Mudik
Lebaran dan Kemandirian Bangsa
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu
Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2017
BAGAIMANA pun Indonesia merupakan negeri
berpenduduk muslim yang begitu banyak. Bahkan, ia tercatat sebagai negara
muslim terbesar. Namun, uniknya berbeda dengan negara-negara lain yang
relatif homogen, Indonesia bercorak plural atau majemuk. Islam, sebagai agama
dengan jumlah pemeluk terbesar, karenanya, tak terelakkan lagi mewarnai
kebudayaan Indonesia. Mudik Lebaran, dalam hal ini, merupakan peristiwa
kebudayaan yang terwarnai oleh kaum muslim. Setiap tahun, kita disuguhi
berbagai ulasan tentang mudik Lebaran, dengan aneka sudut pandang.
Ada yang mengulas sudut pandang filsafat,
tradisi kebudayaan atau antropologis, ekonomi, sosiologi pembangunan,
psikologi keagamaan, historis, bahkan politik. Melalui artikel ini, saya
hendak mengulas kembali mudik, dalam perspektif keindonesiaan dan keislaman.
Keduanya mencerminkan sifat-sifat keindonesiaan, juga bermakna kebangsaan,
hal-hal yang merefleksikan dimensi-dimensi kita dalam berbangsa atau
berindonesia. Keislaman juga bermakna keumatan yang notabene umat beragama
(Islam). Islam, tentu tidak mengecilkan faktor-faktor lainnya, secara
historis bagaimana pun telah menjadi faktor penting dalam integrasi bangsa.
Keindonesiaan modern tak lepas dari faktor Keislaman yang pada masa kolonial
merupakan ruh yang ikut menggerakkan kemerdekaan. Kata 'berkat' dan 'rahmat'
dalam Pembukaan UUD 1945, misalnya, jelas hadir dari perbendaharaan
keislaman.
Kelas
menengah
Para pelaku mudik itu, bagaimana pun,
melekat pada diri mereka soal dimensi keislaman dan keindonesiaan, dan
sebaliknya. Dari perspektif keislaman, sesungguhnya banyak subkajian yang
dapat dikembangkan di sini. Namun, karena ia terkait dengan fenomena sosial
yang lebih luas, ketimbang sekadar refleksi filosofis dan keagamaan, ia pun
banyak ditelaah dari perspektif muamalah, terkait dengan interaksi sosial
kultural pun sosial ekonomi. Apabila dikaitkan dengan konteks sosiologis,
misalnya, apakah dari tahun ke tahun, fenomena mudik di Indonesia
merefleksikan fluktuasi kelas menengah muslim? Kecenderungannya semakin
meningkat, tetap atau bahkan menurun?
Kita bisa mengecek seberapa besar kaum atau
umat muslim yang mudik naik pesawat terbang, kereta api, bis, sepeda motor,
hingga yang mudik gratis. Kita juga bisa mengaitkan dengan
indikator-indikator aktivitas ekonomi lainnya, apakah jumlah pembayar zakat
naik? Apakah peminat umrah Ramadan, pesat? Dan lantas mengerucutlah pada
pernyataan, semakin salehkan kelas menengah muslim Indonesia? Kesalehan
merupakan hal yang penting dalam hal ini, dan mana kala dikaitkan dengan
konteks keindonesiaan, kita bisa menelusurinya dengan meneliti, atau
setidaknya berupaya merasakan, apakah ibadah sosial umat Islam Indonesia
meningkat? Ibadah sosial, bagaimana pun, merupakan kata kunci penting yang
mengaitkan antara konteks ajaran Islam yang diekspresikan para pemeluknya dan
realitas kebangsaan yang dijumpainya.
Umat Islam ialah kekuatan sosial, sekaligus
kekuatan ekonomi yang fenomenal, manakala terkelola baik dan orientatif.
Namun, hal tersebut juga terletak pada kesadaran dan pola pikir umat Islam
sendiri, yang sebagaimana ditengarai Gus Solah (KH Salahuddin Wahid) dalam
sebuah artikelnya belum lama ini, belum memosisikan ibadah sosial sebagai
yang utama. Umat Islam Indonesia lebih banyak mengedepankan untuk memilih
melakukan ibadah mahdah, yang lebih berorientasi individual atau pribadi.
Ibadah
sosial
Gus Solah mengutip sebuah data rata-rata
yang pergi umrah setiap tahun mencapai satu juta orang. Kalau setiap orang
membayar US$2.000, dana untuk pergi umrah per tahun mencapai US$2 miliar atau
sekitar Rp27 triliun. Itu berarti diperkirakan setara tiga kali lipat jumlah
dana zakat infak sedekah (ZIS) yang dikumpulkan per tahun di Indonesia.
Padahal ZIS jelas lebih berdimensi ibadah
sosial, ketimbang umrah. Terkait dengan itu pula, pola konsumtif terutama di
kalangan kelas menengah muslim Indonesia lebih dominan, ketimbang pola
produktifnya. Konsumerisme nyatanya telah menjadi gaya hidup yang tak
terelakkan.
Hal-hal semacam itu merupakan autokritik
yang selalu mengemuka dari waktu ke waktu. Dengan demikian, lantas berujung
pada isu kemandirian umat yang notabene juga kemandirian bangsa. Secara
ekonomi, setiap tahun mudik Lebaran, triliunan rupiah mengalir dari pusat
(Jakarta dan kota-kota besar lainnya) ke daerah-daerah yang dibawa pemudik.
Namun, tentu fenomenanya bersifat sporadis, bukan sistematis dan terencana
secara produktif. Polanya juga terasa karitatif, penyedekahan, bukan dalam
konteks proyek pemberdayaan. Kemandirian bangsa tentu saja juga terletak pada
kemandirian umat Islam sebagai penduduk mayoritas.
Secara ekonomi, semestinya mereka penarik
gerbong perekonomian nasional. Namun, dalam kasus kondisi ekonomi kita secara
nasional, gambarannya tidak seperti itu. Berbagai data menyebut mayoritas
ekonomi Indonesia dikuasai segelintir orang atau kelompok tertentu saja. Ketimpangan
sosial-ekonomi dan keadilan sosial juga masih tergambar jelas.
Ikhtiar
kolektif
Mudik Lebaran, hingga dewasa ini, di tengah
terus berjalannya abad ke-21, masih menggambarkan realitas drama kolosal yang
artifisial, yang belum sepenuhnya merupakan cerminan kemandirian sosial
ekonomi umat. Namun, setiap tahun pula muncul refleksi semacam ini, bahwa
umat perlu mandiri, karena ia faktor penting dalam ikhtiar kolektif menuju
kemandirian bangsa. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan
dalam dinamika kehidupan umat dan bangsa. Kendati pun demikian, kita harus
tetap terus bersyukur, di tengah ikhtiar kolektif memajukan bangsa.
Pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya
ialah, yang sekarang ini masih demikian urgen, terkait persatuan umat dan
bangsa. Konsensus dasar negara Indonesia, Pancasila, harus terus diperkuat.
Nilai-nilainya harus senantiasa tecermin dalam kehidupan sehari-hari. Harapan
dan ikhtiar ke arah sana memang butuh perjuangan tiada henti, tak hanya oleh
umat Islam, tetapi juga segenap warga bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar