Mendambakan
Penyelenggara
Pemilu yang Berintegritas
Aditya Perdana ; Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol)
FISIP Universitas
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Juni 2017
SENIN (5/6), Pansus Pemilu DPR RI dan Kemendagri telah
menyepakati penambahan anggota KPU dan Bawaslu menjadi berjumlah 11 dan 9
orang. Argumen utama dalam penambahan ini menyangkut kompleksitas
penyelenggaraan Pemilu 2019 yang dilakukan secara bersamaan, yaitu pemilu legislatif
dan eksekutif. Namun, tulisan ini tidak ingin membahas lebih dalam persoalan
penambahan anggota tersebut. Hal yang penting diangkat ialah persoalan
integritas penyelenggara pemilu di banyak tingkatan perlu diperhatikan secara
serius.
Penyelenggara pemilu
Sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemilu, memperkuat
peran KPU dan Bawaslu adalah penting. Kita telah bersepakat dalam
menghasilkan pemilu yang bersih dan dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan
penyelenggara yang berintegritas. Karena sifatnya yang berskala nasional, KPU
dan Bawaslu tentu bertanggung jawab penuh dalam manajemen Pemilu 2019 yang
lebih kompleks dan rumit akibat penggabungan dua pemilu (legislatif dan
eksekutif).
Masalah yang timbul terkait dengan jumlah anggota
penyelenggara pemilu bukanlah semata terletak di tingkat nasional. Para
penyelenggara di provinsi dan kabupaten/kota dengan jangkauan wilayah dan
jumlah pemilih yang besar memiliki masalah yang lebih serius. Sebagai contoh,
provinsi berwilayah luas dan memiliki penduduk padat seperti Jabar, Jateng,
dan Jatim seyogianya dapat dipertimbangkan memiliki jumlah komisioner yang
lebih banyak ketimbang provinsi lain. Artinya gagasan redistribusi jumlah
anggota KPU dan Bawaslu di daerah adalah ide yang paling krusial ketimbang di
tingkat pusat.
Masalah lain ialah perilaku peyimpangan kewenangan yang
dilakukan para penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Berdasarkan riset Puskapol FISIP UI pada 2017 terungkap bahwa sebagian besar
teradu pelanggaran etika penyelenggara pemilu adalah para komisioner KPUD di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
]Para teradu yang telah disidangkan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) tersebut sebagian besar yang melakukan
pelanggaran asas kemandirian sebagai penyelenggara. Mereka dinyatakan
terbukti melakukan tindakan tidak netral dan berpihak kepada calon/kandidat
dan partai politik tertentu dalam pilkada ataupun pemilu legislatif dan
eksekutif. Para penyelenggara masih memiliki indikasi yang kuat dengan sikap
tidak netral dan cenderung berpihak kepada para kontestan pemilu.
Persoalan penambahan anggota KPU dan Bawaslu bukanlah
dapat dilihat karena semata-mata kebutuhan Pemilu 2019. Hal yang luput
diperhatikan para anggota Pansus DPR ialah keputusan KPU dan Bawaslu bersifat
kolegial manakala mereka dalam posisi sangat rumit memutuskan hal-hal yang
terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Di sisi lain, pengembangan kapasitas organisasi
penyelenggara yang bersifat netral itu harus juga diperkuat. Hal ini menjadi
krusial karena para penyelenggara pemilu tentu bukanlah malaikat yang sulit
diintervensi. Sebagai manusia biasa, para penyelenggara ini dapat mudah
berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapa saja, termasuk para calon dan
partai politik yang ingin memuluskan kemenangan politik mereka.
Memperkuat penyelenggara pemilu
Oleh karena Pansus Pemilu DPR sudah memutuskan penambahan
anggota KPU dan Bawaslu, ada baiknya untuk menaikkan isu terkait dengan
memperkuat penyelenggara pemilu yang berintegritas dalam diskursus kepemiluan
hari ini. Artinya, penambahan anggota berkorelasi dengan menambahkan beban
tugas dan fungsi dari organisasi KPU dan Bawaslu dalam manajemen pemilu
nasional dan lokal.
Untuk itu, perhatian terhadap penguatan para komisioner
pun mutlak dilakukan. Paling tidak saya melihat ada dua isu kelembagaan yang
perlu diperhatikan para penyelenggara pemilu saat ini: penguatan mekanisme
rekrutmen dan seleksi penyelenggara pemilu dan penguatan supervisi
kelembagaan di tingkat lokal.
Pertama, mekanisme rekrutmen dan seleksi penyelenggara ini
harus benar-benar memperhatikan aspek kemandirian, baik secara individu
ataupun pelekatan relasi sosial di pribadi masing-masing. Para komisioner di
daerah yang terpilih seharusnya tidak hanya mengerti soal pengetahuan teknis
pemilu, tetapi kemampuan yang membuktikan aspek kemandirian tersebut juga
dapat diimplementasikan.
Kedua, berdasarkan informasi dari sidang-sidang DKPP,
salah satu titik lemah penyelenggara ialah melakukan supervisi hierarki
kelembagaan di tingkat lokal secara berkelanjutan. KPU dan Bawaslu harus
memperhatikan persoalan manajemen ini secara serius. Paling tidak, kalau ini
dapat dilakukan, KPU dan Bawaslu baru dapat bekerja yang efektif untuk
mewujudkan pemilu yang berintegritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar