Operasi
Pasar Daging Sapi
Rochadi Tawaf ; Dosen Fakultas Peternakan Unpad;
Penasihat Pengurus
Pusat Persepsi
|
KOMPAS, 06 Juni 2017
Setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, pemerintah
selalu disibukkan oleh kegiatan operasi pasar bagi komoditas strategis,
khususnya daging sapi. Apa
sesungguhnya manfaat kegiatan ini? Siapa saja yang diuntungkan-tentunya juga
ada yang dirugikan-dari kegiatan ini? Apakah kegiatan ini memang perlu
dilembagakan setiap tahun, sebagai kegiatan era tahunan?
Sesungguhnya Ramadhan dikenal oleh umat Islam sebagai
bulan suci yang dinantikan kehadirannya sebagai bulan penuh berkah, rahmat,
dan penuh ampunan. Namun, dalam kegiatan perekonomian di negeri ini,
kehadirannya seolah-olah menimbulkan kesibukan atau bahkan kepanikan bagi
para pengelola negara maupun masyarakat.
Pasalnya, pada setiap awal Ramadhan masyarakat disibukkan
oleh tradisi yang disebut dengan munggahan (Jawa Barat), nyadran (Jawa
Tengah/Jawa Timur), balimau (Sumatera Barat), meugang (Aceh), nyorog
(Jakarta), dan juga di beberapa kelompok masyarakat lainnya. Sementara jika
menghadapi Idul Fitri pun masyarakat disibukkan oleh kondisi libur panjang
dan menyiapkan aktivitas silaturahim.
Semua aktivitas tersebut tentunya membutuhkan pangan
sebagai andalan utamanya. Dalam waktu sangat pendek, hanya sekitar dua-lima
hari sebelum Ramadhan dan sekitar empat hari jelang Idul Fitri, untuk
memenuhi kebutuhan pangan strategis bagi masyarakat.
Kondisi inilah faktor penyebab utama terjadinya permintaan
akan komoditas pangan strategis, termasuk permintaan daging sapi yang
meningkat sangat tajam. Namun, di sisi lain, faktanya tingkat ketersediaannya
kerap cenderung tidak memadai, khususnya berkaitan perilaku konsumen daging
sapi dalam pemanfaatan produk komoditas ini. Alhasil, kesenjangan antara
ketersediaan dan permintaan selalu terjadi setiap tahun.
Konsep operasi pasar
Menurut para ahli, operasi pasar adalah instrumen yang
biasa digunakan dalam kebijakan moneter untuk memengaruhi gejolak
penawaran-permintaan akan uang. Tujuannya adalah stabilisasi.
Operasionalisasinya, bank sentral akan melakukan aktivitas menjual dan
membeli surat-surat berharga dan menerbitkan obligasi pemerintah.
Pada sektor riil, operasi pasar dikenal sebagai kegiatan
yang dilakukan secara serentak dalam waktu pendek untuk meredam gejolak harga
komoditas yang tajam. Artinya, tujuan dan manfaatnya pun akan dirasakan dan
diketahui dalam jangka pendek, tidak mungkin dirasakan dalam jangka panjang.
Berdasarkan hal tersebut, kata kuncinya adalah "meredam gejolak harga
dalam jangka pendek". Jadi, tidak salah jika operasi pasar layak disebut
sebagai "pemadam kebakaran", yang memang ditujukan untuk meredam
berkobarnya api merambah ke mana-mana.
Daging kerbau bukan sapi
Berdasarkan fenomena dan pengamatan terhadap realitas
pelaksanaan operasi pasar daging sapi ternyata sangat bertolak belakang
dengan konsep operasi pasar itu sendiri. Alhasil, sasarannya pun tidak
tercapai dengan baik. Dampaknya operasi pasar seolah jadi pekerjaan rutin
yang harus dilaksanakan setiap tahun.
Apabila kita amati cara pendekatan operasi pasar saat ini
sebagai berikut. Dilihat dari tujuan dan filosofinya penyelenggaraan operasi
pasar ditujukan untuk meredam fluktuasi harga daging sapi di dalam menghadapi
Ramadhan dan Idul Fitri. Nyatanya, bukan fluktuasi harga yang ingin diredam,
tetapi menurunkan harga keseimbangan yang telah terbentuk selama dua tahun
terakhir dari sekitar Rp 115.000 kilogram menjadi Rp 80.000 kg. Selanjutnya,
operasi pasar dilakukan dengan pendekatan daging kerbau (beku) dan daging
sapi (daging industri beku) untuk memenuhi permintaan konsumen yang
memerlukan daging sapi segar (hot meat). Jika pemerintah melakukan intervensi
daging beku, hal ini memerlukan infrastruktur cold chain yang memadai.
Cara-cara yang dilakukan selama ini telah terjadi
penolakan yang signifikan dari konsumen. Penolakan ini ternyata dimanfaatkan
oleh para pedagang ritel sebagai peluang bisnis daging sapi/kerbau di pasar
tradisional. Akhirnya, daging sapi dan kerbau beku di-thawing, dijual/dioplos
sebagai daging segar dan hasilnya sangat menguntungkan.
Dari harga impor yang hanya Rp 50.000-Rp 60.000-an kg,
para pengecer daging mampu menjual dengan harga tidak kurang dari Rp 100.000
kg. Keuntungan yang spektakuler ini dinikmati oleh para pedagang/importir,
sementara peternak rakyat sebagai produsen daging segar mengalami kerugian
karena harganya tertekan oleh komoditas daging impor di pasar. Kenyataan
inilah yang membuktikan bahwa sesungguhnya daging sapi bukan daging kerbau,
daging beku bukannya daging segar.
Menurunkan harga daging
Sesungguhnya, menurunkan harga daging akan sangat sulit
dilakukan jika pemerintah tidak melakukan tindakan yang sesuai dengan
fenomena perilaku dan budaya masyarakat dalam bisnis daging sapi. Meski
demikian, hal tersebut dapat saja dilakukan pemerintah jika menggunakan
konsep supply create demand yang memerlukan biaya sosial tinggi dan dampak
sosialnya dalam jangka panjang. Konsep pengendalian harga daging sapi
sesungguhnya dapat dilakukan dengan pendekatan segmentasi harga, bukannya
dengan operasi pasar. Meski demikian, konsumen dan produsen dapat
terlindungi.
Pemerintah harus melakukan tindakan penyelamatan produk
ikutan daging sapi (jeroan) tatkala permintaan akan daging sapi meningkat
tajam dengan melengkapi infrastruktur rumah potong hewan (RPH) dan pasar
ritel. Selain itu, sesuai pengalaman di beberapa negara, pemerintah dapat
menetapkan harga acuan komoditas strategis dengan menggunakan UU Perlindungan
Konsumen dan UU Keterbukaan Informasi Publik, serta UU soal keuntungan
maksimal dalam perdagangan komoditas.
Kiranya konsep operasi pasar hanya digunakan pada
saat-saat terjadinya gejolak harga, bukan untuk menurunkan harga. Penurunan
harga dapat dilakukan secara efektif dengan peningkatan ketersediaan yang
berkelanjutan serta kebijakan pengaturan harga di tingkat konsumen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar