”Pancasila
dan Generasi Milenial”
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma
Jaya Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 31
Mei 2017
Pancasila sebagai sebuah ideologi tengah mengalami
pendewasaan di tengah ekosistem dunia yang juga sedang berubah. Tantangan
yang harus dijawab oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa bukan hanya sebatas
bagaimana menyikapi maraknya aksi terorisme yang terjadi akhir-akhir ini,
tetapi juga posisi Indonesia dan warga negara dalam pergaulan internasional.
Jawaban itu terutama harus diformulasikan oleh generasi milenial yang akan
menjadi pemilik bangsa ini untuk 50 tahun ke depan. Oleh sebab itu,
komunikasi yang konstruktif, dialogis, dan sesuai dengan zaman antargenerasi
adalah syarat penting. Ini agar Pancasila dapat beradaptasi dengan
lingkungan-lingkungan baru yang berbeda dengan situasi ketika Pancasila
dicetuskan.
Generasi milenial adalah definisi demografi untuk mereka
yang lahir pada tahun 1980- 2000-an. Para ahli menganggap generasi ini
berbeda dari sisi keyakinan religi, politik, interaksinya dengan teknologi,
komunikasi, ekspresi dan lain sebagainya dari generasi-generasi SBX
sebelumnya (Silent Generation
1928-1945, Boomer Generation 1946-1964, dan X Generation 1965-1980).
Kategori ini sendiri sebetulnya bias karena terpusat pada
demografi masyarakat Barat. Contohnya dalam status pernikahan, Taylor dan
Keeler (Millennials Confident.
Connected. Open to Change., 2010) mengemukakan bahwa masyarakat yang
cenderung tidak menikah pada saat generasi Boomer hidup lebih banyak, yaitu
sebesar 52%, dibandingkan dengan yang menikah. Hal ini berbeda dengan situasi
di Asia pada waktu yang sama, pernikahan mungkin lebih banyak karena beberapa
faktor seperti perjodohan dari orang tua. Hal ini menyebabkan tingkat
kelahiran bayi di Asia lebih besar daripada di Barat.
Meski demikian, kategori ini tetap dapat bermanfaat untuk
melihat preferensi atau kecenderungan antargenerasi yang hidup dalam suasana
yang berbeda. Selain itu, dengan terintegrasinya dunia, maka batas antara
negara maju dan berkembang juga semakin tipis, terutama dalam soal teknologi
dan media komunikasi.
Generasi SBX adalah generasi yang hidup ketika teknologi
belum mengambil alih hubungan sosial di tengah masyarakat. Dua puluh tahun
lalu ketika telepon genggam masih langka, masyarakat sangat tergantung dengan
proses perjumpaan tatap muka satu sama lain. Pertemuan menjadi wadah untuk
saling memberitahukan perkembangan masing-masing mulai dari gagasan,
pemikiran, pandangan politik, hingga hobi atau kegemaran. Orang sangat
terikat olehwaktudantempat untukdapat terlibat dengan orang lain. Bagi
generasi SBX, toleransi sangat hidup karena setiap orang sangat tergantung
dengan pertemuan secara fisik dalam ruang dan waktu. Tatap muka menjadi kebutuhan
dan hal itu dapat terjadi apabila ada toleransi. Tanpa ada toleransi, tidak
ada tatap muka. Orang yang tidak bertoleransi akan tersingkir (teralienasi)
dengan sendirinya dari pergaulan sosial di tengah masyarakat. Orang yang
teralienasi tentu sangat susah hidup pada masa lalu. Itu karena salah satu
faktor yang dapat membuat keluarga bertahan dalam beragam tahapan krisis
berumah tangga adalah hubungan yang baik dengan tetangga di sekitar rumah
mereka.
Generasi milenial berbeda dengan generasi di atas. Mereka
yang lahir setelah tahun 1990-an hidup dalam dunia teknologi dan informasi yang
sangat intensif. Telepon pintar, komputer, tablet, atau smart watch menjadi ciri-ciri dari generasi milenial.
Mereka sangat mandiri dan tidak tergantung lagi perjumpaan
untuk mengekspresikan gagasannya atau mengetahui perkembangan jaringan
sosialnya. Ruang dan waktu untuk berkomunikasi tidak lagi menjadi hambatan
karena semua dapat diatasi dengan WA, Instagram, atau Facebook. Tidak perlu
menempuh waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk berkomunikasi. Relasi pun
relatif cepat terbentuk walaupun bisa juga cepat pergi. Tatap muka secara
fisik tidak lagi menjadi kebutuhan sehingga toleransi pun menjadi tidak
terlalu dibutuhkan.
Itu adalah tantangan yang dihadapi Pancasila dalam
kehidupan nyata saat ini dan di sinilah terjadinya kesenjangan (gap) antara
pemahaman nilainilai Pancasila dari generasi SBX ke generasi milenial.
Nilai-nilai Pancasila yang menekankan penghormatan atas perbedaan keyakinan,
kemanusiaan, persatuan nasional, kemakmuran, dan keadilan sosial menjadi
sangat abstrak bagi generasi milenial yang tidak punya kaitan emosional
dengan masa ketika nilai-nilai itu dicetuskan.
Konsep kolonialisme, misalnya, yang merupakan rahim dari
lahirnya Pancasila, lebih sulit dirasakan keberadaannya hari ini. Hal ini
kontras dengan generasi SBX yang masih mengalami dampak langsung maupun tidak
langsung dari masa revolusi melawan penjajah, termasuk eksploitasi dari
pemilik modal, rendahnya upah, kesulitan mendapatkan pangan, kesehatan yang
buruk, dan diskriminasi. Di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia,
kolonialismelah yang menjadi kenyataan terdekat dari tekanan global yang membuat
bangsa mengembangkan prinsip berbangsa, moto bersama, tekad yang terpadu.
Di Barat, konsep revolusi industri yang lebih membentuk
nuansa politik mereka. Pancasila menjadi ideologi bangsa karena apa yang
dirumuskan oleh Pancasila terutama adalah perjuangan untuk membebaskan diri
dari penjajahan dan membangun bangsa dan negara atas dasar usaha sendiri.
Watak inilah yang menjadi landasan Indonesia dalam berpolitik di dalam
pergaulan internasional. Kita dapat menelusurinya dalam risalah sidang-sidang
internasional di PBB atau dalam konferensi internasional, termasuk dalam
mendorong kemerdekaan di Asia Afrika, pembebasan rakyat Afrika Selatan dari
politik Apartheid dan kemerdekaan Palestina.
Pancasila tidak lantas berhenti ketika Indonesia merdeka.
Pro dan kontra terhadap Pancasila bukanlah hal baru. Setiap zaman melahirkan situasi
dan kondisi baru yang menuntut kebaharuan Pancasila secara terus-menerus.
Kita perlu melihat bahwa pro dan kontra Pancasila dalam kehidupan politik
adalah konsekuensi logis dari masyarakat dinamis yang tumbuh di lingkungan
yang baru tersebut.
Pro dan kontra juga adalah proses pendewasaan Indonesia
menjalani fungsinya untuk memfasilitasi dan menjembatani semua pihak melalui
demokrasi. Ibaratnya rumah, tanah di mana rumah dibangun telah bergeser sehingga
fondasi pun harus diperkuat, bahkan diperlebar, dan bila perlu ditambah tiang-tiang
penopangnya agar rumah tidak miring dan rentan roboh. Seiring waktu
kompleksitas persoalan bangsa tentu bukannya menjadi lebih sederhana,
demikian pula derajat keberagamannya.
Namun, bukan berarti kemudian Pancasila tidak relevan
karena ia adalah bagian dari sejarah penguatan komitmen bersama untuk saling
peduli, saling menjaga, dan saling menguatkan. Pertanyaannya, hendaklah
tentang apa saja hal lain yang perlu dimiliki bangsa ini supaya komitmen para
pendiri bangsa untuk memayungi segenap anak bangsa dengan penghormatan akan
ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan bangsa, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan
keadilan sosial dapat terus terjaga.
Komitmen awal itu hendaknya tidak pernah berubah karena
Pancasila adalah dasar kekuatan bangsa Indonesia selama ini, di dalam dan di
luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar