Tumbuhkah
Pancasila?
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Juni 2017
DALAM pelbagai acara diskusi yang saya
ikuti beberapa waktu belakangan ini, berkaitan dengan Pancasila, muncul
beberapa ungkapan atau istilah dalam tajuknya, seperti: 'melaksanakan',
'membumikan', 'mengimplementasikan', dsb. Pelbagai ekspresi bahasa yang
secara implisit memberi makna Pancasila, belum sekurang-kurangnya dengan baik
dipraktikkan dalam hidup keseharian kita. Pancasila masih sebatas angan,
kata-kata, atau abstraksi yang ada di langit hingga harus diturunkan ke bumi.
Unit Kerja Presiden yang baru, berkaitan dengan hal ini, juga menggunakan
kata 'pemantapan'.
Jelas artinya, Pancasila sama sekali belum
mantap, dalam arti boleh jadi, belum jadi acuan, pedoman dan atau belum
memiliki ukuran-ukuran yang valid dalam praksisnya. Pemahaman abstrak itu
menjadi refleksi dari kegalauan kita pada kenyataan luas tidak
terimplementasikannya Pancasila, setidaknya sebagaimana yang kita harapkan.
Satu kondisi yang dapat meningkat menjadi kecemasan akut: bisa jadi Pancasila
memang tidak atau belum menjadi acuan atau pedoman hidup kita, selaiknya
sebuah ideologi berperan dan berfungsi.
Frasa 'harga mati' yang didiseminasi luas
belakangan ini malah menjadi penanda dari 'kematian' Pancasila itu sendiri.
Ideologi itu boleh (pernah) lahir, tetapi ia ternyata tidak tumbuh dan
berkembang. Ia telah wafat secara prematur. Karena bila ia sungguh tumbuh,
apanya tumbuh, di bagian apa, dalam praksis apa, dengan ukuran apa, siapa
aktor-aktornya, dan seterusnya, pertanyaan-pertanyaan yang kongruen dengan
soal implementasi di atas dapat kita ajukan. Kita tak punya parameter. Tak
punya bukti, atau riset yang memvalidasinya.
Bahkan mungkin selama ini kita tidak peduli
bahwa ia lahir kemudian hidup atau mati. Yang utama, hidup kita terus
berjalan, dengan cara hidup kita masing-masing, tak peduli apakah itu sesuai,
tidak selaras, atau bahkan bertentangan (berkhianat) pada Pancasila itu
sendiri. Betapa pun, secara esoterik, mental-emosional, Pancasila kita terima
secara bulat seolah ia given, ternyata ia masih problematik.
Bahkan hingga fondasi yang meneguhkannya.
Sebuah pekerjaan besar yang harus dijawab generasi masa kini. Jika tidak mau,
setidaknya persoalan-persoalan klasik, seperti rasialisme, diskriminasi,
saling curiga, tuduh-mendakwa, manipulasi kebenaran, dan banyak hal lain yang
mengharu biru kita belakangan, akan terjadi lagi, terulang, lagi dan lagi.
Kesucian tak tersentuh
Kenyataan cukup rapuhnya fundamen dari
Pancasila terlihat bila kita menengok sejarah bangsa, saat Pancasila diproses
BPUPKI dalam masa kerjanya yang hanya beberapa bulan. Ada semacam perdebatan
terjadi di antara para tokoh bangsa kala itu, yang sebenarnya juga hanya
berlangsung beberapa hari, hingga kemudian Pancasila dikonsensuskan.
Hingga
hari ini, kita tidak pernah memperoleh penjelasan yang lebih lapang,
argumentatif, atau semacam refleksi kultural hingga eksposisi
ilmiah/akademik, mengenai latar, alasan, atau analisis di balik disepakatinya
ideologi negara itu.
Tidak ada diskursus yang cukup panjang
mengenai hal tersebut sehingga Pancasila muncul begitu saja, seperti sebuah
ujaran sakti, bahkan seperti puisi, yang kemudian kita tempatkan begitu
tinggi, bahkan mengalami sakralisasi. Proses pen-suci-an itu begitu hebatnya
sehingga Pancasila menjadi untouchable, bahkan untuk titik koma sekalipun.
Mukadimah UUD 45, tempat sila-sila Pancasila tercantum pun, tak berani
diusik, seberapa pun besar dan otoritatifnya seorang tokoh/lembaga.
Seorang pemimpin kuat macam HM Soeharto pun
dilawan saat ia berusaha menciptakan tafsir itu dan kita bersama menggilas
habis BP7 serta P4 yang dijadikan instrumen HM Soeharto untuk itu.
Begitupun saat seorang profesor ekonomi
dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mubyarto, mencoba menyusun tafsir
'ekonomis' dari Pancasila, berakhir dengan nasib yang sama. Seluruh bangunan
gagasan dan teorinya tak berdaya menghadapi tafsir yang kemudian menjadi
sistem resmi dari rezim kapitalisme pemerintah, rezim yang justru hendak
dilawan Pancasila. Maka terciptalah kemudian kehidupan, bermasyarakat,
berbangsa hingga bernegara, yang tidak lagi memiliki acuan dan pedoman
berbasis kristal gagasan (dari konsensus intuitif) para Bapak Bangsa,
Pancasila.
Dari soal politik, hukum, ekonomi, ilmu
pengetahuan, hingga soal agama dan kebudayaan, kita melandaskan diri pada
gagasan-gagasan yang justru berasal dari luar diri kita (Kontinental,
Anglo-Saxon, Western), gagasan yang sesungguhnya hendak dihindari bahkan
dilawan Bapak Bangsa. Bila kemudian terjadi banyak masalah, bukan hanya bias,
penyimpangan, pengkhianatan, hingga pembusukan dalam hidup bernegara dan
berbangsa kita, tidak bisa kita menyalahkan siapa pun, kecuali diri sendiri.
Karena kitalah yang membuat, memutuskan, dan mempraktikkan semua hal (yang
berlawanan dengan Pancasila) di atas.
Diri yang berevolusi
Bila sungguh kita ingin berbenah, tentu saja untuk berubah, sebagaimana banyak ekspresi berbagai kalangan masyarakat belakangan ini, dalam hal praksis Pancasila sekurangnya, sangatlah tidak cukup hanya dengan berseru lewat kata-kata dan retorika yang akan mudah terjebak menjadi slogan/propaganda kosong pengisi spanduk, iklan, upacara pagi, hingga kurikulum tambahan. Mesti ada upaya besar, kita bersama, semua elemen, dari elite hingga jelata. Karena apa yang harus dibenahi dan dilawan sudah begitu dalam kerusakannya.
Lawan itu pun begitu digdaya, membuat
selama ini kita tak berdaya, karena dia adalah: diri sendiri. Seperti terurai
di atas, kalaupun ada kambing hitam ternyata adalah diri kita sendiri. Diri
sendiri jugalah yang menjadi penentu bila pembenahan dan perubahan itu harus
terjadi. Dengan satu cara yang mudah tapi sulit: menumbuhkan Pancasila dalam
diri kita. Kata 'tumbuh' yang memiliki makna imperatif untuk menanam seluruh
sila dalam ideologi negara itu, terutama pemaknaan dan hikmahnya, di
keseluruhan diri kita. Diri yang pada outcome-nya menjadi sikap, cara
bertindak dan berperilaku.
Tak ada ukuran apa pun yang sifatnya
teoretis, akademis, apalagi retoris atau ideologis. Ia melulu praktis, bahkan
kerap pragmatis. Pragmatisme dalam sebagai cara mengendarai kapal idealisme
kita. Ukuran praksis Pancasila itu ialah maslahat dari setiap nilai yang kita
perjuangkan. Nilai itulah yang kita buka, kita inklusikan, kita dialogkan
dengan kenyataan hidup mutakhir kita sehingga ia pun aktif, dinamis, hidup,
dan berkembang tumbuh. Tidak perlu acuan pada apa pun dan siapa pun di masa
kini karena acuan itu langka bila tak bisa dibilang tiada.
Acuan itu ada pada pikiran yang bening,
perasaan tulus, dan batin yang jernih. Tiga hal yang menggaransi apa kita
lakoni memberi maslahat, juga di banyak orang. Karena tiga hal yang
dibesarkan kebudayaan itu secara konsisten telah menginternalisasi semua
keluhuran yang diajarkan, adat, tradisi, hukum, dan agama. Kita tahu dan memiliki
itu semua dalam diri kita. Hanya kita kerap lupa, pura-pura tidak ingat,
sampai akhirnya sengaja lupa bahkan tidak peduli.
Pada waktunya nanti, akan ada agregat dari
individu-individu yang (kuat untuk hidup secara) Pancasilais, yang secara
alamiah akan bermusyawarah dan bermufakat (tanpa perlu rapat dan upacara)
tentang nilai-nilai yang terus berkembang, hidup, di tengah zaman yang
mengembang. Di dalam waktu yang tak redup. Tanpa retorika, kata kasar dan
tuduhan, tanpa senjata atau bangunan yang dirajah dan dibakar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar