Sabtu, 14 Oktober 2017

Membangun Bangsa Berbudi

Membangun Bangsa Berbudi
Eka Budianta  ;   Sastrawan
                                                      KOMPAS, 14 Oktober 2017



                                                           
Jumat malam, ketika saya sedang menonton Kick Andy, telepon saya berdering. ”Kalau saya tiba-tiba lupa sudah menikah atau belum, itu termasuk demensia atau bukan?” kata Andy melucu. Sambil tertawa terbahak-bahak saya angkat telepon juga. Aduh, semoga tak mengganggu.

Ternyata yang menelepon Eka Budianta, seorang pengacara muda di Sungai Liat, Bangka. ”Pak, hari Jumat depan saya akad nikah,” katanya.

”Wah! Bagus, saya cari tiket sekarang. Tolong kirim undangannya.”

Saya masih tertawa-tawa dan terus menonton televisi. Acaranya hangat, tak boleh dilewatkan: mencegah kepikunan!

Siapakah Eka Budianta? Dia pemuda ganteng. Jangkung—183 cm, tampan, dan cerdas. Magister ilmu hukum lulusan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Segera dia kirim sebuah video ke ponsel saya. Isinya sepasang pemain tenis berbaju putih suci bertaburan bola. Di ujung video tertera undangan resepsi pernikahan diadakan di sebuah balai pertemuan di Kota Pangkal Pinang.

Sambil terus menonton televisi, saya pesan tiket ke Tanjung Pinang. Tak sampai 10 menit kemudian, tiket sudah dapat, lunas. Saya kirim pesan singkat. !Baik, saya datang. Pesawat saya mendarat di Tanjung Pinang pukul 10 pagi, ya.”

”Kami di Pangkal Pinang, Bapak! Bukan di Riau Kepulauan, tetapi di Bangka Belitung.”

Waduh! Inilah hasilnya kalau pesan tiket sambil nonton acara televisi superkocak itu. Baik, segera dikoreksi. Tunggu setengah jam lagi. Semua beres. ”Nama bandaranya Depati Amir, kan?”

”Betul, Bapak. Sampai jumpa.”

Sebetulnya terharu, tetapi juga senang.  Tentu saya tidak lupa mengajak istri. Tetapi sayang hampir pada tanggal yang sama dia punya acara lain. Sibuknya bukan main karena harus segera berada di Brussels, Belgia, untuk pembukaan acara Europalia. Putri bungsu kami pun menemaninya. Jadi, saya harus ke Pangkal Pinang seorang diri. Akan tetapi, tunggu dulu, saya tidak sendiri. Lima tahun silam, pada 2012, saya telah menemukan 18 orang Eka Budianta.

Barangkali kita juga masih teringat berapa banyak bayi diberi nama Basuki Cahaya Purnama? Cukup banyak, dan akta lahir pun dipasang di media sosial. Lebih banyak lagi, berapa yang diberi nama Bambang? Tidak terhitung. Dalam perhelatan pemilik nama Bambang di banyak kota, terkumpul ratusan orang. Karena itu, iseng-iseng saya cari di Facebook siapa saja bernama sama dengan saya. Maka, bertemulah saya dengan tiga perempuan bernama Eka Budianta dan 15 pria. Ketika saya surati, 14 di antaranya memberi balasan. Empat orang tidak berkabar sama sekali.

Meskipun begitu, saya kenali mereka dengan mudah. Yang satu tinggal di Jambi, hobi berburu. Satu perawat di Pulau Bintan. Satu lagi aparat pemerintah daerah di Ngawi, Jawa Timur. Dan terakhir, pengusaha servis sepeda motor di Sragen, Jawa Tengah. Lainnya membalas ala kadarnya, ragu-ragu, ataupun sangat antusias. Balasan paling ramah dan bersahabat datang dari Ibu Eka Budianta, sarjana lulusan IAIN yang bertugas di KUA Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Dia mengirim foto sebuah keluarga yang bahagia.
Yang paling antusias adalah pengacara muda dari Sungai Liat, Bangka. Dia menghubungi saya dan ingin bertemu saat berkunjung di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta. Sayang sekali saya sibuk dan tidak berhasil menemuinya. Hanya dia kirim foto melalui WA, sedang berpose di kolam depan gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Untunglah, tahun berikutnya saya ke Yogya, dan segera mengirim SMS kepadanya, ”Kalau tidak sibuk, saya tunggu di lobi Ambarukmo.”

Betul saja. Sebentar kemudian datanglah pemuda supertampan itu. Tunggu dulu. Mana kartu tanda penduduk? Dia mengeluarkan surat izin mengemudi (SIM) juga. Serentak kami membandingkan kartu-kartu identitas kami. Semua namanya sama, tidak beda satu huruf pun. Dia mau mengeluarkan kartu ATM dan kartu kredit. Tidak usah! Harus dicegah. Kartu ATM tidak memuat foto, alamat, tempat tanggal lahir, dan sebagainya. Jika tertukar, hanya karena namanya sama, bisa berbahaya.

Rendah hati

Mengapa orang suka menamakan putra-putrinya dengan nama-nama yang paling disukai? Pertama, karena berharap punya karakter bagus. Kedua, karena kagum. Ketiga, karena punya kenangan indah. Keempat, tanda terima kasih dan syukur, dan seterusnya, dan seterusnya. Contoh yang sering disebut adalah kebiasaan Prof Sumitro Djojohadikusumo. Dia menamakan anaknya Subiyanto (Prabowo) untuk mengenang kakaknya yang gugur dalam revolusi. Sementara Hashim adalah tanda terima kasih kepada pengusaha Hashim Ning.

Saya tidak pernah bertanya mengapa ibu dan ayah memanggil saya Eka Budianta. Namun, saya dengar mereka berharap anak pertamanya berbudi pekerti. Nah, ketika saya tanyakan mengapa orang-orang itu menamakan anak mereka Budianta atau Budianto, jawabnya sederhana: berbudi (pekerti)lah kamu! Jelasnya agar kita hidup rendah hati.

Jika kemudian jadi angkuh, sombong, arogan, dan lebai, mungkin sedang mabuk saja. Keblinger sementara. Kita semua sering mengalaminya. Begitu juga bangsa Indonesia dan semua bangsa di dunia. Ada saatnya seseorang atau suatu kaum mengalami defisit intelektualitas, inflasi budi pekerti, dan anjlok nilai-nilai luhurnya. Contoh, tibatiba saja ada seseorang berseru hanya kelompoknya yang cocok dan mendukung Pancasila. Kelompok lain boleh dibubarkan saja.

Nah! Impul-impuls begini tidak boleh merusak perasaan kita. Dan sebaiknya memang tidak diizinkan secara sengaja mengganggu atau merusak kedamaian dengan alasan apa pun. Tidak sadar, alpa, dan lalai tidak bisa dibenarkan.

Pertengahan Oktober 2017, saya pastikan hadir dalam pernikahan Eka Budianta, seorang pengacara brilian yang namanya persis sama dengan nama saya. Tentu saya akan berbahagia dan berpesan agar terus menjunjung nama baik kami. Semoga tidak seorang pun di antara kami yang menjadi koruptor, apalagi teroris. Semoga juga tidak ada yang menjadi korban penipuan, tabrak lari, ataupun terbentur pintu kaca karena demensia.

Kami akan berdoa semoga hidup berlangsung aman dan sejahtera. Lebih dari itu, semoga kami bisa membantu membangun bangsa yang berbudi-pekerti. Tidak ada yang lebih indah selain ikut membesarkan bangsa mulai dari diri kita sendiri.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibunda dan ayahanda Eka Budianta di Pulau Bangka yang telah memilih nama itu.

”Ibu senang mendengar suara Pak Eka ketika menjadi penyiar radio BBC di London,” katanya. Ayahnya pun setuju. Maka, jadilah saya salah satu orang paling bahagia.

”Namamu dipilih bukan karena kamu terkenal,” pesan seorang teman saya. ”Mungkin mereka berpikir dan berharap kamu punya sifat baik, ramah, dan murah hati.” He-he-he. Sembari saya menonton televisi atau tidak, harapan seperti itu tak boleh dicederai. Jika bisa, diperjuangkan bukan untuk diri-sendiri, melainkan untuk seluruh keluarga dan bangsa besar Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar