Ketimpangan
dan Akal Sehat
Rizal Mallarangeng ; Pendiri Freedom Institute
|
KOMPAS, 03 Juni 2017
Isu ekonomi yang paling hangat sekarang adalah masalah
ketimpangan yang menajam. Dua puluh tahun silam, sebelum reformasi, indeks
rasio gini kita ada di kisaran 0,30-0,35 (indeks 0 adalah kondisi yang merata
absolut, sementara 1 sebaliknya). Saat ini sudah di atas angka 0,4, lebih
tinggi daripada Vietnam dan India. Artinya, secara umum kesejahteraan rakyat
memang jauh meningkat serta jumlah penduduk miskin terus berkurang, tetapi
jurang kaya-miskin melebar cukup drastis.
Kita tentu harus mencari jalan keluarnya. Belakangan ini,
pemerintahan Presiden Joko Widodo tampaknya menyadari betapa berbahayanya
jika ketimpangan tajam ini dibiarkan tak terkendali. Berbagai kebijakan sudah
dicanangkan, seperti reforma agraria dan percepatan pembangunan infrastruktur
yang menyerap banyak tenaga kerja.
Semua itu perlu disambut baik. Prosesnya pasti butuh waktu
panjang dan Indonesia perlu sedikit bersabar. Yang penting, kita tetap harus
mengedepankan akal sehat dan tak mencampuradukkan masalah ini dengan masalah
pelik lainnya, khususnya isu yang menyangkut agama dan etnik.
Dalam hal ini, perkembangan yang terjadi belakangan cukup
mengkhawatirkan. Jika isu primordial dikaitkan secara serampangan dengan
masalah kesenjangan ekonomi, akibatnya akan negatif: to say the least.
Ia hanya mengaburkan solusi terhadap persoalan pelik ini,
memindahkan perdebatan dari isu kebijakan jadi diskursus politik yang
eksplosif. Persoalan kemiskinan tak teratasi, tetapi yang mungkin terjadi
adalah konflik sosial yang menajam.
Akar masalah
Karena itu, semua pihak perlu mendudukkan isu kesenjangan
ekonomi pada porsinya serta membahasnya dengan data dan analisis yang dingin.
Pertanyaan terpenting yang harus dijawab: apa sebabnya? Kenapa perbedaan
kaya-miskin melebar dalam 15 tahun terakhir, justru pada saat demokrasi
Indonesia melangkah cukup maju?
Dalam menjawabnya, kita jangan keliru dengan memakai the envy approach, pendekatan
kecemburuan. Pendekatan ini lebih sering berfokus hanya pada puncak piramida,
dengan melihat distribusi ekonomi pada 5 atau 10 persen kelompok terkaya.
Justru terbalik: fokus yang benar adalah the bottom of the pyramid, pada
jutaan rakyat yang ada di bawah. Di sinilah lokus persoalan tersebut. Dari
sini pula jawaban dan kebijakan harus dirumuskan.
Pendekatan piramida terbalik ini ingin mengerti dinamika
yang berlangsung pada rakyat bawah. Bukan untuk menyalahkan mereka, tetapi
justru untuk lebih mengerti dan dengan itu memberikan uluran tangan lewat
berbagai program yang tepat. Dengan pendekatan ini, kita sebenarnya bisa
menemukan kombinasi cukup banyak faktor yang jadi sumber persoalan. Namun,
dari studi terbaru, ada satu faktor yang muncul cukup mengejutkan dan kini
jarang diperhatikan, termasuk oleh pemerintah.
Faktor tersebut adalah fertilitas dan dinamika
kependudukan, terutama di kelompok 40 persen rakyat terbawah. Dalam studi
Bank Dunia beberapa saat lalu (Inequality and Shared Prosperity, 2015),
ditemukan fakta: selama 12 tahun (2002-2014), jumlah rata-rata anggota rumah
tangga pada kelompok 10 persen terkaya menurun pesat, dari 3,3 jadi 3,0 jiwa,
atau berkurang 8,6 persen, sementara pada kelompok 40 persen terbawah
cenderung stagnan. Pada kelompok 10 persen termiskin adalah 4,8 jiwa dalam
satu rumah tangga.
Salah satu dimensi dari fakta ini adalah gejala
peningkatan usia kawin yang makin muda. Di kalangan kelompok masyarakat
terbawah saat ini, hampir dua dari 10 perempuan berusia 15-19 tahun (masih
remaja!) sudah memiliki anak atau sedang mengalami kehamilan pertama.
Sejauh kita berbicara masalah ketimpangan (ingat, indeks
gini hanya mengatakan ketimpangan, bukan kesejahteraan atau kemajuan
ekonomi), fakta kependudukan ini kelihatan sepele, tetapi dampaknya
fundamental. Penduduk yang sudah kaya membiayai anak mereka semakin
baik-dalam pendidikan, penyediaan gizi, dan sarana kesehatan-karena jumlah
anak yang mereka tanggung berkurang. Pada penduduk miskin hal ini tidak
terjadi: beban yang ditanggung kelompok terbawah ini tetap sama.
Pendidikan, gizi, dan kesehatan dalam masa belia dan
remaja adalah prediktor terbaik dalam meraih sukses kehidupan. Karena itu,
dengan terjadinya perbedaan dinamika kependudukan pada kelompok kaya-miskin
tadi dari tahun ke tahun serta dialami secara agregat oleh puluhan juta
keluarga, dampak negatifnya menjadi cukup ekstrem.
Bank Dunia bahkan membuat simulasi menarik: jika perbedaan
dinamika kependudukan tadi dihilangkan atau disamakan dengan proporsi pada
era Orde Baru di dekade 1980-an, maka dengan pertumbuhan ekonomi sejauh ini,
yaitu di kisaran 5 persen per tahun, indeks rasio gini Indonesia sekarang
otomatis jauh membaik. Turun dari 0,41 menjadi 0,37, terendah di semua negara
Asia Timur saat ini.
Artinya, jika saja di zaman demokrasi dalam 15 tahun
terakhir kita berhasil melaksanakan program KB dan ekstensifikasi posyandu di
kalangan rakyat bawah, saat ini sebenarnya kita tak perlu menghadapi masalah
pelik dalam soal ketimpangan ekonomi. Isu kesenjangan mungkin tetap
"dimainkan" oleh satu atau dua kelompok politik, tetapi daya
eksplosinya pasti jauh berkurang sebab dasar faktualnya akan sangat tipis.
Jalan keluar
Walau kelihatan sederhana, hanya kaum demagog yang berani
berkata bahwa jalan keluar semua itu mudah, tunggal, dan cepat. Faktor kependudukan
tadi saling berkait dengan faktor sosio-ekonomi lainnya. Di sektor pertanian
yang memberi hidup puluhan juta petani, produktivitas tidak meningkat secara
berarti, hanya 0,9 persen. Sementara di sektor lain, peningkatan yang terjadi
dua-tiga kali lipat. Perbedaan ini pasti berdampak langsung pada
naik-turunnya koefisien pada indeks rasio gini.
Selain itu, anak petani yang pindah ke kota sebagian besar
tidak masuk ke sektor formal, tetapi jadi bagian dari the street armies of
the informal sectors, dengan produktivitas yang juga rendah. Hal ini terkait
dengan semakin kakunya aturan ketenagakerjaan kita serta berhubungan pula
dengan begitu banyak regulasi yang menghambat investasi dan dunia usaha.
Semua itu masih ditambah lagi dengan sebuah gejala universal
yang belakangan ini juga menjadi persoalan di AS dan Eropa: perubahan
teknologi yang disruptif, di mana salah satu seginya adalah polarisasi
insentif yang kian melebar antara kaum terdidik dan kaum berpendidikan
rendah.
Singkatnya, tak ada jalan yang mudah. Kita pasti akan
mempersulit diri kita sendiri jika dalam kompleksitas permasalahan seperti
ini kita langsung mengaitkannya dengan isu agama dan etnik. Yang perlu
dilakukan dalam mencari solusi adalah diskusi yang dingin, memilih prioritas,
membuat hierarki faktor-faktor penyebabnya berdasarkan bobot pengaruh
masing-masing, serta menimbang apa yang mungkin dan tak mungkin dilakukan
dalam konteks Indonesia sekarang.
Dalam soal dinamika kependudukan, misalnya, program KB
adalah "korban" desentralisasi dan reformasi. Program yang sangat
baik ini hilang ditelan gelombang peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah.
Apakah mungkin mengembalikan kejayaan program KB dan posyandu, dan dengan itu
menghilangkan salah satu faktor penting yang mempertajam kesenjangan?
Dalam soal lainnya, seperti peningkatan produktivitas
petani, pembukaan jutaan peluang kerja di sektor formal serta peningkatan
kualitas pendidikan dari SD hingga universitas, permasalahannya barangkali
sedikit lebih rumit.
Yang jelas, ujung tombak kebijakan Presiden Jokowi yang
disebut di atas, yaitu reformasi agraria dan percepatan pembangunan
infrastruktur, termasuk infrastruktur pertanian, adalah dua pilihan kebijakan
yang memang baik dan perlu, tetapi pasti belum cukup.
Oleh karena itu, kita tunggu gebrakan lainnya dari
pemimpin tertinggi kita. Dalam situasi yang cukup genting dan menjepit,
justru kualitas seorang pemimpin diuji. Dengan kepiawaian politik yang sudah
diperlihatkan Presiden Jokowi sejauh ini, tidak ada alasan bagi kita untuk
bersikap pesimistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar