Sabtu, 21 Oktober 2017

Menuju Kongres Ke-19 Partai Komunis China

Menuju Kongres Ke-19 Partai Komunis China
Steven Polhaupesy ;   Peneliti The Habibie Center
                                                      KOMPAS, 18 Oktober 2017



                                                           
Pada 18 Oktober 2017, China akan mengadakan pesta politik lima tahunan dalam sistem negara-partai (party-state system) melalui kongres ke-19 Partai Komunis China.

Meski hampir bisa dipastikan Xi Jinping akan terpilih kembali dalam periode kedua kepemimpinan (2017-2022) sebagai sekretaris Partai Komunis China (PKC) dan presiden China, penting untuk kita mempertanyakan, mengapa kongres ke-19 PKC relevan dalam memengaruhi perubahan kebijakan luar negeri China di tingkat kawasan dan global?

Terdapat dua alasan utama akan relevansi pentingnya kongres ke-19 PKC terhadap perubahan kebijakan luar negeri China. Pertama, pengaruh terhadap perubahan agenda politik Xi Jinping. Kedua, pergantian pemangku kebijakan pada tingkat birokrasi PKC, militer, dan pemerintah. Kedua hal ini menentukan kebijakan luar negeri China yang terlihat semakin agresif dalam lima tahun ke depan.

Agenda utama dalam kongres PKC adalah pidato politik Xi Jinping dan penjabaran arah ideologi serta kebijakan strategis PKC lima tahun mendatang. Kongres ke-19 PKC akan memberikan kesempatan bagi Xi Jinping memberikan landasan ideologi baru yang kemungkinan besar akan mengusung tema ”China-isasi Marxisme” (Sinicization of Marxism), yang dapat diartikan ciri khas politik China akan berwatak pada peradaban kultural ala Konfusianisme dengan berbasis revolusi dan reformasi kelas sosial.

Dalam konteks kebijakan luar negeri, relevansi ideologi China-isasi Marxisme berdampak terhadap pilihan pendekatan politik yang berciri khas pada superioritas peradaban dan hierarkisme kultural China serta perjuangan menempatkan posisi yang pantas bagi China dalam tatanan politik kawasan dan global. Apabila landasan ideologi itu terealisasikan, kebijakan luar negeri China akan jadi lebih agresif pasca-kongres ke-19 PKC.

Dalam sistem negara-partai China, birokrasi PKC memiliki posisi hierarkis tertinggi dan krusial dalam melegitimasi jalannya birokrasi pemerintahan. PKC berperan sebagai pembuat kebijakan yang menentukan landasan kebijakan untuk diimplementasikan oleh pemerintah.

Menariknya, ranking elite politik PKC lebih tinggi dibanding jabatan struktural pada birokrasi pemerintahan, di mana ini sering kali menyebabkan tumpang tindih klaim otoritas antara birokrasi PKC dan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan. Kongres ke-19 PKC memberikan kesempatan bagi Xi Jinping untuk menciptakan birokrasi yang efektif sekaligus menempatkan suksesor dan loyalis.

Melalui kampanye antikorupsi yang diusung Xi Jinping, lebih dari 200 pejabat tinggi PKC, militer, dan birokrasi pemerintah yang berasal dari faksi politik yang berseberangan dengan Xi Jinping berhasil dibungkam. Banyak posisi jabatan strategis birokrasi PKC menjadi lowong. Ini menjadi keuntungan rezim untuk menempatkan para loyalis Xi Jinping dalam birokrasi PKC, militer, dan pemerintahan melalui mekanisme kongres ke-19 PKC.

Selain berdampak positif terhadap alur koordinasi dan implementasi kebijakan luar negeri China yang lebih terkonsentrasi sesuai agenda politik Xi Jinping, perbedaan pendapat antar-elite birokrasi PKC, militer, dan pemerintahan juga dapat diredam. Dengan kata lain, koordinasi birokrasi dapat mendorong kebijakan luar negeri China menjadi lebih efektif, tetapi juga agresif pada saat yang bersamaan karena konsentrasi pengambilan kebijakan berpusat pada Xi Jinping.

Kebijakan luar negeri

Berdasarkan dua alasan di atas, terdapat tiga arena kebijakan luar negeri di mana China akan muncul lebih agresif setelah kongres ke-19 PKC. Arena pertama terlihat dalam konteks hubungan China-Amerika Serikat. Meski China memerlukan AS untuk menjamin stabilitas pertumbuhan ekonomi, tensi dinamika hubungan China-AS terus meningkat pasca-pelantikan Donald Trump sebagai presiden AS.

Dengan pendekatan politik China-isasi Marxisme, stabilitas dan menghindari friksi pada hubungan China-AS akan menjadi pilihan utama meskipun pada saat yang bersamaan China menanti momentum untuk memosisikan dirinya sebagai adidaya menggantikan AS.

Arena kedua terkait hubungan China-Taiwan. Kongres ke-19 PKC menjadi kesempatan bagi China merespons hasil pemilu Taiwan tahun 2016 serta kebijakan Taiwan yang pro-kemerdekaan di bawah rezim Tsai Ing-wen. Pasca-kongres ke-19 PKC, China akan mengintensifkan kebijakan prounifikasi dengan Taiwan demi mewujudkan kembali idealisme ”kebangkitan besar bangsa China” yang juga merupakan cita-cita revolusi dan reformasi China-isasi Marxisme, di mana ini juga akan meningkatkan dukungan nasionalistik rakyat China yang berdampak positif bagi legitimasi rezim PKC di bawah Xi Jinping.

Arena ketiga terkait perubahan kebijakan maritim dan pertahanan yang semakin agresif. Di bawah Xi Jinping, setidaknya beberapa kebijakan maritim dan pertahanan dapat dikatakan tergolong agresif, misalnya melalui pembangunan pulau-pulau buatan di Laut China Selatan (LCS), pengorganisasian ulang daerah komando militer dengan sebutan ”Teater Peperangan”, penetapan hukum implementasi perikanan Provinsi Hainan yang membatasi zona perikanan LCS, dan konsolidasi lembaga penegakan hukum urusan maritim yang berdampak pada modernisasi Coast Guard serta pelatihan nelayan sebagai milisi. Pasca-kongres ke-19 PKC, konsolidasi kekuasaan pada birokrasi PKC, militer, dan pemerintah akan memberikan keleluasaan bagi Xi Jinping melakukan manuver kebijakan luar negeri yang lebih agresif.

Perubahan agenda politik Xi Jinping serta perombakan struktur birokrasi partai, militer, dan pemerintahan akan berpengaruh pada kebijakan luar negeri China yang lebih bersifat agresif pada tataran politik kawasan dan global. Karena itu, penting bagi Indonesia mengamati kongres ke-19 PKC demi memahami arah sasaran kebijakan luar negeri China lima tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar