Senin, 16 Oktober 2017

Investasi Migas dan ”Gross Split”

Investasi Migas dan ”Gross Split”
Ari Soemarno  ;   Mantan Dirut Pertamina; Konsultan Migas
                                                      KOMPAS, 16 Oktober 2017



                                                           
Sejak lebih dari 17 tahun terakhir, cadangan dan produksi minyak bumi Indonesia terus konsisten menurun. Apabila pada 2000 produksinya masih sekitar 1,5 juta barrel per hari (bph), saat ini sudah di bawah 800.000 bph.

Penurunan ini diakibatkan oleh menuanya lapangan produksi yang memasuki tahap penurunan alami, dengan sumber produksi baru terbatas yang tidak dapat menggantikan volume penurunan produksi. Untuk gas bumi, walau masih lebih baik, juga terus menurun beberapa tahun terakhir. Minimnya penemuan lapangan baru adalah akibat iklim investasi yang tidak kondusif yang berdampak terhadap kurangnya minat khususnya kegiatan eksplorasi pencarian cadangan baru.

Penerapan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas pada kenyataannya mengakibatkan pelaksanaan kegiatan hulu migas menjadi sangat birokratis, pemberian persetujuan dan pengambilan lamban, dan perizinan menjadi luar biasa banyak. Ditambah lagi adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi berupa beban pajak dan keterjaminan kontrak (sanctity of contract). Kesemuanya membuat investor frustrasi dan yang sudah beroperasi pun mulai meninggalkan Indonesia.

Hal itu tecermin dari penemuan baru cadangan migas bernilai komersial di Indonesia 2003-2013 menjadi yang terendah di ASEAN (bahkan di bawah Brunei). Padahal, pada kurun waktu itu harga migas terus meningkat dan bahkan mencapai harga spot 140 dollar AS per barrel di 2008, di mana perusahaan migas pada masa itu membukukan keuntungan dan agresif investasi di sektor hulu migas di seluruh dunia, tetapi tidak di Indonesia.

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, industri migas menaruh harapan besar akan menjadi lebih baik. Namun, tiga tahun kemudian kondisinya malah sebaliknya. Lihat saja realisasi komitmen investasi sangat rendah, sampai akhir Juni 2017 hanya 30 persen untuk eksploitasi dan 3 persen untuk eksplorasi.

Memang ada upaya perubahan, dengan terbitnya PP No 27/2017 sebagai pengganti PP No 79/2010. Meski ada beberapa hal positif, hal itu belum dapat diterima dengan baik oleh investor karena beberapa isu penting tak diakomodasi. Daya tarik investasi menjadi tak membaik, diperparah oleh rendahnya harga minyak mentah sejak 2014 sehingga investor sangat selektif menanamkan modalnya.

Indonesia saat ini dinilai salah satu negara paling tak menarik untuk investasi di sektor hulu migas. Menteri ESDM kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No 08/2017 dan Permen No 52/2017 mengenai skema bagi hasil baru, gross split, menggantikan yang selama ini berlaku, net split. Meski telah dilakukan berbagai upaya untuk sosialisasi, investor menyambut dingin dan negatif.

”Net split” vs ”gross split”

Kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) net split merupakan ciptaan Indonesia dan pertama kali diterapkan di dunia tahun 1961 di satu lapangan di Aceh. Intinya, kontraktor menanggung semua biaya dan risiko investasi. Jika ditemukan cadangan migas yang bisa dikomersialisasikan, maka seluruh biaya investasi dan produksi diganti (terkenal dengan istilah cost recovery). Dari hasil bersih produksinya (termasuk dari pajak), pemerintah memperoleh 60-85 persen (tergantung minyak atau gas dan lokasi).

Jika tak ditemukan cadangan komersial, seluruh biaya jadi beban kontraktor. Skema ini dikembangkan sebagai pengganti sistem royalty & tax (mirip kontrak pertambangan mineral), di mana PSC net split dinilai paling sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Skema ini telah jadi acuan kontrak hulu migas di banyak negara di dunia. Dalam kurun 55 tahun lebih penerapannya, skema ini telah membuat Indonesia menjadi produsen migas besar dunia dan penyumbang pendapatan negara yang sangat penting.

Sementara skema PSC gross split sesuai Permen No 08/2017 dan Permen No 52/2017 adalah penerapan bagi hasil kotor (gross) atas produksi yang dihasilkan tanpa perlu mengganti biaya investasi maupun biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor sehingga cost recovery tak ada lagi.

Kontraktor mendapat suatu besaran bagi hasil dasar (base split) plus kemungkinan adanya penyesuaian split dan investor akan dikenakan pajak atas keuntungannya. Secara teoretis memang jadi lebih sederhana. Insentif fiskalnya dalam kondisi teknis migas dan besaran perpajakan tertentu bisa jadi sama dengan net split. Namun, terdapat beberapa hal dalam ketentuannya yang jadi ganjalan.

Pertama, besaran bagi hasil (split) final tak bisa dipastikan dari awal karena base split akan disesuaikan atas dasar 10 komponen variabel dan itu baru dapat dinegosiasikan setelah karakteristik teknis cadangan migas diketahui. Hal ini menyulitkan calon investor untuk melakukan eksplorasi cadangan baru dalam kalkulasi risiko dan perkiraan pengembalian investasinya.

Kedua, terdapat tiga komponen variabel lain (komponen progresif), yang atas dasar itu menteri memiliki diskresi sepihak untuk menyesuaikan split-nya sewaktu-waktu. Ketentuan ini menjadikan keterjaminan kontrak menjadi kabur.

Ketiga, adanya ketentuan untuk membatasi keuntungan kontraktor termasuk akibat faktor eksternal seperti pergerakan harga migas.

Ketiga hal ini menjadi tak realistis untuk kegiatan hulu migas yang padat modal, padat teknologi, berisiko tinggi, dan berjangka panjang. Apalagi pada pola bisnis di mana investor harus menyediakan semua modal investasi dan modal kerjanya serta dalam kondisi persaingan ketat antarnegara untuk menarik investasi.

Kalau ketiganya dihilangkan, kemungkinan akan bisa menjadi skema yang menarik, tetapi gross split pada dasarnya menjadi tak beda dengan skema royalty & tax. Konseptor gross split terlihat ingin menggabungkan pola royalty & tax dengan PSC net split. Hal ini mustahil karena keduanya memiliki dasar pemikiran yang berbeda.

Langkah ke depan

Gross split sebagaimana adanya bisa membuat iklim investasi lebih parah lagi. Kondisi sekarang saja sudah berada pada titik terendah dalam sejarah sektor hulu migas negara kita. Pemerintah sebaiknya duduk bersama dengan pelaku usaha dan para pakar untuk menerima dan mengadopsi masukan yang diberikan. Iklim investasi yang menarik dan bersaing mutlak diperlukan dan untuk itu pola bagi hasil migas yang menarik bagi investor dan bisa bersaing dengan pola yang berlaku di negara lainlah yang diperlukan.

Di sektor hulu migas kita sudah tidak memiliki lagi keunggulan komparatif. Karena itu, kita harus bisa menunjukkan keunggulan kompetitifnya. Migas adalah komoditas energi yang sangat strategis dan menguasai hajat hidup hampir semua orang, yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) dan nilai tambah besar bagi kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Ini yang membedakannya dengan komoditas sumber daya alam lain.

Kalaupun sekarang iklim investasinya kondusif dan memiliki daya saing kuat menarik investasi, perlu minimal 10 tahun untuk mendapat buah hasilnya. Sementara itu, produksi migas akan terus menurun dan konsumsi pasti terus meningkat. Akibatnya, ketergantungan dari impor akan terus membengkak. Apakah untuk itu sudah dipikirkan cara mengamankan sekuritas dan kontinuitas pasokannya, yang akan memerlukan puluhan miliar dollar AS untuk investasi infrastruktur hilir dan modal kerja? Sepertinya belum.

Tantangan di sektor energi memang luar biasa beratnya, tetapi kita tidak boleh gagal. Diperlukan profesionalitas, pemahaman mendalam, pengalaman, keberanian, dan kebersamaan untuk mengatasinya. Harus ada terobosan-terobosan dan bukan trial and error.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar