Bijak
Teknologi
Akh Muzakki ; Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Guru Besar UIN Sunan
Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 05
Juni 2017
BERAWAL dari menahan, berbuah sikap bijak.
Itulah salah satu yang ingin ditanamkan perintah puasa ketika Ramadan. Sebab,
substansi dasar puasa adalah kemampuan menahan diri. Lafal shoum atau shiyam
dalam bahasa Arab yang menjadi padanan kata puasa berarti imsak. Maknanya
adalah menahan.
Menahan diri dari sesuatu yang memang dari
dasarnya dilarang tidak istimewa. Mengendalikan diri agar tidak melakukan
sesuatu yang memang dari awalnya dilarang bukanlah perilaku yang ideal.
Sebab, semua memang serba tidak diizinkan. Aturannya memang sedang tidak
memperbolehkan untuk dilakukan. Semuanya berubah menjadi sungguh istimewa
saat kondisi memungkinkan dan konsumsi diperbolehkan, tetapi seseorang
menjauhinya. Menjauhi saat dilarang itu biasa. Menjauhi saat diizinkan baru
jempolan. Mengapa? Sebab, justru di situlah rasionalitas dan kedewasaan diri
ditakar kuat. Puasa mengangkat kualitas hidup seseorang ke level yang sangat
tinggi. Bukan level yang biasa-biasa saja. Level yang sangat tinggi itu
merupakan level yang hanya bisa dicapai orang-orang yang tetap bisa hidup
dalam kebajikan dan kemuliaan saat berada dalam keserbaadaan dan
keserbamemungkinkan.
Dua konsep penting sering menguji hidup:
peluang (opportunity) dan legalitas (legality).
Peluang lahir dari kesempatan yang memungkinkan diambilnya sebuah manfaat.
Legalitas lahir dari status diperbolehkannya pengambilan manfaat tersebut.
Orang sering terbuai oleh peluang.
Praktiknya begini: mumpung ada kesempatan, apa saja dikonsumsi atau
dilakukan. Lacurnya, praktik itu sering melampaui standar kebutuhan,
kelayakan, dan kelaziman. Dampak buruk akhirnya tidak terhindarkan. Minimal
akan lahir pribadi yang cenderung terobsesi pada pemuasan diri. Itu semua
terjadi karena tidak adanya kemampuan untuk mengontrol dan menahan diri.
Puasa mengajarkan kita agar tidak
kehilangan kemampuan untuk mengontrol dan menahan diri. Jangankan kepada
perihal yang terlarang, kepada yang normalnya diperbolehkan saja harus bisa
mengendalikan diri. Itulah yang membuat seseorang bisa menjadi pribadi yang
istimewa di tengah semuanya yang serba memungkinkan, baik secara fasilitas
maupun legalitas.
Makna substantif puasa yang demikian terasa
sangat dibutuhkan bagi kita yang hidup di era teknologi ini. Perkembangan
teknologi yang semakin lama semakin maju membuat hidup menjadi mudah. Apa
yang sebelumnya tidak terpikirkan hadir juga dalam realitas. Apa yang
sebelumnya terasa mustahil terwujud pula dalam kehidupan nyata.
Akibat kemajuan teknologi itu, informasi
datang bak air bah yang menggelontor jalanan dan menghampiri setiap insan.
Hampir tidak ada lagi ruang yang tersisa dari bombardir informasi. Yang
privat dan publik menjadi buram batasannya. Hingga orang pun lupa bahwa tidak
semua informasi layak disebarkan ke ruang publik. Bisa karena memang
melanggar hak privat. Bisa pula karena melanggar nilai kepantasan. Dan bisa
juga melanggar harkat dan martabat kemanusiaan. Lalu, orang pun lupa terhadap
prinsip dasar hidup: kebajikan harus disebarkan dan keburukan harus
ditenggelamkan. Alih-alih, orang merasa senang saat keburukan bisa disebar ke
sebanyak-banyaknya orang. Lalu, rasan-rasan pun tidak terhindarkan. Yang
buruk pun seakan menjadi baik. Yang salah pun seakan menjadi benar. Lalu,
kita semua kehilangan standar nilai.
Teknologi sangat memungkinkan semua itu
terjadi. Kekuatannya bisa menjadi instrumen lahirnya transmisi informasi dari
satu ke yang lain dalam jumlah yang besar dan skala yang luas. Bayangkanlah
dampak yang akan muncul saat teknologi berada di tangan-tangan sembarangan.
Bayangkanlah pengaruh yang akan timbul saat teknologi dikelola dan digunakan
tanpa tanggung jawab yang besar dan komitmen yang kuat pada nilai.
Puasa membuat kita bijak dalam mengelola
dan menggunakan teknologi. Pada level paling minimal, puasa mengajarkan kita
untuk melakukan apa yang bisa disebut dengan diet informasi (information diet). Sama halnya dengan
makanan, diet informasi bukan berarti miskin akses dan pemanfaatan terhadap
informasi. Sekali lagi bukan.
Diet informasi adalah kemampun untuk
mengelola dan memanfaatkan secara bijak akses yang luas, peluang yang besar,
serta kesempatan yang terbuka lebar terhadap teknologi hanya untuk
sebesar-besarnya menebar kebajikan dan merengkuh kemuliaan. Maka, tidak semua
informasi diproduksi dan dikonsumsi. Hanya yang menunjang kebajikan dan
kemuliaan yang diproses.
Pada level yang lebih tinggi, puasa
mengajarkan kepada kita untuk melembagakan kebajikan terhadap teknologi.
Orientasinya tidak sekadar ke dalam dirinya dalam bentuk pengalian
pundi-pundi kebaikan untuk diri sendiri (private
virtues), tetapi juga keluar ke kebajikan masyarakat luas (civic virtues).
Maka, puasa membuat pelakunya setia kepada
nilai. Bukan nilai dalam standar yang rendah, tetapi nilai dalam standar yang
tinggi. Orang yang berpuasa di era teknologi akan cenderung bijak dalam
mengelola dan memanfaatkan teknologi. Dia terampil dalam pemanfaatan untuk
dirinya dan arif terhadap dampak penggunaannya terhadap sesama.
Teknologi memang memudahkan hidup. Namun,
bijak teknologi penting dimiliki. Sebab, martabat kemanusiaan tidak diukur
dari sekadar pencapaian peradaban materialistis, melainkan lebih-lebih
peradaban berbasis nilai keluhuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar