Bagaimana
Menafsirkan Pancasila Secara Kreatif?
Arie Saptaji ; Penulis, Penerjemah, Editor, dan Tukang Nonton;
Sedang menyiapkan
sebuah novel dan kumpulan puisi
|
DETIKNEWS, 02 Juni 2017
Mungkin dalam rangka Pekan Pancasila, seorang teman membagikan
di Facebook artikel lawas Abdurrahman Wahid tentang Pancasila. Artikel
berjudul Negara Berideologi Satu, Bukan Dua yang ditulis pada 2006 itu masih
relevan, bahkan makin relevan, untuk kondisi saat ini.
Gus Dur menegaskan bahwa telah "terjadi penyempitan
pandangan mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya
menurut mereka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu
jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang
menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali.
Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai
Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila tersebut."
Pemahaman yang lebih longgar? Sebagai generasi yang
dibesarkan pada era Orde Baru, pertanyaan itu amat menggelitik. Sejauh ini
Pancasila terkesan sakral, sudah final, tak dapat diganggu gugat, lengkap
dengan 36 butir pedoman yang gamblang untuk mengamalkannya dalam hidup
sehari-hari. (Pada 2003, MPR menambah pedoman itu menjadi 45 butir, tetapi
tampaknya tidak bergaung secara luas.) Sejauh manakah kelonggaran itu?
Pemahaman yang longgar mengingatkan saya pada istilah
multitafsir dalam karya seni. Dapatkah Pancasila didekati sebagai semacam
puisi, ditafsirkan secara lentur dan kaya makna? Atau, sebuah pertanyaan lain
melintas: bagaimana jika Pancasila ditafsirkan secara kreatif melalui karya
seni, misalnya film?
Saya teringat dua paket karya gemilang Krzyztof
Kieślowski, sutradara Polandia, Dekalog (1988-1989) dan trilogi Three Colors
(1993-1994). Dekalog adalah sepuluh drama seri televisi, masing-masing
berdurasi satu jam, yang diinspirasi oleh Sepuluh Perintah Allah dalam Kitab
Keluaran. Adapun Three Colours adalah tiga film berdasarkan tiga warna
bendera Republik Prancis (Blue, White, Red) yang melambangkan semboyan negara
itu: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Kedua paket film itu sama-sama merupakan penafsiran yang
longgar atas sumbernya. Dekalog tidak menyodorkan khotbah moralistis
hitam-putih; Three Colours juga tidak berisi ceramah tentang bagaimana
menjadi warga negara yang baik. Sebaliknya, keduanya menawarkan cerita
memikat tentang tokoh-tokoh yang mesti bergelut dengan tantangan etis yang
nyata, pelik, dan ironis.
Dalam film kedua Dekalog, misalnya, seorang perempuan
mendatangi dokter, bertanya apakah suaminya yang sedang sakit akan mati atau
bertahan hidup. Jika suaminya sembuh, ia akan melakukan aborsi. Jika suaminya
mati, ia akan mempertahankan kehamilannya. Perempuan ini mengandung benih
laki-laki lain.
Ada pula model yang lebih rileks. Film komedi India Lage
Raho Munna Bhai (Rajkumar Hirani, 2006) menampilkan Munna Bhai yang dapat
melihat roh Mahatma Gandhi. Melalui interaksinya dengan Gandhi ini, ia mulai
menerapkan ajaran Gandhi untuk menolong orang-orang di sekitarnya memecahkan
masalah mereka.
Nah, mungkin ada sutradara Indonesia yang tertarik
mengambil langkah serupa: menggarap lima film berdasarkan masing-masing sila
Pancasila? Atau, menghadirkan sosok Soekarno dalam latar kekinian, berdialog
dengan anak muda era digital, bersama-sama menggumuli isu-isu kontemporer
dalam terang nilai-nilai Pancasila?
Atau, sebenarnya sudah ada film semacam itu? Saya mencoba
mengais-ngais ingatan, mencari film Indonesia yang menawarkan tafsir atau
penggambaran nilai-nilai Pancasila secara segar. Dan, mencuatlah Cahaya dari
Timur: Beta Maluku (Angga Dwimas Sasongko, 2014). Film ini berkisah tentang
Sani Tawainela, tukang ojek dari Tulehu yang kemudian menjadi pelatih
sepakbola tim Maluku.
Film dibuka dengan adegan Sani terperangkap di tengah
kerusuhan saat berbelanja terigu di Ambon. Seorang bocah sama-sama
berlindung, tetapi ia lalu melarikan diri, meninggalkan kalung rantai di
tangan Sani. Di rumah, menyimak berita di televisi lokal, Sani melihat si
bocah ternyata tewas tertembak. Kamera mendekati tangan Sani yang meremas
kalung rantai peninggalan si bocah.
Ketika kerusuhan menjalar ke kampungnya, Sani terusik
melihat bocah-bocah kecil berhamburan menontonnya, tak waspada kalau-kalau
terkena celaka. Terpikir olehnya untuk melindungi mereka. Apa modalnya? Ah,
rupanya tukang ojek ini dulunya pesepakbola andal, sempat ikut pelatnas PSSI
U-15, namun gagal merintis karier sebagai pemain profesional. Ia pun menawari
mereka berlatih bola. Anak-anak itu, yang mengenali kecakapan Sani menggocek
bola, antusias menyambutnya.
Pada bagian awal, film ini menampilkan bagaimana sepakbola
sebagai suaka perlindungan bagi anak terhadap kerusuhan. Pada paruh kedua,
ketika Sani memutuskan untuk mencampur pemain beragama Islam dan Kristen
menjadi satu tim, film bergeser menggunakan sepakbola sebagai laboratorium
kebhinekaan. Konflik antaragama yang di awal film digambarkan dengan adu
parang dan bom molotov, di lapangan meledak sebagai adu mulut dan perkelahian
yang tajam dan menyesakkan dada.
Pesan film ini tersampaikan dengan kokoh tanpa kesan
menggurui. Ketika Sani mengamuk dan berceramah menjelang akhir film, kita
tidak menangkapnya sebagai sosok tukang ceramah. Sebaliknya, kita melihatnya
sudah habis akal. Malahan kita jadi ikut tertampar. "Beta melatih kalian
sejak kanak-kanak karena beta ingin memberi kalian kenangan yang baik (di
tengah kecamuk kerusuhan)," katanya. Ah, jadi ingat sosok ayah dalam
Life is Beautiful, yang melindungi anaknya dari kengerian holocaust itu.
Menggarisbawahi soal konflik yang terseret sampai ke
lapangan, ia berkata, "Waktu tidak cukup untuk menentukan mana yang
benar dan mana yang salah. Tapi kita harus berjuang untuk hidup lebih
baik." Lagi-lagi, ini bukan seruan seorang motivator ulung, tetapi luapan
rasa frustrasi seorang pelatih atas kebebalan anak-anak asuhnya, seseorang
yang turut bersama-sama merasakan dampak kerusuhan.
Cahaya dari Timur ditutup dengan rangkaian adegan yang
disunting secara gemilang, membawa kita ulang-alik Jakarta-Maluku, dan di
Maluku kita diajak meloncat-loncat dari masjid, gereja, sekolah, rumah
penduduk, dan warung kopi. Adegan yang dinamis dan efektif secara sinematik,
mengundang tawa segar, sekaligus mengguratkan pesan secara menggetarkan.
Usai menontonnya, saya tercenung-cenung. Selama kita masih
dalam bingkai pemikiran mayoritas versus minoritas, bukan bersaudara sebagai
satu keluarga besar, sulit kita meraih kemenangan bersama. Ini memang film
tentang Maluku, tetapi mau tak mau kita akan menariknya ke wilayah yang lebih
luas: tentang Indonesia Raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar