Puasa
dalam Agama Humanistis
Siti Musdah Mulia ; Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Juni 2017
SEJUMLAH studi menjelaskan corak keagamaan masyarakat
dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoriter dan agama
humanistis. Agama humanistis selalu mengajari pemeluknya agar memandang
manusia dengan pandangan positif dan optimistis serta menjadikan manusia
sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan
bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus
mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri untuk membangun
relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia serta menjaga
kelestarian alam semesta.
Sebaliknya, agama otoriter memandang manusia dengan
pandangan negatif, makhluk penuh dosa, dan tidak punya pilihan bebas, tak
berdaya, tak berarti, dan serbadependen. Manusia hanya bisa pasrah secara
mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi amal utama, dan sebaliknya,
ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dalam proses submisi ini, manusia
menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji
memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.
Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya
diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka
taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan
yang sesungguhnya. Tidak mengherankan jika pengikutnya sangat bergantung pada
pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoriter selalu melahirkan
bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat
mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan
dan kekejaman. Lagi-lagi atas nama Tuhan dan atas nama agama. Mengerikan!
Agama humanistis mendorong kepada sikap mencari kebenaran
secara tulus dan murni (hanafiyyah,
kehanifan). Ini sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan
sejati dan tidak bersifat menghibur secara semu dan palsu seperti halnya
kultus dan fundamentalisme. Nabi menegaskan sebaik-baik agama di sisi Allah
ialah al-hanafiyyah al-samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang,
tidak sempit, toleran, bersifat pluralistis tanpa kefanatikan, dan tidak
membelenggu jiwa.
Beberapa hadis berikut menjelaskan kecaman Nabi SAW
terhadap sahabatnya yang fanatik dan ekstrem dalam kehidupan keagamaan.
Diriwayatkan bahwa istri 'Utsman bin Mazh'un berkunjung ke rumah para istri
Nabi dan mereka melihat istri Utsman dalam keadaan mencemaskan. Istri Nabi
bertanya, “Apa yang terjadi dengan dirimu? Tidak ada di kalangan kaum Quraysh
orang yang lebih kaya dari suamimu!” Ia menjawab, “Saya dan anak-anak tidak
mendapat apa-apa dari dia. Sebab, jika malam dia beribadat dan siang hari dia
berpuasa!.
Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal itu.
Nabi pun menemui 'Utsman bin Mazh'un dan bersabda, “Hai 'Utsman! Tidakkah
padaku ada contoh bagimu?” Dia menjawab, “Demi ayah-ibuku, engkau memang
demikian.” Lalu Nabi bertanya, "Apakah benar engkau berpuasa setiap hari
dan beribadat sepanjang malam?” Dia menjawab, “Aku memang melakukannya.” Nabi
bersabda, “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak dan keluargamu
pun punya hak atas engkau! Maka salat dan tidurlah, puasa dan makanlah!.
Kemudian diceritakan bahwa 'Utsman bin Mazh'un membeli
sebuah rumah, lalu tinggal di dalamnya sepanjang waktu untuk beribadah.
Berita itu datang kepada Nabi SAW, maka beliau pun datang dan menariknya ke
luar rumah sambil bersabda, “Wahai 'Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah
mengutus aku dengan ajaran kerahiban.” Nabi mengulang kalimat itu dua atau
tiga kali, lalu bersabda, “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah
ialah al-hanafiyyah al-samhah, semangat pencarian kebenaran yang lapang dan
toleran.”
Suatu ketika Nabi SAW mendengar berita bahwa segolongan
sahabat menjauhi perempuan dan menghindari makan daging. Maka Nabi pun
memberi peringatan keras dan bersabda, “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan
membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah semangat
pencarian kebenaran yang lapang dan toleran.
Nabi selalu menegaskan bahwa beliau tidak diutus untuk
mengajarkan kerahiban atau monastisisme, yaitu sikap mengingkari kewajaran
atau hidup dengan cara yang ekstrem dan menganiaya diri sendiri. Mengapa
kerahiban dikecam dalam Islam? Sebab, kerahiban dapat berjalan sejajar dan
berimpit dengan kefanatikan, keekstreman, dan sikap-sikap pembelengguan diri
orang bersangkutan, dan mungkin tanpa disadarinya. Sikap seperti itu adalah
bentuk pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan tidak sejalan
dengan fitrah manusia, serta berakibat pengingkaran hak kemanusiaan diri dan
orang lain.
Tidak salah jika Eric Fromm, selaku psikoanalis, memandang
bahwa kesehatan jiwa tergantung sikap pemihakan kepada kebenaran secara tulus
tanpa pembelengguan diri, dan semangat cinta kasih kepada sesama manusia.
Tentu saja hal ini akan sulit dicapai kecuali dalam agama humanistis. Agama
humanistis didasarkan atas kepercayaan adanya Tuhan Yang Mahakasih dan
Mahasayang. Sifat Mahakasih dan Mahasayang (al-Rahman dan ar-Rahim) adalah
sifat kebenaran mutlak (Tuhan) yang paling banyak disebutkan dalam Alquran.
Dalam banyak hadis, Nabi mengatakan hendaknya kita mencontoh akhlak Tuhan
Mahakasih dan Mahasayang. Jadi cinta kebenaran adalah juga cinta kepada Yang
Mahacinta dan pada gilirannya membawa kita cinta sesama manusia.
Karena itulah, dalam hadis di atas, Nabi SAW menegur
'Utsman bin Mazh'un karena telah menelantarkan tidak saja dirinya, tapi juga
keluarganya. Logikanya, jika seseorang memang mempunyai hubungan cinta kepada
Tuhan (hablun minallah), seharusnya
dia juga mempunyai hubungan cinta sesama manusia (hablun minannas), dua nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan
manusia, dunia-akhirat.
Kita harus memiliki pandangan positif dan konstruktif
kepada sesama manusia. Pandangan positif seperti ini hanya ada dalam agama
humanistis, bukan pada agama otoriter yang selalu melihat manusia penuh dosa
dan memandang Tuhan sebagai Mahapenyiksa. Islam mengajari manusia pada
dasarnya baik (QS al-Tiin, 95:4),
sebab manusia diciptakan dalam fitrah atau kejadian asal yang suci-bersih.
Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari
fitrahnya yang suci-bersih, harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari
luar, khususnya dari pengaruh lingkungan budaya. Karena itu, Nabi melukiskan
setiap anak lahir dalam kesucian fitrahnya dan kedua orangtuanyalah yang
menbuatnya menyimpang dari fitrah itu, yang membuatnya berpandangan komunal
dan sektarian, yang membelenggu dan membatasi kebebasannya.
Semangat keterbukaan dalam beragama itu sejalan dengan
dimensi kerohanian dan kecintaan llahi sebagaimana dikembangkan sufi terkenal
lbn 'Arabi. Ajaran ini dikembangkan demi mengonter paham keagamaan yang
formalistis-ritualistis serta literalisme kosong. Selanjutnya, lbn 'Arabi
mengajarkan agar kita menghayati makna salat sebagai penyatuan roh dengan
Allah. Menghayati zakat sebagai penyatuan diri dengan kemanusiaan. Menghayati
haji sebagai penyatuan seseorang dengan seluruh umat dan menghayati puasa
sebagai media pendekatan diri kepada Allah sekaligus membangun empati kepada
yang kelaparan.
Karena itu, puasa Ramadan tahun ini hendaknya menumbuhkan
semangat al-hanafiyyah al-samhah
dalam kehidupan umat Islam sehingga dapat mengembangkan dimensi sosial Islam
untuk mewujudkan pemerataan distribusi kekayaan kepada mereka yang lapar dan
kelompok tertindas. Puasa harus dapat menghidupkan kembali jiwa kritis Islam
demi menemukan solusi terbaik bagi problem kemanusiaan yang dihadapi
masyarakat. Puasa harus dapat menghidupkan kembali semangat ijtihad yang
menurut Muhammad Iqbal satu-satunya jalan menyembuhkan Islam dari penyakit
paling parah, yaitu taklid buta. Iqbal menyebut sikap bertaklid sebagai
'membaca Alquran dengan penglihatan orang mati'.
Terakhir, semoga puasa kali ini menyadarkan kita tentang
pentingnya mengubah program pengajaran agama sehingga formalisme dan
literalisme keagamaan yang kering dan gersang diakhiri. Puasa harus mampu
mengakhiri mentalitas isolatif dan membuka diri untuk kerja sama dengan
pihak-pihak lain mana pun dari kalangan umat manusia, dalam semangat
perlombaan penuh persaudaraan, meskipun dengan mereka yang berbeda agama. Itu
guna meruntuhkan sistem-sistem tirani dan totaliter. Hanya dengan cara itu,
Islam akan tampil memerankan dirinya sebagai faktor kunci yang membawa
demokratisasi, modernisasi, dan sivilisasi bangsa. Wallahu a'lam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar