Kritik
Keberagaman
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah
|
KOMPAS,
12 Oktober
2017
Agama secara normatif-ideal itu serba bagus dan indah diceritakan.
Tetapi, agama sebagai realitas sosial yang ditampilkan oleh pemeluknya tak
sepi dari kekurangan dan penyimpangan. Maka, wajar kalau agama yang awalnya
sebagai kekuatan kritik sosial dalam perjalanannya sering kali jadi sasaran
kritik.
Kritik yang cukup tajam yang dialamatkan pada praktik
keberagamaan antara lain datang dari Karl Marx. Dalam pandangannya, banyak
orang lari pada kehidupan beragama sebagai pelarian karena kalah bersaing
dalam perebutan kekuasaan politik dan ekonomi. Mereka letih dalam perang
ekonomi, lalu mencari ketenangan dalam dunia metafisik.
Dalam ruang agama, seseorang akan memperoleh penawar dan
hiburan, tak usah khawatir dan bersedih kehilangan kenikmatan dunia, karena
Tuhan akan memberikan ganti kenikmatan akhirat yang jauh lebih indah dan
membahagiakan. Kritik serupa juga datang dari Nietzche. Karena kalah dalam
persaingan dan perebutan kekuasaan, orang beragama akan lari pada Tuhan yang
diyakini maha besar dan kuasa agar membantunya dalam mengalahkan lawan-lawan
yang menindasnya.
Jadi, dalam pandangan Marx, Tuhan akan menyediakan surga
bagi orang beragama sebagai kompensasi kekalahan di dunia, sedangkan
Nietzche, agama akan menghadirkan
Tuhan yang mahakuat untuk membebaskan ketertindasannya. Sementara Freud punya
kritik senada, menganggap orang beragama itu karena mengalami krisis kasih
sayang lalu mengharapkan kehadiran Tuhan yang mahakasih untuk menenteramkan
dan menghibur jiwanya yang gundah gulana.
Apakah berarti Marx, Nietzche dan Freud anti-Tuhan dan
antiagama? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Yang jelas, yang mereka kritik
adalah perilaku orang beragama berdasarkan pengamatan dan pergaulan mereka
semasa hidupnya di lingkungan sosial yang tengah gandrung terhadap
rasionalisme, saintisme, dan modernisme. Kehidupan beragama mereka anggap
sebagai pelarian dan hiburan bagi orang yang kalah dalam persaingan hidup dan
tidak mau kerja keras. Mereka mengkritik dunia, kecewa terhadap dunia, lalu
lari ke alam metafisik. Akibatnya, perkembangan dunia dikuasai dan
dikendalikan oleh saintis dengan kecanggihan teknologinya, sementara orang
beragama lebih sibuk dan menghibur diri dengan dunia metafisik, menawarkan
keselamatan dan kemenangan setelah kematian.
Historisitas agama
Meskipun obyek kajian dan perhatian utama agama adalah
alam metafisik, sesungguhnya semua pemikiran dan perilaku keberagamaan
berangkat dari dan berakar pada kehidupan nyata yang bersifat
historis-sosiologis. Sepanjang yang beragama manusia, maka pemikiran dan
perilakunya terbentuk oleh tradisi dan lingkungan sosialnya di mana seseorang
lahir dan tumbuh. Keberagamaan adalah bagian dan kebutuhan eksistensial
manusia. Meskipun agama tidak selalu ilmiah dan rasional, agama secara
fungsional memberikan ketenteraman jiwa dan makna kehidupan.
Secara ontologis agama yang diyakini datang dari Tuhan,
ketika dipahami dan dikembangkan oleh pemeluknya dalam pelataran sejarah,
maka mesti membaur antara yang diyakini suci dan yang profan. Membaur antara
teks kitab suci dan penafsiran serta pemahaman pemeluknya sehingga pemahaman
agama yang murni sesuai kehendak Tuhan itu tak pernah ada. Misalnya saja Al Quran, pemahaman
masyarakat Arab hari ini dan masyarakat Arab abad keenam sudah pasti berbeda
perspektifnya. Lebih berbeda lagi ketika Al Quran dipahami oleh masyarakat Indonesia
dengan lingkungan alam serta bahasa yang sangat berbeda. Sementara karakter
dan kekayaan khazanah bahasa Indonesia sangat berbeda dan tak sekaya bahasa
Arab dalam hal idiom dan kosakatanya.
Makanya, logis jika pendekatan dan terjemahan tekstual terhadap
Al Quran mengalami distorsi dan deviasi makna. Meminjam istilah Gadamer,
perjumpaan pembaca dan sebuah teks itu akan melahirkan the fusion of
horizons. Teks akan memengaruhi pembacanya, dan subyektivitas serta wawasan
pembaca juga akan memengaruhi pesan teks yang muncul. Tentu saja umat Islam
yakin bahwa Al Quran itu hanya satu dan pasti benar adanya karena merupakan
himpunan kalam Tuhan. Namun, nalar manusia yang memahaminya terbatas dan
pemikirannya pun merupakan produk sejarah, tak akan bisa terbebas dari
kekurangan dan keterbatasan ketika menafsirkan teks Al Quran.
Pengetahuan manusia tetap relatif, tak absolut, meski tak
berarti meaningless dan jatuh pada nihilisme. Jadi, kalau hari ini dunia
Islam mengenal mazhab Suni, Syiah, dan mazhab lainnya lagi, sudah pasti di
masa Rasulullah tak dikenal mazhab-mazhab itu. Semuanya itu produk penafsiran
atas teks, baik teks Al Quran maupun teks Hadis dan buku-buku sejarah, yang
senantiasa berkembang terus. Pemikiran dan pemahaman atas teks akan melahirkan
tindakan yang ketiganya tanpa disadari cerminan dari kondisi sosial dan
semangat zamannya. Misalnya, ada masa di mana umat Islam Indonesia sangat
peduli dan gigih memperjuangkan kemerdekaan sehingga perbedaan mazhab itu tak
mengemuka.
Makanya terdapat sederet pejuang wanita Islam yang tak
berjilbab, tetapi tak pernah dipersoalkan. Begitu pula para istri kiai cukup menutup rambut
sekadarnya saja. Lalu teman-teman Ahmadiyah dan penganut Syiah hidup
tenang-tenang saja, tak pernah merasa terancam. Namun, sekarang topik itu
selalu jadi bahan perdebatan. Jadi, pemahaman dan tindakan keberagamaan itu
tidak pernah tunggal dan selalu berkembang dinamis, dipengaruhi zamannya.
Dulu kata ”kaum sarungan” itu selalu dikaitkan dengan kaum
santri yang taat menjalankan agama. Sekarang muncul fenomena baru, simbol
jemaah yang militan dalam beragama itu sering dikaitkan dengan mereka yang
”bergamis” dan mereka yang mengenakan ”celana cingkrang” serta memelihara
”jenggot”. Ini semua merupakan teks sosial, pesan apakah yang hendak
disampaikan oleh simbol-simbol itu, adakah simbol-simbol itu mencerminkan
realitas yang sejati dan obyektif, kita tidak tahu karena yang kita tangkap
sebatas penanda atau teks yang bersifat simbolik.
Mengutip pendapat Jean Baudrillad, di era visual,
signifier tidak selalu mencerminkan realitas signified. Antara penanda dan petanda tak selalu
berkorelasi positif karena citra lebih diutamakan ketimbang substansi.
Makanya bermunculan sampah visual yang menipu yang selalu menyergap kita.
Ekspresi keberagamaan umat Islam di Barat dan di Timur Tengah, misalnya,
berbeda lagi. Di kawasan Arab, sekalipun mereka tinggal di daratan yang sama,
agama, dan bahasa juga sama, umat Islam tersebar di 20 negara yang sampai
hari ini bertengkar terus.
Lebih dari itu, identitas keislaman telah direduksi menjadi penganut Suni dan
Siah. Ditelusuri lagi terbagi antara teman dekat Saudi dan Iran. Kondisi dan
semangat zaman Timur Tengah hari ini sangat berbeda dari Indonesia sekalipun
pengaruh dan imbasnya sampai ke sini. Negara-negara Arab yang menganut sistem
demokrasi tengah mengalami krisis dan gejolak, sementara yang berada di bawah
kesultanan rakyatnya lebih tenang dan terkendali. Ada lagi varian yang ingin
memperjuangkan sistem khalifah. Dari semuanya itu, mana yang lebih Islami?
Masing-masing punya logika dan kondisi sosial yang berbeda. Yang bisa kita
lakukan adalah memahami lebih dahulu sesungguhnya apa yang terjadi, bukannya
langsung menghakimi.
Kekuatan peradaban
Jika dirunut ke sejarah awal mula agama muncul, setiap
agama selalu memiliki agenda membangun peradaban. Ingin membebaskan rakyat
dari kemiskinan dan kebodohan, serta menawarkan kedamaian. Semangat ini
sangat sejalan dengan cita-cita dan agenda kemerdekaan Republik Indonesia.
Oleh karenanya, umat Islam Indonesia merasa terpanggil, bersama kekuatan
sosial lain, untuk memperjuangkan kemerdekaan agar warga Nusantara yang
tersebar di ribuan pulau ini memiliki rumah bangsa dan negara yang berdaulat
agar rakyatnya cerdas dan sejahtera. Sadar akan kebinekaan etnis, bahasa,
agama, dan kondisi geografis yang merupakan negara kepulauan, sejak awal para
pendiri bangsa secara genius dan visioner mewariskan moto: Bhinneka Tunggal
Ika.
Kebinekaan ini merupakan kenyataan dan modal sosial. Bukan
lagi Indonesia kalau keragaman ini hilang sehingga kita semua mesti
merawatnya. Nilai luhur yang jadi landasan dan juga tujuan bernegara itu
dirumuskan dalam Pancasila. Seiring berjalannya waktu, hubungan agama dan
negara secara politis kadang memunculkan masalah serius. Definisi negara dan
agama berkembang mengingat agama sebagai realitas sosial juga telah berbaur
dengan tafsiran dan kepentingan pemeluknya. Begitu pun negara yang
dibayangkan oleh generasi pejuang kemerdekaan dan politisi hari ini terdapat
perbedaan persepsi dan perspektif.
Konsep kedaulatan dan kemandirian yang dibayangkan pendiri
bangsa tak lagi populer di era globalisasi ini, diganti dengan konsep
kemitraan dan kontrak kerja sama meskipun dalam praktiknya terselubung penguasaan dan kolonialisasi
oleh negara yang lebih kuat sebagaimana masa pra-kemerdekaan. Artikulasi dan
partisipasi sosial umat Islam tidak lagi solid dan fokus seperti masa
pra-kemerdekaan, kecuali Muhammadiyah yang konsisten mengurus pendidikan dan
rumah sakit serta jajaran kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang istiqomah mengurus
pesantren dan masyarakat. Umat Islam memiliki tradisi dan andil membangun
demokrasi karena dari dulu sudah terbiasa berserikat di luar wilayah negara.
Namun, ketika kultur dan mekanisme demokrasi telah menjadi
bagian dari gerakan global yang dimotori oleh negara, umat Islam terlambat
memahami dan mengantisipasi sehingga mereka tidak mampu mengapitalisasi
mayoritas suaranya sebagai pilar utama memajukan Indonesia. Umat Islam merasa
memiliki modal suara, tetapi terpecah-pecah ke dalam parpol tanpa
kepemimpinan politik yang solid, mumpuni, dan visioner yang diterima semua
pihak. Anggapan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim
dipertanyakan oleh kelompok radikal
yang kadang mengafirkan sesama umat Islam. Jangan-jangan di mata mereka,
jumlah umat Islam tak sampai 25 persen penduduk. Jika ditanyakan pada
politisi, jangan-jangan porsi politik umat Islam minoritas. Belum lagi jika
dilihat dari aspek ekonomi.
Semua jawaban yang muncul bersifat subyektif karena
perspektif dan penafsiran atas negara dan agama juga subyektif, dipengaruhi
oleh kepentingan masing-masing. Secara administratif-demografis, pemerintahan
sekarang ini mayoritas adalah Muslim. Tetapi, oleh sebagian kelompok dianggap
thaghut atau berhala kafir. Padahal, keislaman orang Indonesia dalam hal
menjalankan ritualnya jauh lebih baik dibandingkan umat Islam di negara lain.
Demokrasi saat ini lebih dimaknai sebagai perebutan kekuasaan dengan
mengandalkan mayoritas suara.
Dalam konteks ini, sentimen dan simbol keislaman menjadi
instrumen politik yang efektif untuk
membangun solidaritas emosional guna memenangkan sebuah pertarungan
demokrasi. Namun, jika mayoritas itu hanya sekadar kerumunan yang bermental
crowd mentality, pasti akan kalah dalam persaingan politik dan ekonomi karena
miskin kompetensi teknokratik dan jaringan ekonomi global sekalipun mereka
memiliki jatah dalam lembaga legislatif. Artinya, keunggulan jumlah angka
tidak menjamin umat Islam jadi pilar dan penggerak peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar