Meringkus
Anak-Anak dengan Kelakuan Serius
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik, The University of
Melbourne
|
KORAN
SINDO, 07
Juni 2017
Ada gelombang ketakutan dan deru kerisauan ketika tersiar
kabar geng motor kembali melancarkan aksi brutalnya. Apalagi ketika sebuah
video yang mempertontonkan sekumpulan lelaki menebas kaki seorang pengguna
motor yang melintas di kawasan Jakarta Selatan. Semakin merusak ketenangan,
karena dalam sekian banyak operasi penangkapan geng motor, para anggotanya
ternyata adalah sekumpulan individu yang masih berada pada rentang usia
kanak-kanak. Undang-Undang Perlindungan Anak membuat batasan usia anak adalah
sejak dari dalam kandungan hingga sebelum delapan belas tahun.
Dalam satu pekan terakhir, juga terjadi kehebohan akibat
seorang anak lelaki diwartakan menyebar gambar dan tulisan tak pantas
terhadap kalangan tertentu di akun media sosialnya. Selanjutnya, terjelaskan
lewat Brutalization Effect Theory,
penyebarluasan ujaran kebencian itu direspons dengan serangan balasan dengan
bobot berlipat ganda terhadap anak tersebut—vigilantisme yang disesalkan dan
harus diusut kepolisian.
Keterlibatan anak-anak dalam geng motor serta perbuatan
salah anak-anak berupa penyebaran ujaran kebencian merupakan manifestasi
tingginya perilaku berisiko dan rendahnya kendali impuls di kelompok usia
remaja. Lebih-lebih media sosial, dunia tak bertuan ini menjadi tempat
”ideal” bagi anak-anak dan remaja ketika ingin membuncahkan isi hati mereka,
termasuk rasa benci dan permusuhan. Kuatnya tendensi menampilkan perilaku
berisiko juga disebabkan setelah menulis kalimat-kalimat agresif frontal di
akun media sosial, tidak ada konsekuensi nyata yang seketika terlihat di
depan mata oleh remaja tersebut.
Geng motor dan posting mengandung ujaran kebencian di
media sosial seketika memunculkan simpulan bahwa kian lama tabiat anak-anak
kian keras, kian buas. Mereka menjelma sebagai pemarah, dengan sasaran ke
segala arah. Mereka diamuk bias sehingga pukul rata membenci semua yang
memiliki ciri dan identitas tertentu. Anak-anak tidak lagi bisa mengendalikan
perilaku, baik perbuatan maupun tulisan mereka. Pertanyaannya, benarkah
sedemikian buruk tabiat anak-anak kita?
Data global mencatat bahwa rerata usia individu melakukan
kejahatan pertama kali memang semakin belia. Tanpa mengesampingkan realitas
global tersebut, untuk memastikan tepat atau kelirunya anggapan tentang
meningginya frekuensi dan intensitas tingkah laku kekerasan anak-anak zaman
sekarang di Tanah Air, perlu ditakar sejumlah hal. Pertama, perbandingan
jumlah anak-anak yang melakukan kejahatan antara masa kini dan masa silam.
Kenaikan jumlah secara signifikan akan memperkuat anggapan di atas.
Kedua, modus atau cara kejahatan yang digunakan oleh
anak-anak. Kejahatan yang dilancarkan dengan mengandalkan perilaku kekerasan
juga memperkokoh anggapan tersebut. Ketiga, perbandingan antara kejahatan
yang dilakukan oleh kelompok usia dewasa dan kelompok usia kanak-kanak.
Perbandingan antarkelompok umur inilah yang pada akhirnya akan kian
memantapkan simpulan tentang lebih seriusnya tingkat kebahayaan anak-anak
masa kini. Ini cermatan secara kuantitatif yang perlu dilakukan.
Secara kualitatif, jawabannya sangat mungkin sudah bisa
diperoleh sejak sekarang. Tidak mungkin menilai sepele anakanak yang sudah
dengan entengnya mengayun parang dan celurit ke tubuh orang yang ada di
dekatnya. Apalagi itu dilakukan tanpa motivasi yang jelas. Begitu pula
spesifik terkait anak yang melakukan serangan verbal di media sosial. Sebagai
acuan pembanding, adalah Panduan Penuntutan Kasus-kasus yang Menyertakan
Komunikasi yang Dikirim Melalui Media Sosial (Guidelines on Prosecuting Cases Involving Communications Sent Via
Social Media) yang digunakan oleh The
Crown Prosecution Service.
Panduan tersebut mencantumkan kejahatan kebencian (hate crime) yang dilakukan melalui
media sosial sebagai jenis kejahatan yang diperlakukan secara serius. Data
empiris, sebagaimana penelitian Jubilee
Centre for Character and Virtues di University of Birmingham (2016), juga
memperkuat argumentasi bahwa ujaran kebencian melalui media sosial sudah
sepantasnya diposisikan sebagai tindak kejahatan serius. Lebih dari separuh
orang tua yang menjadi subyek penelitian itu menyatakan bahwa media sosial
memperburuk ketimbang mengubah karakter negatif anakanak mereka. Amarah dan
permusuhan merupakan karakter yang paling banyak disebut.
Disusul antara lain arogansi, ketidakpedulian, dan kebencian.
Apabila kenyataannya anakanak sekarang lebih dari sekadar ”nakal”, maka
dibutuhkan langkah terpadu dan komprehensif guna menyikapi anggota masyarakat
berusia kanakkanak yang kian berisiko terlibat dalam tindak kejahatan.
Langkah dimaksud mencakup preemtif, preventif, dan represif. Khusus di
penindakan represif, boleh jadi sudah tiba waktunya untuk dilakukannya revisi
terhadap Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sebagai acuan
hukum untuk menangani anak-anak yang melakukan perbuatan pidana.
UU SPPA, sebagaimana juvenile
justice system di negara-negara lain, disusun dengan latar keprihatinan
bahwa anak-anak yang melakukan tindak pidana pada praktek hukum masa lalu
diperlakukan secara ngawur laiknya pelaku dewasa. Dengan latar semacam itu,
mengemuka sejumlah terma semisal keadilan restoratif dan diversi. Intinya, UU
SPPA merupakanantitesisterhadapfilosofiretribusi bagi upaya perbaikan watak
dan tindak-tanduk anak. Dalam tafsiran bebasnya, UU SPPA memperlakukan
anak-anak pelakupidanasecara lebihlunakketimbang perlakuan yang dijatuhkan ke
para penjahat dewasa.
Persoalannya, kengerian yang ditimbulkan oleh geng motor
dan kegemparan yang mengemuka dari postings kebencian— keduanya dilakukan
anakanak— tampaknya tidak lagi bisa diredam dengan UU SPPA sebagai peranti
represif. Bahkan ada kesan buruk terkait interpretasi atas UU SPPA, bahwa
selagi masih ada legislasi yang lunak tersebut, anak-anak merasa lebih ”aman”
dan leluasa saban kali akan berbuat jahat. Atas dasar itu, sekali lagi jika
memang anak-anak masa kini dinilai lebih ganas, UU SPPA perlu dikaji ulang
dengan penekanan pada jenis-jenis kejahatan tertentu yang membuat pelakunya
(anak-anak) diproses laiknya pelaku dewasa.
Gagasan ini memang kontras dengan latar disusunnya UU SPPA,
sebagaimana tertulis di alinea terdahulu. Namun demi terciptanya rasa aman
masyarakat tanpa pandang bulu, pesan lebih tegas sudah sepatutnya dikirim ke
seluruh anak-anak beserta orang tua mereka. Khusus terkait anak-anak yang
melakukan perbuatan tak semegah di media sosial, pada banyak kasus, edukasi
bagi pelaku memang dipandang sudah memadai. Untuk pelaku dengan tindakan yang
tergolong tidak serius, anak diajari tentang bagaimana bermedia sosial secara
cerdas, beretika, dan bertanggung jawab. Beda kisah jika tindakan yang
dilakukan anak di media sosial sudah termasuk dalam kategori serius.
Dibutuhkan perlakuan lebih berat agar pelaku berusia
kanak-kanak itu tidak salah kaprah memandang dirinya sendiri sebagai individu
yang mendapat dispensasi atau bahkan keistimewaan hukum. Penanganan dengan
bobot serius juga mendesak dilakukan agar tidak tercipta preseden bagi
anak-anak lain untuk meniru perbuatan serupa. Sebagaimana masyarakat merasa
terancam oleh kaderisasi pelaku teror ke kalangan anak-anak, sungguh masuk
akal apabila publik juga merasa terganggu manakala pada diri anak-anak telah
tumbuh fobia terhadap kalangan tertentu dan memuntahkannya di media sosial.
Sekali lagi, penanganan lintas dimensi adalah solusi yang
dibutuhkan. Namun, spesifik di ranah pidana terhadap anak-anak dengan
rupa-rupa perbuatan serius itu, kapankah hukum akan tidak toleh kanan-kiri
dalam mempertontonkan supremasinya? Allahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar