'Deadlock'
RUU Pemilu
Ahmad Irawan ; Advokat; Peneliti Hukum Tata Negara dan Pemilu “Constitutional
and Electoral Reform Centre "Correct"; Presidium Masyarakat
Konstitusi Indonesia "Indonesian Constitution Society"
|
DETIKNEWS, 19 Juni 2017
Presiden melalui Menteri yang ditugasi ngotot agar presidential threshold yang lama
diberlakukan. Ketentuan presidential
threshold yang lama, partai politik atau gabungan partai politik harus
mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk dapat
mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Jika keinginan itu tidak diakomodasi, maka presiden
mengancam akan menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu. Meski ancaman menarik diri itu disampaikan Mendagri
Tjahjo Kumolo, sikap tersebut dapat dibaca sebagai kehendak Presiden Jokowi.
Dalam pembahasan RUU Pemilu, Mendagri bertindak atas kuasa presiden. Jadi
segala sikapnya harus dibaca sebagai sikap Presiden.
Presiden sebagai salah satu pemegang kekuasaan legislasi
telah menyiapkan opsi lain jika masih terjadi kebuntuan dan keinginannya
tidak diakomodasi. Yaitu, memberlakukan undang-undang yang lama atau
menerbitkan Perppu. Kedua opsi itu merupakan tindakan lanjutan setelah
Presiden memutuskan untuk menarik diri.
Mengagetkan
Ancaman untuk menarik diri dari pembahasan RUU tentu
menjadi suatu yang mengagetkan. Apalagi RUU yang sedang dibahas terkait
dengan penyelenggaraan pemilu. Dalam pembahasan rancangan undang-undang,
salah satu pihak tidak dapat menarik diri begitu saja.
Pembahasan sebuah RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden.
Proses pembahasan memiliki mekanisme yang telah diatur secara terarah dalam
UU No. 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut penalaran yang wajar, dalam sebuah pembahasan RUU
akan ada pihak yang memberikan persetujuan atau menerima usul yang ada di
dalam sebuah RUU. Sejak awal seharusnya pihak DPR dan Presiden harus menyadari
potensi penolakan atas sebuah usul yang dituangkan dalam RUU.
Makanya, UUD 1945 telah menyiapkan jalan agar dilakukan
musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika memang mufakat tidak dapat tercapai,
konstitusi memberikan kesempatan dilakukannya pengambilan keputusan
berdasarkan suara terbanyak (voting).
Pembahasan bersama RUU Pemilu bagi partai politik tidak
hanya sebatas membahas tata aturan penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi juga
menjadi bagian penting untuk memasukkan strategi memenangkan pemilu, atau
setidaknya untuk mempertahankan diri mengikuti pemilu berikutnya. Sehingga
menjadi hal yang lumrah apabila terjadi tarik menarik kepentingan dalam
penyusunan setiap norma yang begitu kuat.
Penerimaan terhadap realita proses legislasi seperti itu
semestinya membuat yang terlibat dalam pembahasan harus memiliki sifat
kenegarawanan, dan masing-masing membuka ruang untuk terbangunnya konsensus.
Dan, konsensus yang terbangun tidak boleh bertentangan dengan prinsip
konstitusionalisme, yaitu sebuah prinsip bahwa yang diatur tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945.
Menarik diri pada saat proses pembahasan berlangsung
menjadi penanda hilangnya sifat kenegarawanan, dan tertutupnya ruang untuk
membangun konsensus. Bahkan, dapat dikatakan jiwa Pancasila sebagai sumber
segala sikap dalam bernegara telah hilang dari tubuh Presiden apabilah ancaman untuk menarik diri secara sepihak
direalisasikan.
Pancasila dan UUD 1945 tidak memperkenankan salah satu
pihak meninggalkan begitu saja pembahasan rancangan undang-undang yang sedang
dibahas. Meninggalkan pembahasan bukanlah jalan konstitusional, tetapi jalan
menuju otoritarianisme.
Menarik diri dalam pembahasan rancangan undang-undang
pemilu yang sedang berlangsung maknanya sama dengan Presiden tidak mau untuk
melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Jika memang presiden mengambil langkah
seperti ini, maka dapat dikatakan presiden telah gagal dalam memberikan
penjelasan terhadap RUU yang diajukan.
Kegagalan legislasi semestinya tidak boleh terjadi,
apalagi menyangkut RUU penyelenggaraan pemilu. Lagi-lagi berdasarkan
penalaran yang wajar saja dapat dikatakan, saat ini negara berada di ambang
krisis konstitusional karena aturan main untuk penyelenggaraan pemilu
demokratis belum dapat disepakati.
Padahal terdapat urgensi untuk menyusun undang-undang
pemilu yang baru. Selain memang karena adanya kebutuhan hukum untuk
pembaharuan pengaturan penyelenggaraan pemilu, juga merupakan tindak lanjut
atas putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan pemilihan legislatif serta
pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara serentak pada
pemilu 2019 dan seterusnya.
Sehingga, opsi menggunakan undang-undang lama bukanlah
pilihan rasional dan konstitusional, dan merupakan opsi yang tidak dapat
dilaksanakan. Sebab, materi dan prosedur penyelenggaraan pemilu yang diatur
di dalamnya belum memuat tata penyelenggaraan pemilu serentak.
RUU Pemilu faktanya berasal dari Presiden. Sebagai
pemimpin negara hukum yang demokratis, Presiden tidak boleh memaksakan
kehendaknya untuk memuat norma tertentu yang ditujukan untuk melanggengkan
kekuasaannya, atau bertindak di luar mekanisme pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Maka, jika ada pandangan konstitusional yang disampaikan
oleh fraksi di DPR terhadap rancangan undang-undang yang diajukan, Presiden
tidak boleh reaktif dan bersikap otoriter seperti tidak akan melanjutkan
pembahasan. Biarkanlah pembahasan RUU Pemilu berlangsung secara demokratis
dan konstitusional. Tindakan menarik diri secara
sepihak bukan hanya tidak bijaksana, akan tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap konstitusi UUD 1945.
Ditinjau dari aspek konstitusional, Presiden tidak
memiliki hak untuk menarik diri secara sepihak apabila rancangan
undang-undang berasal dari Presiden dan telah dibahas bersama dengan DPR.
Setelah dilakukan pembahasan oleh DPR dan Presiden, maka hak Presiden
selanjutnya hanya dapat digunakan ketika di dalam proses pemberian persetujuan
yang dapat disampaikan dalam rapat paripurna.
Menurut Pasal 70 ayat (1) UU No. 12/2011, sebuah RUU hanya
dapat ditarik kembali sebelum dilakukan pembahasan bersama oleh DPR dan
Presiden. Jika telah dilakukan pembahasan, hak Presiden tidak bersifat
absolut lagi karena penarikannya harus berdasarkan persetujuan bersama.
Bukan Solusi
Menerbitkan Perppu bukanlah solusi konstitusional yang
tepat dan terukur untuk mengatur penyelenggaraan pemilihan legislatif serta
pemilihan presiden dan wakil presiden secara serentak. Bahkan Perppu bisa
menjadi pemicu untuk menurunkan kredibilitas dan legitimasi hasil pemilu.
Sehingga Presiden harus membuang jauh opsi Perppu, dan tidak termakan bujuk
rayu kepentingan jangka pendek.
UUD 1945 memang memberikan hak kepada Presiden untuk
menerbitkan Perppu. Akan tetapi, penggunaan hak tersebut harus sesuai rasio
dan parameter konstitusional. Pada saat ini memang terdapat kebutuhan hukum
untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi dan mengisi kekosongan
hukum prosedur pelaksanaan pemilu secara serentak. Akan tetapi secara
objektif prosedur biasa masih dapat ditempuh.
Kondisi objektif yang terjadi hari ini bukan
karena waktu pembahasan yang lama, dan di sisi yang lain terdapat keadaan
yang mendesak. Melainkan, yang mengemuka adalah adanya intensi pihak Presiden
yang sedang ingin menggunakan kekuasaan legislasinya untuk melanggengkan
kekuasaannya.
Selanjutnya, potensial juga Perppu tersebut tidak
disetujui oleh DPR. Jika kebuntuan terus mengiringi pembahasan RUU
Penyelenggaraan Pemilu dan penolakan selalu terjadi di antara DPR dan
Presiden, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami krisis konstitusional
seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Semoga tidak terjadi, dan
segera lahir solusi konstitusional berdasarkan UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar