kemelut JKN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar