Perlukah
Kurikulum Pancasila?
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Juni 2017
PRESIDEN baru saja membantuk badan khusus
yang disebut dengan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila
(UKP-PIP) berdasarkan Peraturan Presiden No 54/2017. Dalam uraian tugas dan
fungsi, UKP-PIP bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan umum
pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan
berkelanjutan.
Selain itu, UKP-PIP menyelenggarakan
berbagai fungsi, antara lain merumuskan arah kebijakan umum pembinaan
ideologi Pancasila dan menyusun garis-garis besar haluan dan roadmap
pembinaan ideologi Pancasila. Juga mengevaluasi, memantau, dan mengusulkan
langkah strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila
serta melaksanakan kerja sama dan hubungan antarlembaga dalam pelaksanaan
pembinaan ideologi Pancasila.
Di bidang pendidikan, Kemendikbud bahkan
telah menyiapkan skema kerja sama dengan UKP-PIP dalam rangka merancang dan
mengimplementasikan ideologi Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan kita. Bahkan,
Kepala UKP-PIP Yudi Latif memberikan target lembaganya untuk duduk bersama
Kemendikbud dan menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran di sekolah. Artinya,
sebagaimana di masa lalu pernah ada dan diajarkan Pancasila sebagai salah
satu mata ajar di sekolah, maka siswa akan diajarkan kembali Pancasila
sebagai mata pelajaran bahkan mungkin mata kuliah di perguruan tinggi.
Keagamaan
dan kebangsaan
Pancasila itu sarat dengan nilai-nilai
keagamaan dan kebangsaan sekaligus. Karena mengandung nilai spiritual yang
tinggi, tentu tak mudah untuk mengajarkannya ke dalam mata pelajaran di
sekolah jika tak ingin hanya mengulang kegagalan masa lalu.
Mata ajar hanya menjadi semacam teks baku
dan rigid untuk dites ke dalam skema ujian nasional (UN).
Karena itu, konteks memahami Pancasila tak
sesederhana seperti mengajarkan bidang studi lain yang secara aplikatif.
Diperlukan telaah kesejarahan yang benar agar para guru dan siswa memahami
Pancasila dengan baik dan benar.
Gagasan kesatuan kebangsaan dan keagamaan
bisa ditelusuri jejaknya dari tulisan Muhamad Hatta tentang Collectivisme
(1930).
Dalam pandangan Hatta, suatu bangsa tidak
mungkin dibangun tanpa prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas.
Prinsip solidaritas mengisyaratkan perlunya
kerja sama (koperasi) yang aktif secara kolektif dari komponen-komponen
budaya, etnik, tradisi, dan agama yang ada dalam masyarakat.
Prinsip subsidiaritas ialah nilai-nilai
kebersamaan ketika yang mampu membantu yang tidak mampu, yang kuat membantu
yang lemah, khususnya di bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.
Semangat inilah yang seharusnya mendominasi
struktur berpikir masyarakat Indonesia saat ini.
Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya,
kesatuan kebangsaan dan keagamaan tercabik-cabik hasrat dan syahwat
kepentingan golongan tertentu saja, yang menjadikan masyarakat kita saat ini
tak lagi menghargai keragaman etnik, budaya, tradisi, dan agama yang menjadi
kekayaan bangsa.
Padahal rendahnya kesadaran sejarah suatu
masyarakat menandakan gagalnya pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Bangsa yang cerdas memiliki ingatan sejarah
yang kuat, dan mau belajar dari sejarah.
Alih-alih melakukan intropeksi diri akan
kelemahan dan kesalahannya, malahan banyak orang Indonesia sekarang lebih
suka menyalahkan konstitusi yang dibangun dengan susah payah oleh pendiri
negara bangsa.
Karena itu, tak terlalu salah jika
Pancasila lahir untuk menegaskan bahwa secara sosial, budaya, tradisi, adat
istiadat, dan agama, Indonesia sebenarnya merupakan anak semua bangsa; di
dalamnya mencerminkan sebuah mozaik yang sangat indah, penuh warna dan
nuansa.
Lintas
kurikulum
Untuk membawa mozaik keindahan Indonesia ke
dalam pemahaman ideologi Pancasila yang benar di bidang pendidikan, tak ada
cara lain kecuali mengajarkan kembali elan dasar Pancasila ke dalam kerangka
kurikulum formal melalui pendekatan lintas kurikulum, untuk tak menyebut
dibutuhkan buku teks dan mata ajar baru soal Pancasila di sekolah-sekolah
kita.
Pendekatan lintas kurikulum (cross
curriculer approach) dalam rangka membumikan kesadaran Pancasila lebih merata
terdistribusi ke dalam relung siswa jika ada nilai-nilai Pancasila di setiap
mata ajar atau bidang studi yang sudah ada.
Kesadaran memahami prinsip saling
ketergantungan antara satu bidang studi dan lainnya, dengan demikian, menjadi
penting ditubuhkan ke dalam budaya sekolah.
Mengapa cross-curricular approach
nilai-nilai Pancasila penting bagi proses pengembangan kepribadian berbangsa
dan bernegara? Pertama, hampir semua bidang studi atau mata ajar di sekolah
seperti sains, ilmu sosial, seni, bahasa, dan olahraga pada dasarnya memiliki
karakteristik hybrid. Karena itu, hampir dapat dipastikan semua mata ajar dan
pokok bahasan yang ada dan diajarkan akan dapat disisipi nilai-nilai
Pancasila.
Dalam bahasa Kirk (1997), mata ajar dan
pokok-pokok bahasan yang enggan menyusupi ide-ide baru yang ada manfaatnya
bagi pengembangan budaya damai dan pengembangan kepribadian berbangsa dan
bernegara pasti akan cenderung ditinggalkan dan menghilang. "Courses and subjects that fail to
reinvent themselves in the face of new circumstances are liable to decline or
disappear".
Kedua, fakta keragaman (budaya, agama,
perilaku, tradisi, dsb) adalah sesuatu yang hakiki di masyarakat mana pun
sehingga konflik menjadi persoalan keseharian yang dihadapi masyarakat mana
pun di muka bumi ini.
Apakah kondisi masyarakat itu harmonis
maupun homogen, kebutuhan untuk saling memberi solusi melalui nilai-nilai
yang sesuai dengan kondisi budaya, tradisi, agama, dan perilaku tertentu
adalah sebuah keniscayaan (Jephcote & Davies:2007). Karena itu,
mempelajari nilai-nilai Pancasila dalam rangka menumbuhkan semangat keragaman
dalam kesatuan merupakan salah satu kebutuhan sekolah.
Hasil riset menarik ditunjukkan oleh Centre
for the Use of Research and Evidence in Education (CUREE) di Inggris. Terutama
tentang dampak pengembangan strategi lintas kurikulum di sekolah, yaitu: (1)
Proses belajar lebih efektif karena selalu menggunakan pendekatan context
based; (2) materi dan pokok bahasan selalu dihubungkan dengan pengalaman
keseharian siswa, termasuk di antaranya keterkaitan hubungan antara
siswa-guru-orangtua yang mungkin selama ini tidak pernah/jarang dilakukan
guru; dan (3) siswa menjadi lebih termotivasi dan mampu menjadi mediator
untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa berdasarkan pemahamannya terhadap
sebuah konsep. Strategi ini juga tidak terlalu tergantung ruang dan waktu
karena pembelajaran dapat dilakukan dengan begitu banyak model instructional
strategies yang lebih sesuai kebutuhan pemahaman siswa.
Selain itu, pendekatan lintas kurikuler terbukti
meningkatkan kapasitas guru karena seorang guru selalu berusaha menemukan
topik baru yang sesuai bidang studi, tetapi berkaitan langsung dengan
implementasi nilai-nilai Pancasila. Hal ini menyebabkan inovasi pengembangan
kurikulum lebih terbuka dan kreatif, terutama untuk mengembangkan pendekatan
context-based dalam pembelajaran dan penubuhan nilai-nilai Pancasila.
Indikator-indikator di atas menujukkan
bahwa pendekatan cross-curricular sangat efektif jika menggunakan model
pembelajaran berbasis konteks kekinian (context-based). Menurut Bruner
(1996), pendekatan pengembangan kurikulum model ini disebutnya sebagai folk
pedagogy, dengan perencanaan dan pengembangan bahan ajar dari sebuah
kurikulum dikonstruksi berdasarkan kondisi aktual yang dialami atau ingin
dialami siswa. Prinsip inilah yang seharusnya dikembangkan setiap sekolah
sehingga independensi sebuah bidang studi tak cukup punya ruang untuk
berkembang sendiri tanpa ketergantungan dengan bidang studi lainnya.
Selamat bekerja UKP-PIP, semoga akan banyak
ruang segar di sekolah tersemai oleh nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan
yang ada dan melimpah dalam tubuh Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar