Pemimpin Pancasila
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN);
Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 03
Juni 2017
SUNGGUH menggembirakan. Setelah beberapa tahun kita hampir
lalai, kini seruan-seruan ber-Pancasila menggema kembali. Media massa
mainstream maupun media sosial belakangan ini diramaikan oleh
teriakan-teriakan, “Saya Indonesia, saya Pancasila.”
Kesadaran itu barangkali muncul karena belakangan ini
mulai tumbuh benih-benih perpecahan yang agak mencemaskan dan menyentak kita.
Riuh-rendah dan hura-hura yang mendahului satu kontes politik yang biasanya
selesai begitu pemungutan suara selesai, ternyata, yang sekarang ini tidak
seperti biasanya.
Pilgub Jakarta 2017 ternyata disusul dengan aksi dan
reaksi lanjutan yang mengancam sendi-sendi kebersatuan kita sebagai bangsa.
Isunya sudah masuk ke soal SARA, membawa-bawa agama dan etnik yang sebenarnya
absurd dan semula hanya provokasi sebagai bumbu kampanye.
Ini tidak sederhana karena isunya meluas bukan hanya di
Jakarta, melainkan merembet sampai ke banyak daerah dengan ancaman
disintegrasi karena mulai muncul pula benih-benih public distrust. Kesadaran kolektif kita pun muncul.
Pancasila harus diserukan kembali sebagai dasar kesadaran
dan kebersamaan kita di rumah NKRI. Memang sejak Reformasi 1998 slogan-slogan
dan pidato-pidato pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat sudah tidak lagi banyak
menggemakan Pancasila. Di sekolah-sekolah upacara mingguan yang harus
mengucapkan sila-sila Pancasila secara bersama-sama sudah tidak ada lagi.
Sebuah televisi swasta pada bulan Juni 2011 yang melakukan
wawancara langsung secara spontan di Kampus UI, Depok, ternyata mendapatkan
beberapa mahasiswa tidak hafal sila atau urutan Pancasila. Televisi swasta
lain yang mencegat beberapa orang yang sedang berjalan pagi di Senayan juga
menemukan hal serupa, banyak yang tidak lagi hafal Pancasila.
Hafal sila-sila Pancasila memang bukan jaminan orang bisa
menghayati dan mengamalkan Pancasila, tetapi upaya menggemakan Pancasila
secara terus-menerus agar dihafal dan diperdengarkan tetap sangat penting
karena dua hal.
Pertama, kalau mau menghayati dan mengamalkan tentu harus
sering mendengar sehingga timbul pemahaman. Kedua, jika digemakan secara
terus-menerus, perilaku kita akan terpengaruh dan bisa terorientasi terhadap
apa yang selalu digemakan itu.
Pada era Presiden SBY melalui pertemuan semua ketua
lembaga negara tanggal 25 Juni 2011 pernah disepakati untuk melakukan gerakan
nasional pemantapan Pancasila sampai ke semua lini, termasuk semua jenjang
pendidikan dan masyarakat luas. Tapi tampaknya upaya itu tidak mulus. Ada
masalah birokratis dan soal psikologis.
Secara birokratis masih terjadi saling lempar, institusi
atau lembaga mana yang harus menangani penyebarluasan pendidikan Pancasila
itu. Secara psikologis ada yang masih agak tidak nyaman dengan pengalaman P4
di zaman Orde Baru yang dinilai hanya menggunakan Pancasila sebagai alat
basa-basi dengan tujuan mempertahankan kekuasaan.
Ada kesan, zaman Orde Baru yang gencar dengan penataran P4
itu ternyata masih menyuburkan KKN, otoriterisme, dan busuknya birokrasi
sehingga setelah reformasi orang banyak yang merasa kurang gagah kalau
berteriak-teriak tentang Pancasila. Alhamdulillah sekarang masyarakat mulai
menyadari pentingnya penguatan pendidikan dan penyebarluasan Pancasila itu
tanpa harus tersandera secara psikologis lagi. Ancaman di depan mata sudah
harus dihadapi.
Meskipun begitu, tetaplah harus dicatat bahwa masalah yang
gagal dibangun Orde Baru salah satunya adalah lemahnya kepemimpinan Pancasila
yang bersumber dari kearifan budaya bangsa dan keteladanan. Pemimpin kita
banyak yang tidak memahami kepemimpinan Pancasila baik sebagai filosofi
maupun sebagai metode. Filosofi kepemimpinan Pancasila berakar pada delapan
simbol watak alam yang di dalam budaya Jawa disebut hastabrata (delapan sifat
alam), yakni surya, candra, kartika, buwana, angkasa, bayu, banyu, geni.
Pemimpin harus seperti surya (matahari), selalu konsisten,
memenuhi janji terbit dan terbenamnya serta memberi sinar kepada yang meminta
maupun yang tidak meminta. Pemimpin harus seperti candra (rembulan, bulan
purnama) yang selalu berwajah manis dan lembut memberi kenyamanan kepada
rakyatnya.
Pemimpin harus seperti kartika (bintang) yang bisa memberi
arah tentang posisi baik posisi diri maupun posisi tujuan. Nenek moyang kita
yang pelaut dulu tidak panik karena tersesat arah di tengah laut, sebab
dengan melihat bintang mereka tahu harus menuju ke mana.
Pemimpin juga harus seperti buwana (bumi) yang bisa
menjadi tempat berpijak, kalau berbicara bisa dipercaya sehingga bisa
dijadikan pijakan untuk melangkah, tidak mencla-mencle.
Selanjutnya pemimpin juga harus bersifat angkasa (langit) yang terbuka
terhadap masukan, tidak mudah tersinggung, tidak merasa paling tahu, dan siap
mendengar dengan baik setiap pendapat dari rakyatnya. Pemimpin juga harus
seperti bayu (angin) yang menyejukkan dan menyegarkan untuk mengimbangi cuaca
yang panas atau membangun ketenangan di hati rakyatnya.
Pemimpin harus seperti banyu (air) yang bisa menyuburkan
tumbuh-tumbuhan dan segala tanaman yang ingin diambil manfaatnya. Artinya
pemimpin haruslah berusaha membangun kesejahteraan rakyatnya. Akhirnya
pemimpin harus seperti geni (api) yakni tegas dalam menegakkan hukum dan
keadilan tanpa pandang bulu, sebab negara akan lestari, damai, dan aman
selama pemimpinnya dapat menegakkan hukum dengan baik.
Hastabrata (delapan sifat alam) sebagai filosofi
kepemimpinan Pancasila itu harus dilaksanakan dengan metode tersendiri, yakni
membimbing dan mengayomi. Metode tersebut telah dirumuskan oleh tokoh
pendidikan nasional kita Ki Hajar Dewantara melalui konsep ing ngarso sung tulodo (kalau ada di
depan dan memimpin harus memberi dan menjadi teladan), ing madyo mangun karso (kalau berada di tengah harus mampu
membangun inisiatif dan memotivasi orang-orang yang ada di sekelilingnya), tut wuri handayani (kalau ada di
belakang harus memberi dorongan yang positif agar orang-orang yang di
depannya bisa maju bersama).
Jika dicarikan tempat di dalam ajaran Islam, misalnya,
filosofi dan metode kepemimpinan Pancasila adalah sejalan dengan empat sifat
wajib bagi kepemimpinan Nabi Muhammad, yaitu shidiq (jujur dan lurus), amanah
(bisa dipercaya untuk melaksanakan tugas, meletakkan yang hak dan yang batil
pada tempatnya), tablig
(menyampaikan kebenaran dengan benar), dan fathanah (cerdas, penuh perhitungan, dan tidak asal-asalan).
Kalau hastabrata sebagai filosofi kepemimpinan Pancasila
dan tiga metode yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara itu bisa dipahami dan
dilaksanakan oleh para pemimpin Indonesia, takkan ada lagi orang yang nyinyir
terhadap Pancasila. Warga negara Indonesia akan bangga dengan Pancasila dan
tidak akan mengalami ketersanderaan psikologis untuk berteriak, “Kita Pancasila, kita Indonesia, pemimpin
kita Pancasila.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar